Shoot Tight, Monica. An Interview with Monica Vanesa Tedja.

Berawal dari video-video family trip masa kecil, Monica Vanesa Tedja menuangkan imajinasinya lewat medium film. 

 “For me, being a filmmaker means being able to freely express your feelings through some kind of statements. It’s a very interesting medium, which allows you to share stories and even get a whole bunch of new yet different perspectives,” ungkap Monica Vanesa Tedja soal kariernya sebagai sutradara dan penulis film. Bermula dari mengamati kebiasaan sang ayah yang gemar merekam video di setiap holiday trip keluarganya, timbul rasa penasaran dalam diri Monic yang saat itu masih berusia 10 tahun untuk mencoba merekam videonya sendiri dengan handycam yang sama. Seiring waktu, ketertarikannya semakin berkembang dengan belajar menyunting video sendiri, mengikuti workshop film dan lomba, sampai akhirnya mendaftarkan diri di jurusan Digital Cinematography. Dari yang awalnya sekadar menulis dan menyutradarai film-film pendek untuk tugas kuliah, karya Monic yang kental rasa quirky dan witty pun terus terasah dengan baik lewat beberapa film pendeknya seperti How To Make A Perfect Xmas Eve dan Konseptor Kamuflase yang berjaya di berbagai festival film dalam negeri hingga Tokyo, di samping pekerjaan komersialnya seperti video musik, viral campaign, web series, dan TV series.

Di tahun 2015 kemarin, Monic telah merilis dua film pendek yang juga mendapat apresiasi positif dan kian mencuatkan namanya sebagai sutradara muda yang patut disimak. Yang pertama adalah Sleep Tight, Maria yang dibintangi oleh Karina Salim dan Rain Chudori. Menceritakan soal dua siswi sekolah Katolik yang sama-sama bernama Maria dengan fantasi seksual masing-masing, film ini secara menggelitik berbicara soal masturbasi yang dianggap tabu bagi kaum perempuan, let alone in religious environment. Film pendek selanjutnya yang bertajuk The Flower and the Bee juga bermain dengan isu seksualitas yang sebetulnya bersifat sehari-hari. Kali ini lewat kacamata seorang gadis cilik berumur 10 tahun bernama Callie yang rasa ingin tahu khas anak-anaknya membuatnya penasaran dengan gestur jari yang dilihatnya dilakukan oleh dua anak SMP di mobil jemputan sekolahnya. Gestur yang dimaksud adalah menyelipkan jempol di antara telunjuk dan jari tengah yang bagi mereka yang lebih dewasa tentu paham jika gestur tersebut merujuk pada kegiatan seks.

Belum puas menuntut ilmu dan mempertajam talentanya, saat ini gadis 24 tahun yang mengagumi karya Michel Gondry, Woody Allen, Sofia Coppola, Wes Anderson, dan Spike Jonze tersebut sedang merantau ke Berlin, Jerman untuk mengincar Master Degree di bidang Penyutradaraan. Meskipun tahun ini ia mengaku akan memfokuskan diri dalam dunia akademis dahulu, saya tidak sabar untuk mengenal sosoknya lebih jauh sambil menantikan karya-karya segar darinya.

film "Sleep Tight Maria"(Kalyana Shira Foundation)
Film “Sleep Tight Maria” (Kalyana Shira Foundation)

Dari beberapa film pendek yang pernah Monic buat, ada tema imajinasi dan surrealism yang kental, terutama di Konseptor Kamuflase. Apa yang biasanya menjadi inspirasi bagimu? Menurutku, dunia film merupakan dunia imajinasi. Kita bisa membebaskan imajinasi kita bermain dengan seliar-liarnya, selama tentu masih masuk ke dalam konteks yang ingin kita bicarakan. Aku selalu menganggapnya sebagai salah satu bentuk escaping from reality. A “what-if“ condition. Dan seringkali hal-hal yang menginspirasiku itu berasal dari keresahanku akan sesuatu, mostly dari hal-hal yang juga terjadi di sekelilingku. Jadi biasanya aku akan mulai membayangkan, bagaimana kalau hal ini yang terjadi instead of hal itu?

Aku juga merasa ada unsur religi yang kerap muncul, seperti gereja, lagu rohani, dan natal misalnya. Apakah ada kesengajaan yang ingin diangkat dari situ? Sebenarnya aku nggak pernah menentukan kalau di setiap filmku itu harus ada unsur religinya. Bahkan belum lama ini aku baru sadar akan hal itu, haha. Aku nggak pernah menentukan karena memang nggak ada intensi khusus untuk menjadikan unsur religi tersebut sebagai, katakanlah “trademark” aku sebagai filmmaker. Karena aku nggak mau dikotak-kotakkan. Aku ingin membuat film berdasarkan apa yang memang aku rasakan, berdasarkan keresahanku sendiri. Jadi unsur apapun itu yang kamu dapati di filmku, pure karena memang berkaitan dengan cerita, karakter maupun statement-ku sebagai filmmaker, hehe.

So far, apa pengalaman syuting paling memorable/sulit? Apa yang menjadi turning point bagimu dalam menemukan gaya directing seperti sekarang? Sejujurnya, sampai detik ini pun kalau ditanya soal gaya directing aku masih belum bisa jawab. Karena buatku, yang menentukan itu adalah para penonton. Mereka yang bisa kasih penilaian ketika mereka menonton karya-karyaku. Tapi buatku, yang paling penting adalah jujur. Ketika kita mengerjakan sesuatu dengan hati, pasti hasilnya kelak akan lebih bermakna. Dari setiap karya yang telah kubuat, aku selalu mendapatkan pelajaran tersendiri yang cukup siginifikan. Dulu, aku tipe orang yang lebih mementingkan hasil ketimbang proses. Tapi sekarang, setelah melewati berbagai pengalaman membuat film, aku jadi benar-benar menghargai sebuah proses. Justru di tahap itulah aku, sebagai seorang filmmaker, bisa belajar banyak. Terutama belajar untuk mengesampingkan ego serta tahu kapan harus kompromi.

the-flower-and-the-bee_hlgh-640x360

The Flower and the Bee memiliki tokoh utama seorang anak kecil, is it hard to direct kids? Dan bagaimana caramu menjelaskan arti gestur jari tersebut kepadanya? Believe me, I thought it was going to be extremely hard. When it comes to handling kids, I’m the worst person ever. I didn’t even know why I was doing that film! Kidding. Anyway, it was surprisingly easy. Well, not that easy. Tapi karena bayanganku udah bakal rusuh banget, dan ternyata nggak separah itu, jadi aku anggap itu mudah, haha. Mostly karena aku dapet talents yang pintar dan sangat kooperatif. Mereka nurut, baik dan lucu banget! Dari proses pre-production sampai shooting, aku sengaja nggak mau kasih tau arti dari gerakan tangan tersebut ke tokoh utamaku, supaya dia semakin penasaran. Jadi seakan itu bener-bener journey-nya dia untuk mencari tahu arti dari gerakan-gerakan tangan tersebut. Ketika proses shooting selesai, aku melepaskan ke pihak orang tuanya masing-masing. Karena memang itu hak mereka, apakah mereka mau memberitahu anak-anaknya sendiri atau tidak. Sebenarnya aku lebih nervous ketika dealing with the parents, ketimbang anak-anaknya, haha.

Boleh cerita soal keterlibatan Monic di Soda Machine Films? Aku mulai secara resmi tergabung ke dalam Soda Machine Films sejak Juli 2013. Awalnya aku ditawari oleh Lucky Kuswandi, sang empunya yang juga dosenku sendiri di UMN, untuk magang di situ dan langsung melanjutkan kerja sebagai freelance writer and director.

Apa project selanjutnya di tahun 2016? Apakah sudah ada rencana untuk membuat feature filmUntuk project di tahun 2016, jujur belum ada rencana pasti. Karena sekarang aku masih fokus untuk menyelesaikan kursus bahasa Jerman serta pendidikan Master-ku kelak. Tapi kalau untuk feature film, memang sudah sempat terpikir sebuah ide untuk membuatnya. It’s a process. Aku gak mau buru-buru sih, yang pasti. Didoain aja, ya! 😉

Bagaimana soal Traveling Richie? It looks so interestingWah. It’s a really long story. Bisa dibilang ini project ambisiusku dengan teman baikku sendiri. He’s an animator. Suatu ketika kita memutuskan untuk kolaborasi bareng dan singkat cerita lahirlah Traveling Richie. Tapi sekarang sedang kita postpone karena keterbatasan dana. Cliché, I know. lol!

Pertanyaan klise tapi penting: Kalau Monic sendiri melihat film Indonesia sekarang seperti apa? Apakah isu indie tidaknya sebuah film masih relevan buat Monic? Banyak orang yang sering mengaitkan indie film dengan masalah budget. Kalau minim, berarti masuk kategori indie. Jadi tergantung bagaimana kita melihat pengertian istilah itu sendiri. Buatku sih, yang paling penting intensi di balik membuat film itu sendiri. Kalau yang tujuannya komersil tentu berbeda dengan yang tujuannya mengedepankan idealisme. Tapi nggak ada yang benar dan nggak ada yang salah. Selama masih sesuai dengan konteksnya masing-masing. Dan aku selalu mencoba optimis dengan dunia perfilman Indonesia. Aku percaya kalau kita punya banyak sekali orang-orang berbakat. Yang masih kurang apresiasi dan dukungannya aja mungkin, haha.

Dengan banyaknya anak muda yang tertarik menjadi filmmaker, apa saran terbaik yang pernah Monic sendiri dapatkan dan bisa di-share untuk mereka? As cliché as it sounds: just be yourself. Don’t be scared to share your own opinions. It does matter. And most importantly, it’s always good to get out of your comfort zones. You can always learn something by keep challenging yourself.

Terakhir, boleh rekomendasikan lima film dari sutradara perempuan favoritmu?

Me and You and Everyone We Know  – Miranda July

The Virgin Suicides  – Sofia Coppola

Tiny Furniture  – Lena Dunham

Palo Alto  – Gia Coppola

Short Term 12  – Destin Daniel Cretton (I know that the last one’s not directed by a woman director, but it’s just so good, I can’t help but mention it.)

 

 

Shout out your thoughts!

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s