SOFI TUKKER
Berawal dari perkenalan di sebuah galeri seni, penyanyi bossa nova Sophie Hawley-Weld dan DJ asal Boston bernama Tucker Halpern yang sama-sama berkuliah di Brown University dengan cepat menjadi kawan karib berkat instant chemistry dan ketertarikan yang sama terhadap budaya dan musik Amerika Latin. Setelah keduanya lulus dari Brown, mereka memutuskan pindah ke New York untuk membentuk duo folk-dance bernama Sofi Tukker yang menyajikan musik electronic dengan sentuhan musik Latin yang terdiri dari beat house adiktif, dentuman gitar elektrik, alat musik tradisional seperti bongo dan charango, serta lirik berbahasa Portugis yang terinspirasi oleh tulisan penyair Brazil legendaris, Chacal. Hal itu mungkin terdengar aneh di atas kertas, tapi jika kamu telah mendengar beberapa single awal seperti “Drinkee” (yang dipakai dalam komersial Apple Watch baru-baru ini), “Matadora”, dan “Hey Lion” yang terkompilasi dalam debut EP bertajuk Soft Animals, kamu akan jatuh cinta dengan cepat kepada duo yang kini berada di bawah naungan HeavyRoc Music, label milik The Knocks tersebut. Bagi mereka, membuat musik dance adalah hal yang sebetulnya bersifat spiritual. Sophie yang juga merupakan seorang pengajar yoga mengaku terinspirasi oleh chants dari Kundalini yoga yang berulang-ulang untuk menciptakan ambience yang mengajak pendengarnya terserap dalam vibrasi ritmis. Now you know why there’s something hypnotic about their music.
Chaz French
Dengan hasil observasi dari lingkungan sekitarnya, Chaz French yang merupakan rapper asal Washington D.C. menghabiskan masa sekolahnya dengan menulis lirik lagu rap di buku pelajaran dan merekam mixtape berisi 15 lagu di basement milik temannya. Namun, baru setelah akhirnya drop out dari sekolah dan berkeluarga, ia merilis album debut dengan judul Happy Belated pada April tahun lalu yang dipenuhi passion, soul, serta authenticity yang tidak mungkin bisa ditiru oleh orang yang tidak pernah merasakan getirnya hidup. Membawa warna baru terhadap kultur hip hop di D.C., ia kemudian meraih momentumnya bersama mixtape teranyarnya These Things Take Time akhir tahun lalu yang diakuinya jauh lebih kohesif dan mendapat respons gemilang tidak hanya dari pendengar dan jurnalis, tapi juga dari sesama musisi seperti Pusha T. Dalam video untuk single terbarunya “IDK” yang disutradarai oleh Shomi Patwary, rapper berusia 24 tahun ini mengajak kita menelusuri jalanan D.C. dengan konsep yang terinspirasi dari situasi nyata tentang life struggle dan kenyataan hidup yang keras. Baru-baru ini, ia juga berkolaborasi dengan singer-songwriter R&B Kevin Ross dalam single “Be Great” yang mengangkat soal ketegangan rasial dan kebrutalan polisi dalam komunitas African-American beberapa tahun terakhir ini. Namun, bukan berarti jika musik yang ia buat hanya mengumbar kepahitan saja, karena di balik kemampuannya untuk melontarkan lirik yang brutally honest dengan kecepatan senapan mesin, there’s always something melodic and of course, the silver lining.
Cullen Omori
Rasanya selalu menyebalkan saat mendengar kabar band favoritmu memutuskan bubar karena masalah internal, seperti yang dialami oleh Smith Westerns. Disebut sebagai salah satu band indie-rock paling exciting sejak merilis album Dye It Blonde di tahun 2011 dengan pengaruh garage rock yang pekat, band asal Chicago tersebut memutuskan bubar tahun lalu. Tapi untungnya, para personelnya tidak lantas pensiun dari musik begitu saja. Dalam jeda waktu yang hampir bersamaan, para bekas personel Smith Westerns muncul dengan proyek musik masing-masing. Bagi sang mantan vokalis dan gitaris, Cullen Omori, proyek itu adalah album solo perdananya dengan judul New Misery yang dirilis oleh label Sub Pop bulan Maret kemarin. Direkam tahun lalu dalam sebuah sesi recording selama sebulan penuh di Brooklyn, album berisi sebelas lagu ini ditulis dalam masa-masa yang membingungkan bagi pria keturunan Jepang berusia 25 tahun tersebut. Telah mulai pergi tur saat berhenti sekolah di tahun 2009, Cullen harus beradaptasi dengan kehidupan tanpa kegiatan band dan melakoni pekerjaan part time di sebuah rumah sakit selama beberapa waktu. Lucky for him, album ini tidak lantas menjadi rekaman gundah gulana penuh nestapa. Lewat single seperti “Sour Silk” dan “Cinnamon”, Cullen pun menunjukkan elemen-elemen terbaik dari band terdahulunya yang dipenuhi aesthetic power pop penuh reverb dan catchy hooks yang mengiringi vokal Cullen yang masih terdengar dreamy seperti sosok cowok paling misterius di sebuah SMA daerah suburban Amerika. Diperkuat dengan mood dan lirik yang lebih gelap, he’s more than ready to take the center stage.
The Britanys
Tak lama setelah tiga sekawan Steele Kraft, Lucas Long, dan Gabe Schulman menjadi roommates di kampus dan memutuskan membuat band bareng, mereka mencari nama bayi perempuan paling populer di tahun 1994 (tahun kelahiran mereka) di Google. Hasilnya adalah Brittany, namun akibat salah tulis, mereka terlanjur mendaftarkan nama domain mereka dengan nama Britany, and that’s how these NYC indie rock band got their name. Di tahun 2014 ketika masih dalam format trio, mereka merilis debut EP bertajuk It’s Alright dengan berbagai referensi rock & roll dan garage band. Tahun lalu, mereka memutuskan merekrut Jake Williams sebagai gitaris tambahan dan merilis “Basketholder”, single pertama mereka sebagai four-piece band yang diproduseri oleh Gordon Raphael (yang juga pernah memproduseri The Strokes dan Regina Spektor). Saat ini, The Britanys tak hanya berkutat dengan jadwal latihan empat kali seminggu di basement apartemen mereka di daerah Bushwick, mereka juga sedang aktif menjadi pembuka untuk band seperti Hinds dan tampil di festival seperti Savannah Stopover Music Festival dan The Great Escape di Inggris. Dengan semua momentum positif itu, mereka pun dengan antusias menyiapkan materi-materi baru yang dirangkum dalam Early Tapes EP yang berisi 4 lagu yang akan mengingatkanmu pada materi di era awal Arctic Monkeys dan The Strokes.
Little Simz
Bersenjatakan lirik rap yang dibawakan dengan penuh intensitas dan flow yang tak terbendung, Simbi Ajikawo adalah seorang rapper belia asal London yang memakai nama alias Little Simz dan membuktikan jika dedikasi serta passion memang menjadi kunci kesuksesan bagi seorang musisi muda. Menulis lagu pertamanya di umur sepuluh tahun, Little Simz sudah tahu apa yang ingin ia raih dan kerjakan di saat anak-anak seumurnya masih clueless dan belum memikirkan soal future career. Hasil kegigihan dan talenta alaminya membuahkan album debut berjudul A Curious Tale of Trials + Persons yang dirilis di bawah label miliknya sendiri yang bernama Age 101. 10 lagu di dalamnya merupakan hasil jerih payahnya bekerja di akhir pekan demi bisa membeli mic dan mengasah bakatnya di kamar tidurnya dengan inspirasi dari musisi-musisi favoritnya seperti Lauryn Hill, Missy Elliott, dan Dizzee Rascal. Tak hanya menulis dan memproduksi musik, as a part of the millennial musicians, dia juga belajar secara otodidak caranya menyunting video musiknya sendiri dan merilis beberapa mixtape di akun SoundCloud miliknya yang meraup 50 ribu followers bahkan sebelum akhirnya ia mendapat kontrak dari Mos Def, J. Cole, dan Kendrick Lamar. Now, that’s girl power.