Hampir satu dekade terakhir ini, Java Festival Production (JFP) lewat berbagai festival musik berkelas internasional seperti Java Jazz Festival (JJF), Java Rockin’land (JRL), dan Java Soulnation Festival telah menjadi salah satu motor penggerak gairah publik untuk datang ke festival musik sekaligus membawa iklim positif bagi industri musik dalam negeri dan membangun kepercayaan musisi luar negeri untuk tampil di Indonesia. That’s why I actually quite sad ketika belakangan JRL yang merupakan salah satu festival musik lokal favorit saya terasa agak tertatih-tatih dan bahkan urung digelar. Namun, bukan berarti JFP patah arang dan hanya berpangku tangan saja. Tahun ini mereka melakukan gebrakan baru dalam bentuk Java Soundsfair, sebuah festival musik lintas genre yang, in a nutshell, bisa disebut sebagai gabungan dari JRL dan Soulnation. Bertempat di Jakarta Convention Center (JCC) dari tanggal 24 sampai 26 Oktober silam, festival yang memiliki 9 stage dan menghadirkan 90 performer dari dalam dan luar negeri ini merupakan festival musik dan art all indoor pertama di Indonesia. Atas undangan dari Maverick yang mewakili Sampoerna A sebagai salah satu sponsor Java Soundsfair 2014, saya berkesempatan hadir dalam perhelatan perdana ini.
Day 1
Selesai jam kantor saya langsung menuju JCC dan ketika sampai, terlihat crowd sudah memadati area masuk venue. Yang menjadi highlight untuk hari pertama ini adalah Magic! band asal Kanada yang sedang hype dengan single “Rude” yang merajai frekuensi radio. Namun jujur saja, salah satu tujuan utama saya hari ini adalah Sophie Ellis-Bextor, biduan cantik asal Inggris yang terkenal dengan lagu-lagu disco pop seperti “Take Me Home” dan “Murder On The Dancefloor”. Tampil di stage utama Plenary Hall, Sophie muncul dengan dress merah dan sepatu dance berwarna silver metalik. Ia membawakan lagu-lagu dari album terbarunya, Wanderlust, yang terdengar berbeda dari album-album sebelumnya. Di album ini Sophie mengubah haluan ke arah baroque pop dan folk yang kental dengan unsur orkestra. That’s why penampilan Sophie kali ini juga dilengkapi dengan dua orang violinist. Menjelang setengah jam terakhir penampilannya, Sophie mundur ke belakang panggung dan muncul lagi setelah berganti kostum dengan dress hijau semi transparan yang membuka sesi disco time with her signature dancey songs.
Setelah penampilan Sophie saya mampir ke sebuah sudut dekat salah satu pintu keluar yang menjadi area untuk Refresh Lounge, sebuah lounge yang disiapkan oleh Sampoerna untuk memperkenalkan tampilan baru A Mild Menthol. Sesuai namanya, di lounge khusus 18+ ini, para pengunjung Soundsfair dapat mengikuti aktivitas yang refreshing, seperti menata rambut di Refresh Your Look corner, menggunakan mesin pijat di Refresh Your Body corner, atau mengambil minuman-minuman menyegarkan seperti juice dan fruit popsicle gratis di area barnya. Tak hanya itu, Refresh Lounge juga menawarkan pembuatan merchandise customized pouch yang difasilitasi oleh Maja Esa Indonesia di mana pengunjung bisa membawa pulang pouch hasil kreasi mereka sendiri.
Puas refreshing, saya menuju ke A Create Stage untuk menyaksikan duo elektronik Bandung, Bottlesmoker. Selain menampilkan pertunjukan band-band indie terkenal seperti Sore, Rock N Roll Mafia, dan Bottlesmoker, A Create Stage juga menampilkan hasil karya pemenang Go Ahead Challenge 2014 di salah satu sudutnya. Sebelumnya, dua pemenang Go Ahead Challenge tahun ini yaitu Sylvester Suwandy (Syl) dan I.G. Aditya Bramantya (Bram) mendapatkan kesempatan untuk bergabung dengan tim Tex Saverio dalam mempersiapkan Paris Fashion Week di Jakarta dan Paris dan bekerja sama dengan fotografer fashion profesional Prancis bernama Michel Dupre yang hasil karyanya dipamerkan di A Create Stage Soundsfair 2014. Penampilan seru lainnya dalam hari pertama Soundsfair yang meliputi Tokyo Ska Paradise, Asian Dub Foundation, Morfem, dan Jakarta Techno Militia menjadi penutup dari hari pertama festival yang menyenangkan ini.
Day 2
Hari kedua Soundsfair dimulai lebih awal dari hari sebelumnya dengan Maliq N D’Essentials yang tampil di jam setengah 6 sore. Saya menuju ke Cendrawasih 3 untuk menonton penampilan .GIF, unit elektronik asal Singapura yang memainkan musik elektronik berelemen glitch dan synthpop yang menarik. Puas menonton .GIF saya menyempatkan mampir lagi ke Refresh Lounge untuk bersantai sejenak sekaligus menjadi meeting point yang strategis untuk bertemu teman-teman. Pukul 8, saya beranjak ke A Create Stage untuk menyaksikan penampilan bersejarah dari The BRNDLS. Kenapa dibilang bersejarah? Well, penampilan The BRNDLS malam itu akan menjadi penampilan live terakhir mereka sebelum memutuskan untuk hiatus dalam batas waktu yang tidak ditentukan. Jadi jelas saja, walaupun berbarengan dengan jadwal Cody Simpson yang menjadi salah satu main attraction di Plenary Hall yang dipenuhi gadis-gadis remaja, penampilan The BRNDLS juga tak kalah ramai dengan para penikmat musik indie lokal yang telah mengikuti perkembangan band Jakarta tersebut sejak awal muncul dekade lalu. Eka Annash, sang vokalis, muncul dalam balutan jubah dan topi lebar. Wajahnya ditutupi face art bergambar tengkorak dan terlihat sangar, begitu juga dengan para personel lainnya. Seolah tak mau melewatkan panggung ini begitu saja, mereka tampil all out membawakan repertoire lagu-lagu terkenal mereka seperti “100 KM/Jam”, “Lingkar Labirin”, “Start Bleeding”, “Perak”, serta “Abrasi” yang menghadirkan Iwa K sebagai bintang tamu untuk mengisi bagian rap yang aslinya dibawakan oleh Morgue Vanguard. It was one hell of rock & roll performance, and we’re gonna wait for them to come back with new material and new spirit.
Selesai The BRNDLS, dengan setengah berlari saya menuju stage Cibo Matto, band indie asal New York yang dimotori oleh Yuka Honda dan Miho Hatori. Terbentuk dari tahun 1994, Cibo Matto yang dalam bahasa Italia berarti “crazy food” ini terkenal dengan musik eklektik mereka yang perpaduan indie pop, trip hop, acid jazz, hingga bossa nova. Lagu “Sugar Water” yang merupakan single pertama mereka dari debut album Viva! La Woman menjadi lagu pertama yang dibawakan. Sempat hiatus dari tahun 2002 sampai 2011, penampilan mereka di Soundsfair ini merupakan penampilan perdana mereka di Asia Tenggara. How special that is!
Penampilan Miho dan Yuka yang atraktif walau sudah tak terbilang muda lagi berhasil memancing eforia penonton. Tanpa cela dan semangat tinggi, mereka membawakan lagu-lagu ikonik seperti “Sci-Fi Wasabi” dan “Aguas de Marco” yang diselingi oleh materi-materi baru dari album terbaru Hotel Valentine yang tidak kalah seru seperti “Deja Vu”, “Empty Pool” dan “10th Floor Ghost Girl”. Penampilan selama satu jam tersebut hampir tidak terasa dan menimbulkan teriakan encore ketika Cibo Matto turun panggung. Panggilan encore tersebut menarik mereka naik ke atas panggung untuk membawakan “Birthday Cake” walau sayangnya entah kenapa lagu paling hits mereka, “Moonchild” urung dimainkan walau sudah tertera di song list. Nevertheless, it was my most favorite performance on this festival, atau bahkan dari semua konser yang saya hadiri tahun ini.
Selesai Cibo Matto, bukan berarti tidak ada penampilan seru lainnya. Setelah mondar-mandir ke beberapa stage, saya sempat menonton Themilo, Angsa & Serigala yang tampil dalam format baru, serta White Shoes and The Couples Company yang berhasil membuat De Majors stage full house dengan performa atraktif khas mereka.
Day 3
Setelah stay sampai penampilan terakhir di hari sebelumnya, dalam hari ketiga dan terakhir Soundsfair tahun ini, awalnya saya ingin datang agak lebih malam, namun demi menonton Mocca yang tampil di jam 6 sore akhirnya saya bergegas lebih awal. Rugi rasanya kalau melewatkan penampilan Mocca, mumpung Arina sang vokalis yang bermukim di Amerika Serikat sedang ada di Indonesia. Sebagai salah satu dedengkot indie scene Indonesia, penampilan Mocca tentu tak perlu diragukan lagi. Penonton pun masih antusias menyanyikan lagu-lagu manis gubahan mereka seperti “I’ll Remember”, “I Would Never”, “Secret Admirer” dan cover version “Hyperballad” milik Bjork. Mocca untuk pertama kalinya juga membawakan lagu terbaru mereka yang merupakan ode untuk kota asal mereka, “Bandung”.
Setelah Mocca, saya menyaksikan Yuna, seorang singer-songwriter asal Malaysia yang berhasil go international dan berkerja sama dengan Pharell Williams. Tampil cantik dengan busana hijab, Yuna memamerkan vokalnya yang khas dalam lagu-lagu berbahasa Inggris maupun Malaysia seperti “Mountains”, “Penakut”, “Falling”, dan tentu saja “Live Your Life”. Setelah mundur ke backtage sehabis membawakan “Lelaki” dan “Dan Sebenarnya”,Yuna muncul lagi untuk menyanyikan “Rescue”, hits single yang memang telah ditunggu-tunggu.
Marius Lauber, electronic pop artist dari Cologne yang lebih dikenal dengan nama Roosevelt menjadi aksi selanjutnya yang saya tonton. Tampil dengan dua orang temannya di drum dan synth, mereka membawakan lagu-lagu chill out yang hip dengan elemen house dan disco. Its suddenly feels like a sunset in Ibiza. Selain Yuna, yang menjadi magnet utama di hari ketiga adalah The Jacksons yang tampil di Plenary Hall. Namun alih-alih menyaksikan aksi keluarga Michael Jackson tersebut, saya malah ke A Create Stage untuk menonton The S.I.G.I.T, band cadas asal Bandung yang seperti bisa diharapkan, tampil dengan keren.
Saya menutup hari terakhir Soundsfair dengan menikmati racikan drum n bass dari kolektif Javabass Soundsystem yang disambung oleh DJ Makoto dari Jepang. Overall, walaupun kecewa JRL tidak diadakan lagi tahun ini, saya puas dengan Soundsfair 2014 karena berhasil membawa atmosfer festival musik baru dengan performance yang sangat beragam. Diversifikasi genre yang ada membawa crowd penggemar masing-masing, namun hal itu justru terasa menyenangkan melihat para penggemar musik dari scene yang berbeda-beda bisa saling berbaur dan menghargai satu sama lain. Dalam satu hari saya bisa menikmati sajian indie pop, rock, jazz, hingga drum n bass, so it was really nice dan bisa menjadi ajang edukasi para penikmat musik indonesia untuk mengenal musisi dari berbagai genre dan menikmatinya atas nama musik yang berkualitas.
Special thanks for Maverick dan Sampoerna A for this report!