Sebagai kota seni, Jogja tentu memiliki banyak sekali artspace yang menarik untuk didatangi. Salah satu yang paling membuat saya penasaran adalah sebuah artspace mungil di tepi Jalan Anggrek, Baciro, Jogja bernama Lir Shop. Lir yang dibuka pertengahan tahun 2011 adalah perpaduan antara toko buku, resto, curiosity shop, dan alternative art space dengan konsep “Where Fiction and Reality Mingle.” Saya memang belum sempat untuk mengunjunginya langsung ke Jogja, namun saya sempat mewawancarai Mira Asriningtyas via email tentang art space miliknya ini untuk salah satu artikel di majalah NYLON Indonesia edisi Art tahun ini. Berikut adalah isi interview tersebut.
Halo, bisa ceritakan sekilas tentang Lir? Apa main concept dari Lir?
Lir itu awalnya adalah impian saya untuk memiliki toko buku. Di tahun 2008, saya menuliskan skripsi sekaligus business plan tentang Lir. Pada kenyataannya, Lir dibuat menjadi perpaduan antara toko buku, resto, curiosity shop, dan alternative art space. Konsepnya adalah “Where Fiction and Reality Mingle”… maka mulai dari dekorasi sampai menunya dibuat seperti ‘keluar dari buku dongeng’… fresh from the book. Selain itu, sesuai dengan konsep awal dan nama Lir- (Lire | Lair) Lir adalah ‘a hideaway place to read’. Kami sengaja memilih tempat yang sedikit tersembunyi walaupun masih berada di tengah kota supaya pengunjung bisa ‘bersembunyi’ dari keramaian dan membaca dengan santai. Banyak hal yang kami buat berangkat dari buku maupun kultur membaca.
Siapa saja orang-orang di belakangnya?
Lir didirikan oleh Mira Asriningtyas. Lir Space (alternative art space-nya Lir) dikelola oleh Dito Yuwono. Saat ini, selain mengurus Lir –Mira aktif menulis dan Dito adalah fotografer yang juga tergabung di kelompok fotografi kontemporer Mes56.
Di saat hampir semua tempat menyediakan wi-fi hotspot sebagai fasilitas, Lir justru dengan sengaja tidak menyediakan hal itu. Apa yang mendorong Lir untuk itu?
Baik saya maupun Dito menyukai percakapan yang hangat dan intens. Kami senang ketika ada teman yang datang dan bercakap-cakap sambil minum teh (atau kopi, atau lemonade.. apapun lah). Tapi memang tidak bisa dipungkiri bahwa berada di tempat yang ber-hotspot itu sangat menggoda untuk fokus beralih pada hal-hal di dunia maya, atau bahkan membuat masing-masing anak asik bercakap-cakap dengan seseorang di tempat lain dan terkadang mengacuhkan orang yang di sekitarnya. Call me old-fashioned but I’d like to bring back the old style of interaction. I love to hear laughter and conversation linger in the air somewhere in the restaurant while I’m working in the office inside Lir. So, anyway.. ada dua alasan:
Pertama, tidak adanya hotspot setidaknya mengurangi distraksi dan memberi kesempatan terjadinya obrolan yang intens dan kemungkinan muncul ide baru. Cukup banyak event, pameran, maupun project yang kemudian tercipta dari ngobrol-ngobrol santai ini..
Kedua, karena konsep Lir adalah ‘hideaway place to read’; misalnya ada teman yang datang sendirian di Lir dan mati gaya (atau memang datang ke Lir untuk membaca), tidak adanya hotspot (harapannya) akan membuat mereka memiliki tempat ‘bersembunyi’ (dari dunia maya maupun nyata) untuk membaca dengan tenang.
Koleksi di reading room ada sekitar berapa buku dan terdiri dari buku apa saja?
Total di koleksi pribadi saya ada sekitar 2000-2500 buku, tapi yang dipajang di reading room hanya sekitar separuhnya. Genrenya macam-macam, mulai dari komik, zine, magazine, buku seni, filosofi, psikologi, fiksi, sastra, dll.. Dulunya buku-buku sempat dibuat berbayar apabila dibaca di luar ruang baca (untuk biaya maintenance) tapi sekarang semuanya free tapi hanya untuk dibaca di tempat dan tidak boleh dibawa pulang.
Untuk restorannya, apa menu-menu yang menjadi andalan?
Konsep restorannya (secara tempat) adalah ‘piknik’ dengan dominasi warna hijau dan putih, natural light, tempat yang semi outdoor, dan windchimes di beberapa tempat—maka, menu-menu menyegarkan seperti fresh lemonade dan homemade ginger ale cukup digemari. Sementara ide dasar restorannya adalah mengeluarkan makanan-makanan dari buku cerita.. jadi biasanya menu seperti Mad Hatter’s Tea Party, Butterbeer, Ratatouille, Mother Bear’s Porridge jadi andalan selain homemade yoghurt dan comfort drink (yang banyak dipilih saat hari hujan).
Kalau di curiousity shop, benda-benda apa saja yang dijual?
Kebanyakan benda-benda handmade dan barang-barang antik. Mulai dari produk kolase Vantiani, silk-screen Mukamalas, komik-komik dari Mulyakarya, jewelry dari Forgetmenot, hingga barang-barang manis dari Monster Buaya dan Journ(al)ey.
Siapa saja seniman atau event yang sudah pernah ekshibisi di Lir? Bisa ceritakan salah satu yang paling berkesan?
Hmm.. salah satu yang paling berkesan.. hampir semuanya memberikan pembelajaran berharga bagi kami tapi saya pribadi paling banyak belajar dari pameran-pameran yang saya kuratori di Lir (Strangely Beautiful oleh Sandi Kalifadani, Simalakamma and the Agent of Senses oleh Simalakamma, Disable Crowd oleh Hendra Hehe, dan Power of the Sun oleh Prihatmoko Moki).
Bagaimana Lir melihat art scene di Jogja saat ini, khususnya di kalangan anak muda?
Art scene Jogja itu sangat dinamis, banyak artist-initiative project dan alternative art space yang mulai bermunculan saat ini. Berbagai bidang dan orang-orangnya saling berhubungan dengan pola interaksi yang akrab dan kekeluargaan. Mungkin terdengar sedikit berlebihan, tapi saya sering membayangkan dinamika seni kota Jogja ini seperti kota Paris dalam A Moveable Feast-nya Ernest Hemingway.. begitulah! Mungkin karena karakter kota Jogja yang nyaman dengan mobilitas yang mudah maka setiap minggunya selalu ada acara seni; mulai dari diskusi, artist talk, pembukaan pameran, pemutaran film, dll yang hampir selalu ramai dan diminati oleh anak muda. Dinamika ini lah yang banyak membantu Lir bertahan sampai saat ini.
Next event/project?
Pameran grafis oleh Iwan Effendi di bulan Juli yang juga akan saya kuratori, sebuah site-specific project di bulan Agustus, dan kami sedang mempersiapkan sebuah platform untuk artist residency program yang semoga saja sudah bisa mulai aktif tahun depan. Di sela-sela itu, semoga saja program musik kami (In the Wood dan Folk Afternoon) serta program-program tahunan yang picnic-based bisa tetap berjalan.
Lir Shop:
Jl.Anggrek 1/33, Baciro, Djogjakarta, Indonesia
Foto Lir oleh: Dito Yuwono