Filmstrips: Brief History of Korean Cinema

Bermula dari film-film propaganda perang hingga gemilang di festival film berkelas dunia, dunia perfilman Korea telah melewati banyak jatuh bangun yang terikat erat dan sama melelahkannya dengan sejarah bangsa itu sendiri—mulai dari pendudukan Jepang antara 1903-1945, Perang Dunia II, Perang Korea 1950-1953, dan tahun-tahun represif oleh pemerintahan militer.

Konon, catatan pertama tentang film di Korea muncul di koran Inggris The Times edisi 19 Oktober 1897 yang melaporkan: “Gambar bergerak (film) akhirnya diperkenalkan ke Joseon, sebuah negeri yang terletak di Timur Jauh. Di awal Oktober 1897, gambar bergerak ditayangkan untuk publik di Jingogae, Bukchon, di sebuah barak kecil yang dipinjam dari orang Cina pemiliknya selama tiga hari. Karya yang ditayangkan meliputi film-film pendek dan dokumenter yang diproduksi oleh Pathe Pictures dari Prancis.” Meskipun keabsahan berita tersebut akhirnya dibantah oleh peneliti Brian Yecies yang bersikeras ia tak dapat menemukannya di The Times edisi tersebut dan kini dianggap mitos, tahun-tahun berikutnya menjadi tonggak dari sejarah sinema di Korea.

Penayangan film untuk publik tercatat pada surat kabar Hwangseong sinmun tahun 1903. Di tahun yang sama, bioskop pertama Korea dengan nama Dongdaemun Motion Picture Studio pun dibuka dan disusul oleh bioskop The Dansung-sa Theatre di Seoul, empat tahun kemudian. Bioskop-bioskop pionir ini menayangkan film-film impor dari Amerika Serikat dan Eropa yang meliputi karya-karya dari Douglas Fairbanks, Fritz Lang, dan D. W. Griffith.

Adalah Uirijeok Gutu (Loyal Revenge) yang tercatat sebagai film produksi Korea pertama di tahun 1919, meskipun bentuknya adalah kino drama alias produksi teater hidup di mana para aktornya berakting di depan film yang diproyeksikan ke backdrop panggung. Evolusi berikutnya adalah film bisu di tahun 1923 (The Story of Janghwa and Hongreyon) dan film bersuara pertama pada tahun 1935 (Chunhyang-jeon).  Di antara rentang tahun tersebut, Korea mengalami apa yang disebut dengan The Golden Era of Silent Movies yang sayangnya juga menjadi bab yang hilang dalam sejarah sinema Korea karena setiap film yang diproduksi sebelum 1934 tidak satu pun yang berhasil diselamatkan dengan kondisi utuh.

dr-huyung
Hae Yeong alias Hinatsu Eitaro alias Dr. Huyung. Sutradara Korea yang aktif menggarap film-film yang disponsori Jepang sebelum akhirnya menetap di Indonesia.

Memasuki masa Perang Dunia II, Korea yang berada di bawah pendudukan Jepang didominasi oleh film-film propaganda perang yang kerap mengangkat tema asimilasi antara Jepang dan Korea. Salah satunya adalah film produksi 1941 berjudul You and I yang menggambarkan bagaimana pemuda Korea secara sukarela bergabung ke pasukan Jepang dan berisi subplot cerita pernikahan antara seorang wanita Jepang dengan pria Korea. Film tersebut digarap oleh sutradara Korea Hae Yeong yang punya hubungan erat dengan industri film Jepang dan memiliki nama Jepang “Hinatsu Eitaro”. Yang menarik, setelah merampungkan film itu, Hae pergi ke Jawa untuk membuat film-film dokumenter bagi Jepang dan setelah perang berakhir, ia mengganti namanya menjadi Dr. Huyung, menikahi wanita Indonesia, memiliki dua anak, dan memproduksi film-film Indonesia seperti Antara Bumi dan Langit (film Indonesia pertama yang menampilkan adegan ciuman), Gadis Olahraga, Kenangan Masa, dan Bunga Rumah Makan.

viva freedom
Poster film Viva Freedom! (1946).

Dengan berakhirnya Perang Dunia II dan Jepang angkat kaki dari Korea, kebebasan menjadi tema yang mendominasi sinema Korea dengan contoh pentingnya adalah Viva Freedom! (1946) yang digarap oleh Choi In-gyu. Masa-masa euforia ini tak bertahan lama karena Korea diguncang oleh perang sipil antara Korea Utara dan Korea Selatan. Dalam peperangan selama tiga tahun tersebut (1950-1953), hanya 14 film yang diproduksi dan semuanya tidak ada yang selamat.

The Coachman.jpg
The Coachman (1961).

Menyusul gencatan senjata di tahun 1953, presiden Korea Selatan Syngman Rhee pun mencoba menghidupkan kembali dunia sinema Korsel dengan menghapuskan pajak dan menyediakan peralatan serta teknologi bagi para filmmakers Korsel untuk memproduksi film. Upaya itu melahirkan masa keemasan sinema Korsel baik secara kuantitas maupun kualitas. Dipermanis dengan censorship yang longgar, di masa ini para sutradara Korsel melahirkan film-film legendaris seperti The Housemaid (1960) karya Kim Ki-young dan Obaltan (1961) karya Yu Hyun-mok yang disebut sebagai dua film Korea Selatan terbaik dalam sejarah, serta The Coachman (1961) karya Kang Dae-jin yang menjadi film Korea Selatan pertama yang memenangkan penghargaan di festival film internasional dengan memboyong penghargaan Silver Bear Jury Prize di Berlin International Film Festival tahun 1961.

yeongja.jpg
Yeong-ja’s Heydays (1975).

Sayangnya, gairah sinema Korsel kembali surut ketika Park Chung-hee menggantikan Syngman Rhee sebagai presiden tahun 1962 dan pemerintah mulai menancapkan kontrol yang lebih ketat dalam perfilman Korsel. Sepanjang dekade 1970-an, sinema Korsel berada di cengkeraman sensor Pemerintah. Film-film yang dianggap tidak patriotik, berbau komunis, dan mengandung ide-ide yang dianggap obscene dibabat habis, sampai-sampai menurut International Film Guide edisi 1981: “Tidak ada negara dengan penyensoran film yang lebih ketat dibanding Korea Selatan—kecuali mungkin Korea Utara dan negara-negara blok Komunis lainnya.” Menurunnya kualitas dan diversitas cerita membuat baik para sineas dan penikmat film di masa itu merasa lesu. Yang masih dapat menimbulkan denyut adalah film-film bergenre “hostess films” seperti Yeong-ja’s Heydays (1975) dan Winter Woman (1977) yang keduanya disutradarai oleh Kim Ho-sun. Dua film tersebut bercerita tentang para wanita malam dan terlepas dari konten seksual yang kental, Pemerintah mengizinkan film-film seperti itu dirilis dan menjadi genre populer di antara 1970-1980.

surrogate_woman
Kang Soo-yeon di film The Surrogate Woman (1986).

Masuk dekade 1980, Pemerintah mulai melonggarkan kekang mereka dan gairah membuat film perlahan bangkit. Walaupun jumlah pengunjung bioskop masih terbilang rendah, namun industri film Korsel semakin gencar meraih perhatian internasional. Di tahun 1981, film garapan Im Kwon-taek dengan judul Mandala memenangkan Grand Prix di Hawaii Film Festival dan di tahun 1987, aktris Kang Soo-yeon meraih gelar Aktris Terbaik di Venice Film Festival untuk perannya di film karya Im Kwon-taek berikutnya, The Surrogate Woman (1986). Dua tahun kemudian, ia juga menjadi Aktris Terbaik di Moscow International Film Festival lewat film Come, Come, Come Upward yang juga besutan Im Kwon-taek.

marriage-story
Marriage Story (1992).

Di penghujung 80-an, lanskap industri film Korsel pun semakin berkembang dengan masuknya film-film impor , pembukaan kantor-kantor cabang perusahaan film Amerika, serta investasi para chaebol (konglomerat) yang mendanai produksi dan distribusi film lokal. Yang pertama melakukannya adalah Samsung yang mendanai 25% biaya produksi film Marriage Story (1992) garapan Kim Ui-seok. Setelah Samsung, konglomerat lain seperti Daewoo dan Hyundai turut tergoda untuk menyisihkan uang mereka dengan berinvestasi ke film lokal. Meskipun krisis ekonomi Asia turut menghantam Korsel dan membuat para chaebol kembali fokus ke bisnis utama mereka, namun mereka telah menggemburkan lahan basah bagi masa renaissance industri film Korsel yang ditandai dengan meningkatnya jumlah penonton, praktik bisnis yang sehat, dan regenerasi para sineas.

shiri
Shiri (1999).

Antusiasme rakyat Korsel, khususnya kaum muda terhadap industri perfilman terus memuncak. Di perhelatan perdana Busan International Film Festival tahun 1996 misalnya, tak hanya semua penayangan laris dibanjiri penonton, para penikmat film bahkan sampai ramai-ramai mengejar Tony Rayns, seorang kritikus film asal Inggris, demi meminta tanda tangan. Excitement tersebut pun berhasil diterjemahkan menjadi penjualan tiket film lokal yang mencetak sejarah lewat Shiri (1999), film blockbuster pertama Korsel yang meraih tiket penjualan lebih dari 2 juta tiket di Seoul saja. Kesuksesan film karya Kang Je-gyu tersebut diikuti oleh film-film lokal blockbuster lainnya seperti Joint Security Area (2000) karya Park Chan-wook, My Sassy Girl (2001) karya Kwak Jae-yong, dan Silmido (2003) karya Kang Woo-suk.

Oldboy
Oldboy (2003).

New Korean Cinema” alias film-film kontemporer Korea Selatan pun semakin terkenal dan terbuka aksesnya seiring kepopuleran Korean Wave di seluruh dunia yang masih terasa hingga saat ini. Sutradara Park Chan-wook dengan filmnya Oldboy (2003) meraih Grand Prix di Cannes 2004 dan dipuji oleh sineas-sineas terkenal dunia seperti Quentin Tarantino dan Spike Lee (yang kemudian me-remake film tersebut di tahun 2013). Tak berhenti di negaranya sendiri, Park Chan-wook kemudian membuat film berbahasa Inggris pertamanya, Stoker, di tahun 2013 yang dibintangi Mia Wasikowska dan Nicole Kidman. Di tahun yang sama, sutradara Korsel lainnya, Bong Joon-ho juga merilis film berbahasa Inggris Snowpiercer yang dibintangi Chris Evans dan Tilda Swinton. Kedua film tersebut mendapat respons positif dan kian menegaskan talenta yang dimiliki industri film Korsel.

burning1
Burning (2018).

Selain Park Chan-wook yang kian menegaskan posisinya sebagai salah satu sutradara kontemporer Korsel terbaik lewat The Handmaiden (2016) yang bersaing memperebutkan Palme d’Or di Cannes 2016 dan diganjar Best Film Not in the English Language di British Academy Film Awards 2018, nama mentereng lain di dunia sinema Korsel saat ini adalah Lee Chang-dong yang karyanya, Burning (2018) juga bersaing di Palme d’Or Cannes 2018 dan menjadi entri Korea Selatan untuk Best Foreign Language Film di Academy Awards mendatang.