Love of Siam: 3 Days Trip to Bangkok, Thailand

Dalam sebuah weekend yang mengesankan pada pertengahan Februari lalu, Tourism Authority of Thailand mengajak saya berwisata ke Bangkok dan menemui one of Thailand’s national treasures, Mario Maurer himself.

Day 1 – 16 Februari 2017

Keluar dari Bandara Suvarnabhumi setelah penerbangan selama 3 jam bersama Thai Airways, hari sudah gelap ketika rombongan kami yang terdiri dari 3 media, 3 influencers (Lucky Oetama, Ana Octarina, dan Patricia Devina), 2 pemenang meet & greet, dan perwakilan dari Wisata Thailand menuju pusat kota Bangkok. First impression through local food adalah hal yang penting saat kamu mengunjungi tempat baru. Thailand terkenal dengan sajian seafood yang fresh, karena itu kami menuju salah satu restoran seafood paling terkenal di Bangkok, Somboon Seafood, untuk makan malam pertama kami di Negeri Gajah Putih ini. Begitu masuk ke restoran dua lantai ini, kamu bisa melihat banyak foto orang terkenal dari artis Hollywood hingga para pejabat negara seluruh dunia yang pernah bersantap di sini, and here’s the only reason: the dishes are spectacular. Kamu belum sah pergi ke Bangkok kalau belum mencicipi tom yam goong, curry crab, dan mango rice dari Somboon, so make sure to put it on your itinerary. Somboon sendiri memiliki beberapa cabang, yang saya datangi kali ini adalah cabang Rachada, dan selayaknya restoran terkenal lainnya, ada beberapa restoran yang berusaha mendompleng nama Somboon, so better make sure and google first agar kamu tidak tertipu restoran abal-abal. Salah satu indikasi paling mudah adalah, the real Somboon tidak pernah sepi akan pengunjung.

2017-02-24 09.40.40 1.jpg

Dengan perut kenyang dan hati riang, kami pun menuju hotel tempat kami menginap di Pathumwan Princess Hotel yang letaknya menempel dengan MBK Center, salah satu shopping mall paling legendaris di kota Bangkok yang jumlah pusat perbelanjaannya memang tidak kalah banyak dari Jakarta dan Singapura. Selesai check in dan meletakkan barang di kamar, jarum jam sudah menginjak jam 9 malam dan masih ada sisa satu jam untuk berkeliling MBK, so off we go. Dengan 8 lantai dan 2000 lebih toko yang ada, satu jam jelas tak cukup mengitari mall yang pernah menjadi mall terbesar di Asia saat didirikan di tahun 1985 ini and time always running so fast when you’re shopping. Setelah MBK tutup, saya dan beberapa teman pun memutuskan jalan-jalan sebentar di daerah sekitar National Stadium untuk menikmati angin malam dan melihat wajah after dark dari Bangkok yang mengingatkan saya pada paduan Jakarta dan Kuala Lumpur. A peculiar yet familiar feeling, I must say.

Day 2 – 17 Februari 2017

Agenda pertama di hari kedua adalah mengunjungi Ananta Samakhom Throne Hall, sebuah royal reception hall yang kini menjadi museum berisi peninggalan seni dan sejarah Thailand yang tak ternilai harganya. Melihat istana pualam dengan desain renaissance yang mengingatkan pada gereja St. Peter’s Basilica di Vatikan ini, sesaat saya seperti berada di Eropa alih-alih Asia Tenggara. Untungnya, tak jauh dari Throne Hall, ada Memorial Crowns of the Auspice, sebuah bangunan emas bergaya arsitektur khas Thailand yang menyadarkan kita jika kita masih di Thailand.

Processed with VSCO with nc presetProcessed with VSCO with nc preset

Mulai dibangun pada tahun 1908 atas perintah Raja Chulalongkorn (Rama V), butuh waktu 7 tahun untuk menyelesaikan bangunan karya arsitek Mario Tamagno dan Annibale Rigotti ini. Sama seperti bangunan resmi negara lainnya, ada dresscode khusus yang harus dipatuhi setiap pengunjung yang ingin masuk ke dalam, yang meliputi pakaian berlengan (lengan pendek is okay) dan bawahan yang menutupi kaki (celana panjang untuk pria dan rok panjang untuk wanita). Celana pendek, jeans robek, rok pendek, dan baju tanpa lengan dilarang masuk (better bring your jacket or cardigan). Untuk yang terlanjur memakai celana pendek, kamu bisa membeli sarung yang ada di area informasi seharga 50 Baht. Oh ya, kita juga dilarang membawa kamera, smartphone, dan alat penangkap gambar lainnya ke dalam Throne Hall, jadi kita harus menitipkannya ke dalam loker transparan yang telah disediakan dengan gratis. Melewati proses body check dan mengambil alat recorded guide yang disediakan, saya pun mulai menelusuri Throne Hall.

Sulit untuk mendeskripsikannya tanpa visual, and you better see it with your own eyes. Kubah dan dinding dipenuhi oleh lukisan fresco karya Galileo Chini dan Carlo Riguli yang menggambarkan sejarah Thailand, seperti kisah Raja Rama I mengalahkan pasukan Khmer dan menjadi raja pertama di Dinasti Chakri serta kisah Raja Rama V yang menghapus perbudakan di Thailand. Menggabungkan cita rasa Thailand dengan estetika Eropa, jangan heran jika kamu melihat sosok sang Buddha di antara dua malaikat cherub yang biasanya ada di gereja-gereja Eropa. Selain lukisan fresco, yang tak kalah menakjubkan adalah the exquisite embroidery arts berukuran raksasa dan pahatan kayu yang menceritakan hikayat Thailand. Dan bagian akhir dari tur di Throne Hall adalah koleksi barang-barang mewah milik Ratu Sirikit dan ekshibisi permanen “Arts of the Kingdom” yang menampilkan karya seni tradisional Thai yang dibuat oleh para pengrajin di Sirikit Institute. Sejak tahun 1976, sang ratu akan berpergian ke pelosok Thailand dan menemui anak-anak berbakat seni dari keluarga miskin untuk disekolahkan di Bangkok dan dilatih oleh para pengrajin istana agar tak hanya bisa berkontribusi untuk keluarga tapi juga menjaga tradisi seni Thailand dari kepunahan.

Processed with VSCO with hb2 preset

            Lokasi selanjutnya adalah Phu Khao Thong alias The Golden Mount, sebuah bukit buatan yang di puncaknya terdapat Wat Saket, wihara yang telah ada sejak zaman Ayutthaya (1351 – 1767). Untuk mencapai Wat Saket, kita harus menaiki sekitar 300 anak tangga yang melingkari bukit kecil ini dengan pepohonan rimbun yang menaungi dan beberapa altar untuk menghormati orang yang telah meninggal. Semakin ke atas, semakin jelas terdengar bunyi lonceng, wind chimes, serta rapalan doa yang bergaung tanpa henti dari speaker. Konon, siapa yang bisa membunyikan lonceng paling kencang bunyinya akan mendapat keberuntungan. Tiba di puncak, kamu bisa membayar 10 Baht untuk mengakses rooftop terrace dan menikmati panorama 360 derajat kota Bangkok. Waktu terbaik untuk mengunjungi The Golden Mount dan Wat Saket adalah dari akhir November sampai Januari karena tak hanya cuaca yang lebih sejuk, tapi juga pohon kamboja di sekitarnya sedang mekar dan memancarkan keharuman.

Setengah hari berjalan kaki dan berpanasan di bawah teriknya matahari, waktu makan siang yang ditunggu pun tiba. This time kami mengunjungi Jarnkubkao, sebuah restoran mungil yang menyajikan santapan homemade Thailand. Dengan tembok bercat kuning dengan sebuah mobil mungil yang terparkir di halamannya dan letaknya yang di tengah perumahan, we know it’s a kind of quaint little place with quirky decoration inside, Dan ya, interior restoran ini memang lucu dan Instagrammable banget. Tapi jangan cemas, meskipun begitu bukan berarti restoran ini hanya menjual suasana saja, makanannya pun sangat lezat. Thai iced tea menjadi pendamping sempurna bagi Pad Thai dan berbagai sajian udang dan ikan segar yang kami santap. Beberapa makanan cukup spicy, even bagi orang Indonesia yang biasa menyantap makanan pedas, dan karena seluruh menu ditulis dengan aksara Thai, it’s better to bring your Thai friend untuk membantu menerjemahkan atau bertanya ke waitress. Overall, Jarnkubkao adalah restoran yang sangat worthy dikunjungi untuk makan enak sekaligus update Instagram.

Setelah makan siang, enaknya mencari pencuci mulut. Kami menuju Or Tor Kor Market yang tersohor sebagai fresh market terbaik nomor 4 di dunia. Di pasar segar ini, kamu bisa menemukan banyak buah-buahan, sayuran, daging, ikan, hingga cemilan khas. Namanya pasar, bagian hasil lautnya memang beraroma amis, namun pasar ini sendiri sangat bersih dan nyaman untuk berbelanja maupun sekadar melihat-lihat. Di sini kami mencicipi the famous Durian Monthong dan buah-buahan lainnya. Dari Or Tor Kor, kami menuju Talad Rod Fai (Train Market) di belakang Seacon Square Shopping Mall, sebuah pasar malam tempat berkumpulnya warga lokal dan wisatawan. Kafe-kafe trendi, toko vintage, barbershop, tattoo parlour bercampur menjadi satu dengan 2000 lebih kios makanan, fashion, dan pernak-pernik. Pasar malam memang menjadi satu hal yang sedang hip di Bangkok, kami datang saat weekend dan makin malam makin ramai orang yang datang. Siapkan uang cash yang banyak dan tahan dirimu agar jangan sampai pulang membawa sekarung belanjaan, or not. Your choices.

Day 3 – 18 Februari 2017

 Sabtu yang cerah menjadi hari yang telah ditunggu karena hari ini lah kami akan bertemu dengan Mario Maurer. Tapi sebelumnya, masih ada free time sampai makan siang yang kami manfaatkan untuk belanja (lagi!). Menaiki Skytrain, kami menuju Platinum Fashion Mall, sebuah pusat perbelanjaan yang fokus pada fashion item secara eceran maupun grosir (think about Mangga Dua). Di sini kamu bisa menemukan banyak pakaian dan aksesori yang sering kamu lihat di online shop Instagram dengan harga yang relatif murah dan bisa ditawar, one rule tho: semua pakaian tidak boleh dicoba. Kembali ke hotel, kami pun berangkat ke River City, an upscale mall yang fokus pada toko-toko high end local art, craft, dan furniture. Kami di sini bukan untuk belanja (percaya deh!), dari dermaga di belakang River City kami akan menaiki Supanigga Cruise, dinner cruise berkapasitas 40 seat yang mengarungi Sungai Chao Phraya. Enjoying the evening cocktail, di atas kapal ini kami bergabung dengan rombongan media dan fans lain dari Vietnam dan Filipina untuk bertemu dengan Mario yang memang terpilih menjadi tourism ambassador untuk tiga negara tersebut.

untitled

Dengan rambut slick dan kacamata hitam, aktor kebanggaan Thailand berusia 28 tahun yang masih terlihat baby face tersebut menaiki kapal, look dashing as ever and we’re all gushing with excitement. Menyapa kami dengan ramah, aktor yang beken dengan film seperti The Love of Siam dan First Love ini pun menceritakan beberapa hal favoritnya dari kota asalnya, which includes night market (he’s regular visitor apparently) to shop and snacking around his favourite local snack, Thong Yip. Few moments before complete sunset, perahu menepi di dermaga Chatrium Hotel Riverside di mana kami akan makan malam bersama Mario dan pihak Tourism Authority of Thailand. The amazing view and breezy air from Chao Phraya menjadi latar yang sempurna untuk malam yang memorable ini. Secara bergantian, perwakilan dari grup Indonesia, Filipina, dan Vietnam mengungkapkan kesan dan pesan selama perjalanan ini and some even confess their love for Mario yang disambut dengan senyuman ramah dari sang bintang yang berjanji akan gantian mendatangi negara kami (seminggu setelahnya Mario melakukan meet & greet di Neo Soho, Jakarta yang dihadiri ribuan orang).

mario

         Tiga hari memang waktu yang tergolong sangat singkat untuk menikmati Bangkok yang memiliki hidden gems tak terhitung di setiap sudutnya. Namun, dengan keramahan para warga lokal, kuliner lezat, unlimited shopping experiences, dan keluhuran tradisi yang terjaga di pekatnya perkotaan, rasanya selalu ada alasan untuk kembali mengunjungi Bangkok in the future. Untuk sekarang, hĕn khuṇ nı p̣hāyh̄lạng*, Bangkok!

*See you later!

2017-02-24-09-45-30-1.jpg