The Magic Hour, An Interview With Kimbra

Kimbra1

Dengan eksplorasi musikal tanpa batas, performance eksplosif, dan segala keunikan yang melekat dalam dirinya,Kimbra membuktikan jika ia bukan sekadar “somebody that you used to know”. She’s here to stay with guts and a whole heap more

Hanya sehari menjelang keberangkatan saya ke Bali untuk Sunny Side Up Festival di awal Agustus lalu, tersiar kabar jika Gunung Raung kembali memuntahkan abu vulkanik and there’s big chance jika jadwal penerbangan ke Denpasar akan sangat kacau. Ada ketakutan jika banyak para performer yang terpaksa membatalkan penampilan mereka dan memilih langsung terbang ke Jakarta untuk We The Fest yang juga diselenggarakan oleh Ismaya Live. Saya sendiri akhirnya memilih stay di Jakarta sekaligus dengan berat hati membatalkan exclusive interview dengan salah satu performer utama di festival itu, Kimbra Lee Johnson, singer-songwriter asal Selandia Baru atau yang lebih dikenal dengan nama depannya saja. It turns out, penyanyi berumur 25 tahun yang terkenal dengan single “Settle Down” dan duetnya bersama Gotye di lagu “Somebody That I Used to Know” ini memiliki nyali serta dedikasi yang lebih besar dari saya. Tak mau mengecewakan penggemarnya, dia tetap terbang dari Australia walaupun harus detour ke Surabaya lebih dahulu untuk mencapai Bali dan berdasarkan reaksi yang saya baca di social media, sukses tampil gemilang di festival yang berlangsung di Potato Head Beach Club tersebut. Lucky for me, Kimbra bersedia untuk menjadwalkan ulang interview dan photoshoot bersama NYLON Indonesia di Jakarta, tepatnya Minggu, tanggal 9 Agustus lalu di hari yang sama dengan digelarnya WTF di Parkir Timur Senayan.

Saat saya dan tim tiba sekitar jam 10 pagi di hotel tempatnya menginap, sang tour manager menginformasikan jika Kimbra masih butuh beberapa saat untuk bersiap dan mengingatkan jika dirinya mungkin masih agak lelah. Well, tiba di Jakarta untuk langsung rehearsal setelah terjebak di bandara selama enam jam memang terdengar seperti resep jitu untuk mood yang jelek, terutama jika kamu telah menghabiskan banyak waktu di tur dan harus menghadapi jurnalis di Minggu pagi yang terik. Satu hal yang saya notice, Kimbra termasuk public figure yang sangat peduli akan detail. Dengan segala persiapan yang lumayan mendadak karena perubahan jadwal yang juga tiba-tiba, kami harus memberi tahu dengan jelas tentang konsep dan detail pemotretan yang akan kami lakukan, dari mulai wardrobe, make up, sampai lokasi yang setelah beberapa pertimbangan akhirnya disepakati untuk dilakukan di kamar hotelnya. Dia hanya mengizinkan fotografer dan stylist untuk naik terlebih dulu ke kamarnya dan setelah nyaris satu jam menunggu di lobi, akhirnya saya diperkenankan untuk masuk ke kamar hotelnya.

Jujur saja, saya sempat berpikir jika mungkin dia adalah tipikal artis yang banyak mau dan mungkin agak diva-ish, tapi semua prasangka tersebut langsung luruh ketika dengan ramah ia mengulurkan tangan sambil tersenyum lebar untuk memperkenalkan dirinya. Berambut hitam sebahu dengan poni, lipstick merah, dan winged eyeliner, wajahnya terlihat segar meskipun ia mengaku agak mengantuk. “Sebetulnya saya termasuk orang yang lebih suka bangun pagi,” ujarnya sambil menikmati potongan buah-buahan dan secangkir kopiyang menjadi breakfast-nya. “Saya tahu adalah hal yang tipikal bagi seorang musisi untuk tidur sampai siang, tapi saya berusaha bangun sekitar 9 pagi. Kalau sedang disiplin saya akan memulai hari dengan olahraga, tapi saat tur panjang seperti sekarang hal itu lumayan sulit. Jadi biasanya saya memulai hari dengan sarapan, menyalakan laptop untuk mengirim email dan hal-hal administratif lainnya. Dan ketika siang atau menjelang petang, baru lah saya menulis musik,” imbuhnya.

Meskipun sempat terjebak di bandara selama 6 jam karena abu vulkanik, Kimbra mengaku sangat antusias untuk penampilannya di Bali dan Jakarta. Bila kamu mengikuti akun Instagram miliknya, kamu mungkin sudah tahu jika salah satu hal yang membuatnya antusias datang ke Indonesia adalah musik gamelan. “Saya mengetahui soal gamelan saat saya di Montreal dari salah satu produser yang bekerjasama dengan saya, Damian Taylor, yang pernah bekerjasama dengan Björk untuk album Volta di mana Björk sangat terpesona oleh gamelan. Damian memberikan saya beberapa album gamelan Bali yang suka saya dengarkan sebelum tidur karena bunyinya yang sangat melodic dan soothing,” ungkapnya.

Honestly, ketertarikan Kimbra pada gamelan sama sekali bukan hal yang aneh, mengingat bagaimana ia terkenal karena warna musiknya yang eklektik. Secara umum, Kimbra membuat musik yang merupakan anagram dari berbagai genre. Dari mulai modern electropop, R&B, jazz, dan soul yang dengan mudah menari di antara balada kontemplatif hingga tubthumping anthem yang membakar stage. Rasanya, bunyi gamelan yang dreamy sekaligus perkusif tidak akan terasa aneh jika dimasukkan dalam album terbarunya, The Golden Echo yang dirilis Warner Bros setahun lalu.Inspirasi utama diThe Golden Echo banyak datang dari mitologi Yunani, khususnya cerita Narcissuss yang terpesona pada bayangannya sendiri. Dan album ini memang menampilkan banyak refleksi dari Kimbra, in term of music and mood. 12 lagu di dalam album ini dikerjakan olehnya di sebuah urban farm yang dipenuhi hewan ternak di daerah Los Angeles, sehari setelah ia memenangkan Grammy Award 2013 bersama Gotye untuk kategori Record of the Year dan Best Pop Duo/Group Performance yang membuatnya menjadi orang Selandia Baru ketiga yang pernah tercatat dalam sejarah Grammy.

Kini, setelah dua setengah tahun tinggal di L.A., merilis The Golden Echo, tur keliling dunia, dan critical acclaim sebagai solo singer-songwriter, Kimbra memutuskan pindah ke New York City, namun tampaknya fragmen masa lalu bertajuk “Somebody That I Used to Know” tersebut masih membayangi langkahnya. “Saya tiba-tiba mendengar lagu itu dimainkan di sebuah cafe ketika saya sedang di New York dan rasanya semua tiba-tiba kembali terlintas di depan mata saya, gosh, karena lagu itu sebetulnya sudah tidak terlalu sering diputar di radio lagi sekarang ini kan? Saya lantas tersadar jika semuanya terjadi dengan begitu cepat. Rasanya baru kemarin saya merekam lagu itu di studio rumah saya. It is such a nice song, more like a ballad, tapi saya tidak pernah berpikir jika lagu ini akan menjadi begitu fenomenal. Bagi saya, itulah beautiful mystery of music, ketika semua variabel terasa tepat, itu bisa terjadi pada siapapun, tapi tentu saja butuh kerja keras untuk sampai di titik itu. Gotye pun bukan penyanyi baru sebetulnya, dia telah memiliki tiga album. Tapi, it’s beautiful humbling realization jika pop hit song bukan sekadar sesuatu yang kamu formulasikan dalam kepala. Kadang hal itu bisa terjadi begitu saja, dan bagi saya, itulah yang membuat saya tetap percaya pada musik pop. Saya tidak mau percaya jika musik pop hanya sekadar sekumpulan orang di meja rapat yang memutuskan lagu apa yang akan menjadi nomor satu. Terkadang something just hit the right moment dan sebuah lagu begitu mendunia karena emosi di dalamnya terasakuat, that’s what I think about that song.”

Kimbra4

Tak bisa dipungkiri jika kebanyakan orang mungkin memang baru mengenal namanya berkat lagu duet tersebut. Namun sebetulnya, bahkan sebelum merilis album debutnya, Vows, di tahun 2011, Kimbra adalah natural-born musician dengan talenta mengagumkan. Lahir di Hamilton, Selandia Baru pada tanggal 27 Maret 1990, Kimbra berasal dari keluarga medical. Ayahnya adalah dokter dan ibunya adalah seorang perawat dengan koleksi rekaman The Beach Boys dan Frank Sinatra. “It’s always in my heart,” ujarnya soal musik. “Saya selalu menganggap musik adalah bahasa dan medium bagi saya untuk mengeluarkan emosi di dada saya,” imbuhnya. Mulai menulis lagu sejak umur 10 tahun, belajar gitar di umur 12, dan membuat video musik pertama di umur 14 untuk sebuah acara TV anak-anak, saat SMA ia bergabung dalam jazz choir sekolahnya dan berkompetisi dalam kompetisi musik nasional. Sebagai remaja, ia mencintai musik pop, tapi dia juga mendengarkan Björk, Nine Inch Nails, Mars Volta, dan Cornelius. Namun, saat ditanya siapa musisi yang membuatnya ingin serius bermusik, dengan tegas ia menyebut nama mendiang Amy Winehouse. “Hmm… Waktu itu saya sangat terinspirasi Amy Winehouse, karena walaupun dia penyanyi jazz, tapi dia punya influens hip-hop yang kental with those beat and toughness dan dia tidak takut untuk mengutarakan pendapatnya. Ketika saya mendengarkan album pertamanya, saya tersadar jika saya juga bisa membuat musik seperti itu, dengan melodi jazz tapi juga terdengar tough. Dan tentu saja saya juga menyukai musik-musik yang lebih keras seperti Soundgarden, Mars Volta karena walaupun mereka rock tapi juga sangat soulful. Saya banyak mendengarkan punk dan juga Jeff Buckley karena walaupun dia penyanyi rock tapi dia memiliki vokal jazz yang sangat kuat. Mereka dan penyanyi-penyanyi bernyali besar lainnya seperti Kate Bush yang menginspirasi musik saya. I don’t wanna be safe, I want to push the boundaries,” tegasnya.

The Golden Echo adalah usahanya untuk mendobrak batasan tersebut. Dibuka oleh lagu berjudul “Teen Heat”, paruh pertama album ini dipenuhi oleh racikan glorious beat yang exuberant dan catchy seperti “Miracle” dengan influens disco yang menjadi lagu pertamanya yang bertengger di Billboard dan single utama “90s Music”, sebuah ode untuk generasi 90-an yang unapologetically pop dan turut diproduseri Mark Foster dari Foster the People. “Ketika mendengar kata pop, saya membayangkan musik yang punya melodi catchy, musik yang bisa diterima baik oleh sembarang orang di jalan maupun seorang music student. Tapi saya juga merasa jika banyak musik pop yang quite unimaginative and uninteresting. Terkadang saya merasa sedih jika orang hanya memandang saya sebagai musisi pop, karena saya percaya jika pop justru adalah wadah di mana kamu bisa menggabungkan banyak ide dan genre. Ketika saya melihat Prince atau Michael Jackson misalnya, mereka memiliki musik yang menarik dan progresif, tapi masih terasa pop karena kamu bisa menyanyikan chorus-nya sambil mandi tapi ketika kamu mendengar bagian verse-nya, kamu akan seperti… ‘Wow!’, it’s crazy. Pop tidak seharusnya membosankan dan predictable, bagi saya musik pop justru harus punya kejutan dan menantangmu untuk mendengarkannya tidak hanya lewat telinga, tapi juga lewat hati dan pikiran. That’s what I’m passionate about.”

Sementara paruh kedua album ini diisi lagu-lagu yang lebih sentimental seperti “As You Are”, sebuah lagu balada dengan dentingan piano yang diakuinya merupakan lagu paling jujur dan personal dalam album ini. Ia tersenyum tipis ketika bercerita soal lagu itu, seakan luka emosi yang melatarbelakangi lagu itu belum benar-benar pulih. “Lagu itu adalah lagu yang sangat emosional, karena berdasarkan real situation dengan seseorang yang mematahkan hati saya,” paparnya, sebelum melanjutkan, “Lagu ini tentang vulnerability ketika kamu telah mengekspos dirimu kepada seseorang dengan begitu jujur dan apa adanya, literally as you are, dan sebagai seorang seniman, merupakan hal yang sakral untuk mengizinkan orang lain untuk masuk ke hatimu dan menjadi bagian hidupmu in an intimate way. Lagu ini tentang ketika hubungan tersebut kandas, ketika kita merasa tereksploitasi dan terluka. Ini adalah lagu yang paling berat yang saya tulis. But I’m already over it, semua orang pernah berada di titik itu, haha,” tuntasnya sambil tertawa kecil.

Kimbra3

Alih-alih terdengar seperti album bipolar, The Golden Echo untungnya lebih seperti sebuah cerita yang berkesinambungan di mana seperti hidup, there’s a lot of ups and downs dan Kimbra menyikapinya dengan aksi panggung yang setara, bahkan lebih dari ekspektasi. “Yang saya suka ketika tampil di panggung adalah bagaimana setiap momen terasa berbeda dan tidak bisa kamu ulangi lagi. Dan saya selalu berpikir bagaimana caranya agar penampilan saya tidak hanya menghibur penonton tapi juga diri saya sendiri. Terkadang saya hanya ingin duduk dan menyanyi dengan memejamkan mata, dan di hari lain saya ingin rock out seliar mungkin. It’s about changing the energy every time,” ucap Kimbra yang menyebut Coachella sebagai festival moment favoritnya sejauh ini. “Saya pernah tampil di Coachella sebelumnya bersama Gotye, tapi Coachella kemarin adalah kali pertama saya tampil bersama band saya sendiri dan rasanya luar biasa. Its very iconic music festival, dengan gurun pasir dan matahari terbenam, it was very beautiful,” kenangnya.

Seperti yang mungkin kamu saksikan sendiri di WTF silam, totalitas Kimbra sebagai musisi turut diperkuat oleh elaborate costume yang ia kenakan dalam setiap penampilan live-nya. Dalam penampilan di Coachella kemarin, misalnya, ia mengenakan gaun dengan konsep cermin yang didesain oleh Cassandra Scott-Finn, seorang desainer berlatar sculpture artist dan fine art yang menjadi stylist untuknya. “Orang selalu bertanya apakah saya menjadi orang lain saat berada di atas panggung, tapi saya merasa jika hal itu sebetulnya lebih sebagai exaggeration of the personality, karena saat tampil di depan ribuan orang, kita harus menonjolkan penampilan kita karena kalau saya tampil di panggung dengan baju sehari-hari saya, akan sulit bagi saya untuk memisahkan mana diri saya sebagai seorang entertainer dan diri saya sehari-hari. I love the loudness of my performance, tapi sebetulnya saya sendiri lebih cenderung pendiam, dan lebih memilih obrolan one on one seperti ini. Di akhir hari, ketika saya membersihkan make up dan melepas kostum panggung saya, rasanya menyenangkan untuk menjadi Kimbra yang apa adanya,” ungkapnya.

Namun, baik di atas maupun di luar panggung, Kimbra tak pernah lupa menginjeksikan quirkiness yang segar dalam kesehariannya. Dalam interview ini, ia memakai printed sweater dari label Selandia Baru bernama Stolen Girlfriends Club yang kasual tapi tetap terlihat eye-catching. “I like to dress comfortably yet still able to express myself,” akunya. “Salah satu sahabat baik saya, Natasha Bedingfield, pernah bilang jika terkadang kita berpakaian bukan hanya untuk membuat diri kita sendiri feel good, tapi juga membuat orang lain tersenyum. Jadi ketika kita berjalan ke luar dan terlihat fun, it’s like something that make people smile and bring joy to other person. I like to think fashion being a conversation,” jelasnya.

Meski demikian, ia pun tak mengingkari jika sebagai seorang musisi wanita, there’s a lot of pressure dalam industri ini, terlepas dari maraknya slogan feminisme dalam dunia musik yang kini dilontarkan oleh rekan-rekan musisinya seperti Taylor Swift hingga Beyoncé. “Saya lebih percaya pada equality movement. Saya merasa ‘feminisme’ telah menjadi suatu kata dengan banyak momok dan beban tersendiri yang melekat. Women are now taking back the power, which is good thing, tapi jika itu artinya musik menjadi more and more sexualized, hal itu tak akan mengubah apapun. Pria masih akan memandangmu sebagai sexual object. Yang saya percaya adalah kesetaraan antar gender dan mutual respect di mana baik pria dan wanita bisa bangga terhadap tubuh mereka, atau pria dan wanita bisa duduk di studio dan merekam musik mereka sendiri. I don’t think it’s about war between the sexes, namun saya juga sangat bangga jika kaum perempuan bisa menunjukkan taring mereka, its great thing.”

Kimbra2

Fotografi oleh Andre Wiredja

Stylist: Anindya Devy