The Pursue of Perfection, An Interview With George Maple

Always try to push the limit of herself dan segala batasan yang ada di sekitarnya, George Maple adalah sosok musisi perfeksionis penuh talenta yang tidak pernah dipuaskan oleh mediocrity, tidak dari orang lain, dan terutama tidak dari dirinya sendiri. 

dsc09932-2

Almost like a déjà vu, di hari pertama We The Fest (WTF) tahun ini yang jatuh pada hari Sabtu tanggal 13 Agustus lalu, tim NYLON menemukan diri kami dalam situasi yang nyaris sama dengan setahun sebelumnya. Which is? Menyambangi Fairmont Hotel Jakarta di Sabtu pagi untuk melakukan photoshoot dan interview eksklusif bersama salah satu international artist yang menjadi bintang festival musik garapan Ismaya Live tersebut. Tahun lalu kami telah bertemu Kimbra, sementara kali ini kami berkesempatan bertemu dengan Jess Higgs, seorang penyanyi perempuan muda yang tak kalah bertalentanya yang saat ini lebih dikenal dengan nama panggungnya, yakni George Maple. Entah kebetulan apa bukan, kedua vokalis perempuan tersebut memiliki beberapa kesamaan yang mudah disadari. Keduanya telah mulai bermusik sejak awal remaja, berasal dari wilayah Down Under (Kimbra dari Selandia Baru, sementara George dari Australia), meraih breakthrough lewat sebuah lagu kolaborasi, dan yang paling penting, keduanya memiliki bakat musikalitas yang impresif dengan perhatian pada detail visual yang sama kompleksnya. In other words, both of them are very passionate and perfectionist for their body of works. Namun tentu di sini kami tidak bicara soal membandingkan keduanya secara head to head, karena bagaimanapun keduanya punya karakteristik masing-masing. Jika Kimbra identik dengan kata quirky, maka sexy dan sultry adalah kata yang lebih tepat menggambarkan George Maple.

            Ditemui di kamar hotelnya, penyanyi berusia 25 tahun ini baru kembali setelah melakukan soundcheck untuk performanya di hari pertama WTF sebelum terbang esok hari untuk Sunny Side Up di Bali. She’s been in Indonesia for few times. Salah satunya ketika tampil bersama Flight Facilities untuk menyanyikan single “Foreign Language” saat ia masih memakai nama Jess. Tapi ini adalah penampilan perdananya sebagai George Maple and she’s definitely excited for it. “Tentu saja rasanya selalu seru saat pergi ke negara baru dan tampil di sebuah festival. Saya merasa setiap hari adalah sebuah pencapaian baru, entah itu berkolaborasi dengan musisi lain, menulis lagu, atau tampil di atas panggung. Playing shows is obviously very fun, saya menikmati tampil di panggung sama besarnya seperti bekerja di studio. Especially for the fans, it’s all about the kids who come and the fact that I want to come out. When they sing louder than you, it’s amazing,” ungkapnya sambil duduk di depan cermin makeup dan membiarkan wajahnya mulai dirias.

Saat berhadapan langsung dengannya, kamu akan merasa jika sejatinya wanita ini memang memiliki aura seorang chanteuse karismatik. Perawakannya tinggi dengan rambut jet black serta winged eyeliner yang membingkai mata dan bibir yang diselimuti lipstick yang terkesan intimidating. However, vokalnya saat berbicara mengalun halus dan merdu hampir seperti sedang bernyanyi. Lahir dan dibesarkan di Newport, Sydney, ia mengaku bukan berasal dari keluarga musisi. Ayahnya adalah seorang businessman dan ibunya seorang akademisi. Namun ia menyebut jika kakeknya yang berdarah Jerman adalah seorang pengacara yang juga bernyanyi di choir dan mungkin dari sana lah bakatnya menurun. Waktu kecil, ia terbiasa mendengarkan apapun yang didengarkan oleh orangtuanya seperti Sade, Prince, dan penyanyi Australia bernama Renee Geyer, sampai akhirnya ia mulai menemukan selera musiknya sendiri saat beranjak remaja yang terdiri dari TLC, Justin Timberlake, dan Backstreet Boys.

dsc09412-2

Ketertarikannya pada musik diawali dengan mempelajari piano dengan metode Suzuki yang sekaligus mempertajam kemampuan vokalnya. Selama masa SMA, ia mulai tampil di berbagai acara musik di kotanya menyanyikan lagu-lagu cover musisi favoritnya sebelum beberapa tahun kemudian ia bertemu dengan Flight Facilities lewat mutual friend di sebuah bar dan seminggu kemudian mengisi vokal di lagu “Foreign Language” yang telah disebutkan sebelumnya. Kepopuleran lagu tersebut berimbas tak hanya rasa penasaran orang pada sosok dirinya, tapi juga keinginannya untuk merilis materi lagunya sendiri sebagai musisi profesional yang sempat tertunda saat ia berkuliah di jurusan media dan jurnalisme. Following her true calling to be musician, ia merilis sebuah lagu electro-soul bertajuk “Fixed” di tahun 2013 yang juga menjadi salam perkenalannya ke publik dengan nama George Maple. “Di masa awal-awal membuat musik, saya masih merasa enggan untuk menunjukkan diri saya, saya menginginkan suatu wadah di mana saya bisa berkreasi tanpa harus mengekspos diri saya, jadi saya membuat George Maple sebagai sebuah kanvas kosong. Nama itu sendiri sebetulnya tidak berarti apa-apa, it’s just a name that emulate what I’m trying to show, and my mom like it, haha.”

            Just like Sasha Fierce for Beyonce atau David Bowie sebagai Ziggy Stardust, tidak sedikit musisi yang memilih untuk menciptakan sebuah persona baru dalam berkarya dengan berbagai alasan masing-masing. Most of them are for creative reasons. Begitu pun juga yang menjadi alasannya dalam memakai nama George Maple. “I think it’s more like a space where I can channel energy and put my experiences in more dramatic form. Saya senang bercerita dan apa yang saya tulis kebanyakan memang berdasarkan pengalaman personal yang mungkin agak sedikit didramatisir. Rasanya melegakan memiliki sebuah wadah berkreasi di mana George sebagai karakter, instead of me, bisa menempatkan dirinya di kondisi yang lebih ekstrem. It’s really a good place for me to put certain things so they don’t become a part of me, seperti energi-energi negatif yang bisa saya tampung di sebuah safe place.”

            Ketertarikannya pada musik elektronik terpicu saat mendengarkan album kolaborasi Gil Scott-Heron dan Jamie xx beberapa tahun lalu. Menggabungkan sensibilitas musik pop dan soul klasik dengan balutan produksi elektronik minimalis, ia menyebut musiknya sebagai Future Pop. “I don’t want to be the one to define future pop, everyone have their own interpretations, tapi bagi saya hal ini tentang mengeksplor cara baru untuk membuat musik dan menulis lagu, karena bagaimanapun, it’s always paying homage to the traditional pop music but also exploring these new technologies and style and challenging the traditional method a little bit,” paparnya, sebelum melanjutkan, “Saya merasa produksi adalah bagian besar dalam penulisan lagu, but in the end of the day, jika kamu bisa duduk dan memainkan lagu itu dengan sebuah gitar, then it’s a good song.”

Bicara soal songwriting sendiri, George mengaku mengagumi para penulis lagu pop seperti Max Martin dan Linda Perry, “Hal yang menarik adalah influens musik yang saya buat sekarang sebetulnya saya sendiri tidak tahu asalnya dari mana, I don’t grow up listening to some music I tend to create now and my friends always tell me about these artists yang mereka pikir memengaruhi saya, seperti Rose Royce misalnya yang terkenal di tahun 70-an. Mereka pikir saya mendengarkan Rose Royce padahal saya tidak mendengarkan musiknya sebelum mereka memberitahu saya. I try not to listen to too many things because I have quite sympathetic ears, and I don’t want to accidentally copy something, a lot of it actually comes from whatever going on inside of me. Saya senang menemukan musisi baru baik yang zaman sekarang maupun old artists, discovering Rose Royce is big one for me because it’s open this door to something I’m not naturally doing namun bisa mengembangkan warna musik saya. So I guess I’m always open to many new things.”

Telah banyak sekali berkolaborasi dengan para musisi dan produser elektronik seperti Flume, What So Not, DJ Snake, Kilo Kish, Ta-ku, Snakehips untuk menyebut segelintir kecilnya, George saat ini sedang menikmati serunya membuat lagu seorang diri, tak hanya soal vokal, tapi juga produksi hingga mixing. To be able to 100% sufficient adalah hal vital baginya. Kepekaannya yang semakin terlatih dan introspeksi personal pada inspirasi dalam dirinya kemudian mewujud dalam sebuah debut album mini Vacant Space yang dirilis akhir 2015 lalu oleh Future Classic dengan hits single “Talk Talk” yang melambungkan namanya. Direkam selama 18 bulan dan dikerjakan berpindah-pindah kota, dari mulai London, Los Angeles, New York, dan Sydney, album ini berisi lima lagu soulful dengan produksi aransemen elegan di mana vokalnya silih berganti menyesuaikan mood lagu, berat dan powerful di satu lagu dan ringan di lagu lain dengan lirik emosional nan jujur soal relationship, terutama di lagu “Vacant Space” yang juga menjadi lagu pertama. “Saat menulis lagu ini saya sedang ada di London dan berada di situasi emosional yang lumayan berantakan. Saya punya pengalaman kurang menyenangkan soal relationship dan merasa lelah soal itu. Saya pergi ke tempat teman saya untuk main musik. Dia bermain gitar lalu lagu ini mengalir dengan sendirinya dan selesai dalam waktu 10 menit. Aslinya, lagu ini lebih seperti lagu pop tradisional dengan chorus and everything, saya lalu mengirimnya ke Harley (alias Flume) dan ia mengutak-atik aransemennya menjadi lebih obscure,” kenangnya.

Not just moving on dari cerita cinta yang kandas, kepindahannya ke Amerika tahun lalu juga membawanya ke inspirasi baru dalam bermusik. Pertemanannya dengan para rapper dan produser Hip Hop di Amerika menginjeksikan semangat baru dalam dirinya dan menginfluens musiknya. “I think it’s just a life, saya telah melewati beberapa fase, saya mungkin akan kembali menelusuri sisi rapuh saya lagi di masa mendatang, tapi untuk saat ini saya sedang menikmati rasa percaya diri dan boldness yang ada di diri saya sekarang. It’s just what me at the moment,” paparnya. Hasilnya adalah materi baru seperti “Stick And Horses” dan “Buried“ yang dirilis tahun ini. Dibandingkan materi sebelumnya, kedua lagu tersebut terdengar jauh lebih agresif dan powerful dengan influens Hip Hop kental yang menjadi babak baru dalam musiknya, termasuk dalam urusan visual.

 Jika sebelumnya George dengan sengaja membangun image misterius dengan menolak memberikan press shot dan memilih vokalnya yang berbicara mewakili dirinya, belakangan ini ia seutuhnya menempatkan dirinya di bawah spotlight panggung-panggung besar dari mulai Coachella sampai Lollapalooza, bidikan fotografer, dan menjadi tokoh utama dalam video-video terbarunya yang bernuansa provokatif dengan tema besar seperti power, money, and sex, yang juga sebuah commentary yang berasal dari pengamatannya soal industri musik yang ia geluti. “I think it’s about observing and being aware of it. Banyak hal yang bisa membuatmu geram tapi kamu punya pilihan untuk mengambil sikap, and I choice not to act that way but also to hopefully provide some guidance for people who don’t really understand the complexity of the industry. Begitu banyak anak muda yang berharap masuk ke industri ini dan dimanfaatkan oleh orang sekitarnya. It’s an industry where if someone is taking advantage of you, they not just taking advantage of your job, but also for you as a person, because we are the product and it’s quite upsetting for me watching younger artists go through that, so I hope my observations could help someone else one day.”

            Di video untuk “Stick And Horses” yang juga menampilkan kolaborasi dengan rapper GoldLink, George menampilkan imaji kekuasaan dan seksualitas dalam sebuah strips club yang seduktif dan berbahaya, sebuah wilayah yang diakuinya benar-benar asing bagi dirinya. Sementara di video “Buried” yang digarap oleh Leticia Dare, George kembali menemukan dirinya di tempat yang dekat dari rumahnya. Berkolaborasi bersama teman masa kecilnya, Chris Emerson, yang lebih dikenal sebagai What So Not dan rapper asal Atlanta bernama Rome Fortune, video ini menampilkan visual dirinya yang sedang tenggelam di bawah air. “Waktu sekolah, kami punya acara seperti swimming carnival di mana kami harus pergi dan berkompetisi dalam adu renang, dan kebetulan tempat kami merekam video ini adalah tempat yang sama. Kebetulan juga Chris memang dulu tinggal tak jauh dari rumah saya, jadi ini seperti nostalgia. Kami berada di tempat renang yang sering kami kunjungi saat sekolah, it’s quite humbling and cool.”

            Perhatiannya pada detail visual tak lantas berhenti di situ. Dalam pemotretan ini misalnya, secara spesifik ia mengetahui dan menyiapkan referensi riasan seperti apa yang ia mau, pilihan baju, dan overall concept. Visual baginya adalah perpanjangan dari musik yang ia hasilkan. Saat saya bertanya apakah ia termasuk orang yang lebih suka mencari inspirasi dengan cara menonton film atau membaca buku, ia menjawab bukan dua hal itu yang menjadi sumber inspirasinya. “Saya banyak menghabiskan waktu di imajinasi saya sendiri. Dari kecil saya sering jalan-jalan sendirian dan menulis cerita di benak saya dan mungkin itu juga yang menjadi alasan kenapa akhirnya saya melakukan hal ini sebagai profesi. Saya tentu saja ingin menghabiskan lebih banyak waktu dengan menonton film atau membaca buku, tapi saya merasa inspirasi saya berasal dari hal-hal yang benar-benar ada di sekitar saya. I don’t think you can really write about things you don’t know, so for me it’s about learning and experiencing as much as possible. You learn so much just by hanging around with other people and listening to them.”

            Menyebut nama Kendrick Lamar dan Kanye West sebagai dream collaborators, kolaborasi baginya adalah tentang membangun koneksi tak hanya soal kreativitas tapi juga di level personal. “I just love to work with people whom I can vibing with in personal sense, dan vibe itu tidak selalu harus yang bersifat positif, it could be a friction, sexual tension, or even sometimes frustration, I guess it’s all about the energy and how the energy works together,” terangnya. Sisi perfeksionis dalam dirinya bahkan membuatnya tak segan untuk turun tangan langsung dalam menangani hal-hal teknis seperti membalas email and all the business side of it. “Rasanya seperti bekerja di sebuah dapur,” cetusnya, “Kita harus tahu setiap aspek dan bagian dari profesi yang kita lakukan. Saya merasa tidak banyak musisi yang berusaha mengerti soal itu, for me it’s just my personality that need to be hands on everything.”

Dengan jadwal tampil di festival bergengsi di berbagai belahan dunia, praktis tahun 2016 menjadi tahun super sibuk baginya. Telah tinggal di banyak kota besar dunia, saat ini, ia menyebut Los Angeles sebagai tempatnya pulang. Ketika sedang bercerita tentang LA, omongannya sempat terhenti saat speaker memutarkan salah satu lagunya. “Is it weird to hear your own song?” tanya saya yang langsung dijawabnya “No, I’m used to it, it’s cool, but it always a bit funny,” tandasnya dengan senyuman simpul, sebelum melanjutkan hal yang paling ia rindukan dari rumah, yaitu? “Saya suka membuat salad. Hal favorit saya saat pulang tur adalah pergi ke supermarket untuk membeli bahan-bahan salad dan membuat semangkuk besar salad. It’s strange thing I enjoy, I especially salmon salad, haha,” pungkasnya. Menyoal hal yang ia suka lakukan selain bermusik, ia sempat berpikir agak lama karena baginya saat ini fokusnya memang sedang 100% di musik, tapi pada akhirnya ia mengutarakan jawaban yang melintas di benaknya. “Saya pergi ke Meksiko beberapa bulan lalu dan menginap di sebuah tempat di dekat Cabo yang agak terpencil, and that’s the first holiday I got in so long and I feel really relax. I do yoga retreats as well, I would like to go to Ubud, saya belum pernah ke sana, dan mungkin setelah tur ini saya akan ke sana.”

            Sebagai musisi yang namanya sedang naik, especially in this social media age, George pun mengungkapkan pendapat pribadinya soal popularitas dan media sosial. “Media sosial tentu saja sangat bermanfaat in so many ways tapi di saat yang sama saya juga tidak menyukai orang-orang yang bersembunyi di balik keyboard. Orang-orang sekarang bisa sangat judgemental di internet, terutama untuk anak-anak dan remaja. It’s hard enough to growing up; you don’t need the additional stress from internet tapi saya merasa media sosial adalah platform yang luar biasa. Contohnya baru-baru ini saya menonton video di Facebook tentang seorang gadis kecil berumur 10 tahun di Palestina yang melaporkan hal di sekitarnya yang mungkin tidak diekspos oleh media umum,” tandasnya. Talk about keyboard warriors, apakah dia punya pengalaman buruk soal komentar di internet? “I’m pretty good with them. Tentu saja ada momen di mana saya ingin menjawab setiap komentar dan menjelaskan dari sisi saya, but you know, yang namanya hater pasti ada saja, its part of the job and not a new thing, entah itu dari media atau dari orang di internet. Saya membaca satu hal yang diucapkan oleh Kiera Knightley, dia bilang dia tidak membaca review apapun soal filmnya baik yang positif maupun negatif dan lebih fokus berkarya, dan saya pikir itu adalah sikap yang tepat karena kemungkinannya kamu bisa saja menjadi besar kepala saat membaca pujian atau justru merasa bitter saat membaca komentar negatif. So yeah I try not to read too much because in the end of the day, semua orang punya pendapat masing-masing.”

            Tanpa terasa, perbincangan saya dengan George telah berlangsung hampir satu jam. Wajahnya telah selesai dirias dan ia pun bersiap mengganti pakaian ke wardrobe yang telah disediakan stylist kami. Sebelum beranjak, saya pun melempar pertanyaan terakhir soal rencana yang ada di depan matanya. Selain tentu saja masih menyiapkan materi-materi baru dengan kejutan-kejutan yang masih ia rahasiakan, ia pun mengungkapkan, “I don’t really have a bucket list, to be honest. Yang jelas saya merasa sangat beruntung dan bersyukur dengan segala hal dan kesempatan yang telah terjadi sepanjang tahun ini and all the crazy circumstances, I don’t even know what will happen around the corner dan hal itu yang justru membuat segalanya menjadi exciting, so I will just keep myself surprised,” tandasnya sambil menyunggingkan senyum. “But for now…” ujarnya tiba-tiba, “Saya berpikir untuk mencari seseorang yang bisa membantu mengkustom jaket saya, put a bunch of rhinestones on it, saya mungkin akan mencarinya di Bali dan menikmati sisa hari sambil minum cocktail di samping kolam and just chill.”

dsc09530-2

 

The Magic Hour, An Interview With Kimbra

Kimbra1

Dengan eksplorasi musikal tanpa batas, performance eksplosif, dan segala keunikan yang melekat dalam dirinya,Kimbra membuktikan jika ia bukan sekadar “somebody that you used to know”. She’s here to stay with guts and a whole heap more

Hanya sehari menjelang keberangkatan saya ke Bali untuk Sunny Side Up Festival di awal Agustus lalu, tersiar kabar jika Gunung Raung kembali memuntahkan abu vulkanik and there’s big chance jika jadwal penerbangan ke Denpasar akan sangat kacau. Ada ketakutan jika banyak para performer yang terpaksa membatalkan penampilan mereka dan memilih langsung terbang ke Jakarta untuk We The Fest yang juga diselenggarakan oleh Ismaya Live. Saya sendiri akhirnya memilih stay di Jakarta sekaligus dengan berat hati membatalkan exclusive interview dengan salah satu performer utama di festival itu, Kimbra Lee Johnson, singer-songwriter asal Selandia Baru atau yang lebih dikenal dengan nama depannya saja. It turns out, penyanyi berumur 25 tahun yang terkenal dengan single “Settle Down” dan duetnya bersama Gotye di lagu “Somebody That I Used to Know” ini memiliki nyali serta dedikasi yang lebih besar dari saya. Tak mau mengecewakan penggemarnya, dia tetap terbang dari Australia walaupun harus detour ke Surabaya lebih dahulu untuk mencapai Bali dan berdasarkan reaksi yang saya baca di social media, sukses tampil gemilang di festival yang berlangsung di Potato Head Beach Club tersebut. Lucky for me, Kimbra bersedia untuk menjadwalkan ulang interview dan photoshoot bersama NYLON Indonesia di Jakarta, tepatnya Minggu, tanggal 9 Agustus lalu di hari yang sama dengan digelarnya WTF di Parkir Timur Senayan.

Saat saya dan tim tiba sekitar jam 10 pagi di hotel tempatnya menginap, sang tour manager menginformasikan jika Kimbra masih butuh beberapa saat untuk bersiap dan mengingatkan jika dirinya mungkin masih agak lelah. Well, tiba di Jakarta untuk langsung rehearsal setelah terjebak di bandara selama enam jam memang terdengar seperti resep jitu untuk mood yang jelek, terutama jika kamu telah menghabiskan banyak waktu di tur dan harus menghadapi jurnalis di Minggu pagi yang terik. Satu hal yang saya notice, Kimbra termasuk public figure yang sangat peduli akan detail. Dengan segala persiapan yang lumayan mendadak karena perubahan jadwal yang juga tiba-tiba, kami harus memberi tahu dengan jelas tentang konsep dan detail pemotretan yang akan kami lakukan, dari mulai wardrobe, make up, sampai lokasi yang setelah beberapa pertimbangan akhirnya disepakati untuk dilakukan di kamar hotelnya. Dia hanya mengizinkan fotografer dan stylist untuk naik terlebih dulu ke kamarnya dan setelah nyaris satu jam menunggu di lobi, akhirnya saya diperkenankan untuk masuk ke kamar hotelnya.

Jujur saja, saya sempat berpikir jika mungkin dia adalah tipikal artis yang banyak mau dan mungkin agak diva-ish, tapi semua prasangka tersebut langsung luruh ketika dengan ramah ia mengulurkan tangan sambil tersenyum lebar untuk memperkenalkan dirinya. Berambut hitam sebahu dengan poni, lipstick merah, dan winged eyeliner, wajahnya terlihat segar meskipun ia mengaku agak mengantuk. “Sebetulnya saya termasuk orang yang lebih suka bangun pagi,” ujarnya sambil menikmati potongan buah-buahan dan secangkir kopiyang menjadi breakfast-nya. “Saya tahu adalah hal yang tipikal bagi seorang musisi untuk tidur sampai siang, tapi saya berusaha bangun sekitar 9 pagi. Kalau sedang disiplin saya akan memulai hari dengan olahraga, tapi saat tur panjang seperti sekarang hal itu lumayan sulit. Jadi biasanya saya memulai hari dengan sarapan, menyalakan laptop untuk mengirim email dan hal-hal administratif lainnya. Dan ketika siang atau menjelang petang, baru lah saya menulis musik,” imbuhnya.

Meskipun sempat terjebak di bandara selama 6 jam karena abu vulkanik, Kimbra mengaku sangat antusias untuk penampilannya di Bali dan Jakarta. Bila kamu mengikuti akun Instagram miliknya, kamu mungkin sudah tahu jika salah satu hal yang membuatnya antusias datang ke Indonesia adalah musik gamelan. “Saya mengetahui soal gamelan saat saya di Montreal dari salah satu produser yang bekerjasama dengan saya, Damian Taylor, yang pernah bekerjasama dengan Björk untuk album Volta di mana Björk sangat terpesona oleh gamelan. Damian memberikan saya beberapa album gamelan Bali yang suka saya dengarkan sebelum tidur karena bunyinya yang sangat melodic dan soothing,” ungkapnya.

Honestly, ketertarikan Kimbra pada gamelan sama sekali bukan hal yang aneh, mengingat bagaimana ia terkenal karena warna musiknya yang eklektik. Secara umum, Kimbra membuat musik yang merupakan anagram dari berbagai genre. Dari mulai modern electropop, R&B, jazz, dan soul yang dengan mudah menari di antara balada kontemplatif hingga tubthumping anthem yang membakar stage. Rasanya, bunyi gamelan yang dreamy sekaligus perkusif tidak akan terasa aneh jika dimasukkan dalam album terbarunya, The Golden Echo yang dirilis Warner Bros setahun lalu.Inspirasi utama diThe Golden Echo banyak datang dari mitologi Yunani, khususnya cerita Narcissuss yang terpesona pada bayangannya sendiri. Dan album ini memang menampilkan banyak refleksi dari Kimbra, in term of music and mood. 12 lagu di dalam album ini dikerjakan olehnya di sebuah urban farm yang dipenuhi hewan ternak di daerah Los Angeles, sehari setelah ia memenangkan Grammy Award 2013 bersama Gotye untuk kategori Record of the Year dan Best Pop Duo/Group Performance yang membuatnya menjadi orang Selandia Baru ketiga yang pernah tercatat dalam sejarah Grammy.

Kini, setelah dua setengah tahun tinggal di L.A., merilis The Golden Echo, tur keliling dunia, dan critical acclaim sebagai solo singer-songwriter, Kimbra memutuskan pindah ke New York City, namun tampaknya fragmen masa lalu bertajuk “Somebody That I Used to Know” tersebut masih membayangi langkahnya. “Saya tiba-tiba mendengar lagu itu dimainkan di sebuah cafe ketika saya sedang di New York dan rasanya semua tiba-tiba kembali terlintas di depan mata saya, gosh, karena lagu itu sebetulnya sudah tidak terlalu sering diputar di radio lagi sekarang ini kan? Saya lantas tersadar jika semuanya terjadi dengan begitu cepat. Rasanya baru kemarin saya merekam lagu itu di studio rumah saya. It is such a nice song, more like a ballad, tapi saya tidak pernah berpikir jika lagu ini akan menjadi begitu fenomenal. Bagi saya, itulah beautiful mystery of music, ketika semua variabel terasa tepat, itu bisa terjadi pada siapapun, tapi tentu saja butuh kerja keras untuk sampai di titik itu. Gotye pun bukan penyanyi baru sebetulnya, dia telah memiliki tiga album. Tapi, it’s beautiful humbling realization jika pop hit song bukan sekadar sesuatu yang kamu formulasikan dalam kepala. Kadang hal itu bisa terjadi begitu saja, dan bagi saya, itulah yang membuat saya tetap percaya pada musik pop. Saya tidak mau percaya jika musik pop hanya sekadar sekumpulan orang di meja rapat yang memutuskan lagu apa yang akan menjadi nomor satu. Terkadang something just hit the right moment dan sebuah lagu begitu mendunia karena emosi di dalamnya terasakuat, that’s what I think about that song.”

Kimbra4

Tak bisa dipungkiri jika kebanyakan orang mungkin memang baru mengenal namanya berkat lagu duet tersebut. Namun sebetulnya, bahkan sebelum merilis album debutnya, Vows, di tahun 2011, Kimbra adalah natural-born musician dengan talenta mengagumkan. Lahir di Hamilton, Selandia Baru pada tanggal 27 Maret 1990, Kimbra berasal dari keluarga medical. Ayahnya adalah dokter dan ibunya adalah seorang perawat dengan koleksi rekaman The Beach Boys dan Frank Sinatra. “It’s always in my heart,” ujarnya soal musik. “Saya selalu menganggap musik adalah bahasa dan medium bagi saya untuk mengeluarkan emosi di dada saya,” imbuhnya. Mulai menulis lagu sejak umur 10 tahun, belajar gitar di umur 12, dan membuat video musik pertama di umur 14 untuk sebuah acara TV anak-anak, saat SMA ia bergabung dalam jazz choir sekolahnya dan berkompetisi dalam kompetisi musik nasional. Sebagai remaja, ia mencintai musik pop, tapi dia juga mendengarkan Björk, Nine Inch Nails, Mars Volta, dan Cornelius. Namun, saat ditanya siapa musisi yang membuatnya ingin serius bermusik, dengan tegas ia menyebut nama mendiang Amy Winehouse. “Hmm… Waktu itu saya sangat terinspirasi Amy Winehouse, karena walaupun dia penyanyi jazz, tapi dia punya influens hip-hop yang kental with those beat and toughness dan dia tidak takut untuk mengutarakan pendapatnya. Ketika saya mendengarkan album pertamanya, saya tersadar jika saya juga bisa membuat musik seperti itu, dengan melodi jazz tapi juga terdengar tough. Dan tentu saja saya juga menyukai musik-musik yang lebih keras seperti Soundgarden, Mars Volta karena walaupun mereka rock tapi juga sangat soulful. Saya banyak mendengarkan punk dan juga Jeff Buckley karena walaupun dia penyanyi rock tapi dia memiliki vokal jazz yang sangat kuat. Mereka dan penyanyi-penyanyi bernyali besar lainnya seperti Kate Bush yang menginspirasi musik saya. I don’t wanna be safe, I want to push the boundaries,” tegasnya.

The Golden Echo adalah usahanya untuk mendobrak batasan tersebut. Dibuka oleh lagu berjudul “Teen Heat”, paruh pertama album ini dipenuhi oleh racikan glorious beat yang exuberant dan catchy seperti “Miracle” dengan influens disco yang menjadi lagu pertamanya yang bertengger di Billboard dan single utama “90s Music”, sebuah ode untuk generasi 90-an yang unapologetically pop dan turut diproduseri Mark Foster dari Foster the People. “Ketika mendengar kata pop, saya membayangkan musik yang punya melodi catchy, musik yang bisa diterima baik oleh sembarang orang di jalan maupun seorang music student. Tapi saya juga merasa jika banyak musik pop yang quite unimaginative and uninteresting. Terkadang saya merasa sedih jika orang hanya memandang saya sebagai musisi pop, karena saya percaya jika pop justru adalah wadah di mana kamu bisa menggabungkan banyak ide dan genre. Ketika saya melihat Prince atau Michael Jackson misalnya, mereka memiliki musik yang menarik dan progresif, tapi masih terasa pop karena kamu bisa menyanyikan chorus-nya sambil mandi tapi ketika kamu mendengar bagian verse-nya, kamu akan seperti… ‘Wow!’, it’s crazy. Pop tidak seharusnya membosankan dan predictable, bagi saya musik pop justru harus punya kejutan dan menantangmu untuk mendengarkannya tidak hanya lewat telinga, tapi juga lewat hati dan pikiran. That’s what I’m passionate about.”

Sementara paruh kedua album ini diisi lagu-lagu yang lebih sentimental seperti “As You Are”, sebuah lagu balada dengan dentingan piano yang diakuinya merupakan lagu paling jujur dan personal dalam album ini. Ia tersenyum tipis ketika bercerita soal lagu itu, seakan luka emosi yang melatarbelakangi lagu itu belum benar-benar pulih. “Lagu itu adalah lagu yang sangat emosional, karena berdasarkan real situation dengan seseorang yang mematahkan hati saya,” paparnya, sebelum melanjutkan, “Lagu ini tentang vulnerability ketika kamu telah mengekspos dirimu kepada seseorang dengan begitu jujur dan apa adanya, literally as you are, dan sebagai seorang seniman, merupakan hal yang sakral untuk mengizinkan orang lain untuk masuk ke hatimu dan menjadi bagian hidupmu in an intimate way. Lagu ini tentang ketika hubungan tersebut kandas, ketika kita merasa tereksploitasi dan terluka. Ini adalah lagu yang paling berat yang saya tulis. But I’m already over it, semua orang pernah berada di titik itu, haha,” tuntasnya sambil tertawa kecil.

Kimbra3

Alih-alih terdengar seperti album bipolar, The Golden Echo untungnya lebih seperti sebuah cerita yang berkesinambungan di mana seperti hidup, there’s a lot of ups and downs dan Kimbra menyikapinya dengan aksi panggung yang setara, bahkan lebih dari ekspektasi. “Yang saya suka ketika tampil di panggung adalah bagaimana setiap momen terasa berbeda dan tidak bisa kamu ulangi lagi. Dan saya selalu berpikir bagaimana caranya agar penampilan saya tidak hanya menghibur penonton tapi juga diri saya sendiri. Terkadang saya hanya ingin duduk dan menyanyi dengan memejamkan mata, dan di hari lain saya ingin rock out seliar mungkin. It’s about changing the energy every time,” ucap Kimbra yang menyebut Coachella sebagai festival moment favoritnya sejauh ini. “Saya pernah tampil di Coachella sebelumnya bersama Gotye, tapi Coachella kemarin adalah kali pertama saya tampil bersama band saya sendiri dan rasanya luar biasa. Its very iconic music festival, dengan gurun pasir dan matahari terbenam, it was very beautiful,” kenangnya.

Seperti yang mungkin kamu saksikan sendiri di WTF silam, totalitas Kimbra sebagai musisi turut diperkuat oleh elaborate costume yang ia kenakan dalam setiap penampilan live-nya. Dalam penampilan di Coachella kemarin, misalnya, ia mengenakan gaun dengan konsep cermin yang didesain oleh Cassandra Scott-Finn, seorang desainer berlatar sculpture artist dan fine art yang menjadi stylist untuknya. “Orang selalu bertanya apakah saya menjadi orang lain saat berada di atas panggung, tapi saya merasa jika hal itu sebetulnya lebih sebagai exaggeration of the personality, karena saat tampil di depan ribuan orang, kita harus menonjolkan penampilan kita karena kalau saya tampil di panggung dengan baju sehari-hari saya, akan sulit bagi saya untuk memisahkan mana diri saya sebagai seorang entertainer dan diri saya sehari-hari. I love the loudness of my performance, tapi sebetulnya saya sendiri lebih cenderung pendiam, dan lebih memilih obrolan one on one seperti ini. Di akhir hari, ketika saya membersihkan make up dan melepas kostum panggung saya, rasanya menyenangkan untuk menjadi Kimbra yang apa adanya,” ungkapnya.

Namun, baik di atas maupun di luar panggung, Kimbra tak pernah lupa menginjeksikan quirkiness yang segar dalam kesehariannya. Dalam interview ini, ia memakai printed sweater dari label Selandia Baru bernama Stolen Girlfriends Club yang kasual tapi tetap terlihat eye-catching. “I like to dress comfortably yet still able to express myself,” akunya. “Salah satu sahabat baik saya, Natasha Bedingfield, pernah bilang jika terkadang kita berpakaian bukan hanya untuk membuat diri kita sendiri feel good, tapi juga membuat orang lain tersenyum. Jadi ketika kita berjalan ke luar dan terlihat fun, it’s like something that make people smile and bring joy to other person. I like to think fashion being a conversation,” jelasnya.

Meski demikian, ia pun tak mengingkari jika sebagai seorang musisi wanita, there’s a lot of pressure dalam industri ini, terlepas dari maraknya slogan feminisme dalam dunia musik yang kini dilontarkan oleh rekan-rekan musisinya seperti Taylor Swift hingga Beyoncé. “Saya lebih percaya pada equality movement. Saya merasa ‘feminisme’ telah menjadi suatu kata dengan banyak momok dan beban tersendiri yang melekat. Women are now taking back the power, which is good thing, tapi jika itu artinya musik menjadi more and more sexualized, hal itu tak akan mengubah apapun. Pria masih akan memandangmu sebagai sexual object. Yang saya percaya adalah kesetaraan antar gender dan mutual respect di mana baik pria dan wanita bisa bangga terhadap tubuh mereka, atau pria dan wanita bisa duduk di studio dan merekam musik mereka sendiri. I don’t think it’s about war between the sexes, namun saya juga sangat bangga jika kaum perempuan bisa menunjukkan taring mereka, its great thing.”

Kimbra2

Fotografi oleh Andre Wiredja

Stylist: Anindya Devy