On The Records: Agustin Oendari

Agustin Oendari

Agustin Oendari merangkum esensi penuh rasa dari Jakarta kala malam.

“Oendari adalah gadis Virgo asal Jakarta, dari lahir sampai umur awal dua puluhan tinggal di kota yang sama, di lingkungan yang sama, dalam rumah yang sama, sampai akhirnya memutuskan untuk mandiri, pindah ke pinggir barat ibukota, ke sebuah kawasan mandiri bernama Karawaci. Gadis yang berkacamata sejak SD ini nggak suka panas tapi juga nggak bisa kedinginan, nggak suka pedes tapi doyan nasi padang, nggak suka bau durian tapi toleran sama aroma pepaya, nggak suka berantakan tapi mobilnya kayak kapal pecah, takut minum obat yang pahit tapi suka kopi hitam tanpa gula. Rumit ya. Iya, memang,” tandas Agustin Oendari dengan gamblang saat mendeskripsikan dirinya sendiri dari sudut pandang orang ketiga.
Nama singer-songwriter berusia 25 tahun ini mungkin masih asing bagi kalangan umum. Kariernya memang lebih banyak di belakang layar dengan menjadi manajer band, vokalis latar, mengurus kontrak kerja sama produksi atau men-direct program sebuah studio musik di bilangan Karawaci yang bernama Roemah Iponk. Namanya menarik perhatian saya semenjak saya menonton film Selamat Pagi, Malam garapan Lucky Kuswandi yang tayang pada bulan Juni lalu. Film tersebut menceritakan satu malam di hidup tiga orang perempuan Jakarta (Adinia Wirasti, Ina Panggabean, dan Dayu Wijanto) yang kerap bersinggungan satu sama lain tanpa mereka sadari. Diwarnai dengan berbagai scene Jakarta di malam hari yang ramai benderang tapi juga sepi dan muram serta dialog yang akan mengusik pikiran warga Jakarta, film ini diperkuat oleh lagu tema berjudul sama yang digarap oleh Oendari dan rekan bermusiknya, Ivan Gojaya.
Musik akustik yang tenang dengan vokal lirih Oendari yang seakan berbisik itu terlihat kontras saat melatari scene gedung-gedung perkantoran, jalanan padat, dan lalu-lalang penduduk Jakarta yang sibuk dengan urusan masing-masing, menciptakan jukstaposisi bagaimana Jakarta bisa membuat kita bisa merasa begitu kesepian di tengah keramaian. Bagaimana kita setengah mati mencari kedamaian di antara bising yang mengepung kita. Oendari menerjemahkan esensi Jakarta yang ingin diceritakan oleh sang sutradara ke dalam sebuah balada akustik dengan melodi dan lirik yang bittersweet. Saya pun tergerak untuk mengenalnya lebih jauh lewat sepucuk surat elektronik.

Hi Oendari! Apa kabar? Lagi apa sebelum balas email ini?
Hai, Alex. Aku baik-baik, sehat-sehat, bahagia. Sejujurnya, (walaupun udah siang) aku belum lama bangun, setelah semalaman begadang karena ada yang harus dikerjakan. Sebelum balas email ini, Aku baru sarapan: home-made scrambled egg with button mushroom, pakai selembar toast, dan beberapa butir cherry tomatoes; gak lupa kopi hitam (kalau gak pake kopi hitam, pasti hari ini rasanya malah jadi muram).
Oh ya, jangan tanya apa aku yang masak semua benda-benda itu, karena jelas bukan aku. Haha. Peranku di dapur sementara ini cuma sampai di tahap chef-assistant, sekadar doing the cooking preps. Tangannya belum cukup dingin untuk mengerjakan masakan-masakan, bahkan yang sesederhana sarapan tadi. Hihi.

Bermusik sendiri sejak kapan? Dan apa yang mendorongmu?
Dulu, waktu masih berumur kira-kira tiga tahun, aku suka banget ngomong sendiri, teriak-teriak, dan nyanyi-nyanyi di depan cermin. Melihat itu, Mama lah yang pertama punya inisiatif untuk memasukkan aku ke dalam komunitas paduan suara gereja, yang akhirnya menjadi semacam rumah kedua selama tujuh belas tahun berikutnya. Ketertarikanku terhadap menyanyi makin berkembang ketika aku mulai tergabung di dalam band, pada masa-masa SMP sampai kuliah. Di dalam komunitas-komunitas itu, aku menemukan bahwa aku betul-betul menikmati menyanyi, bahwa menyanyi bisa sewaktu-waktu melepaskan aku dari dunia nyata, bahwa menyanyi membuat aku tetap waras menghadapi hari-hari sulit.
Seiring dengan latihan vokal yang aku jalani sejak kecil, aku juga dimotivasi oleh Mama untuk belajar instrumen musik. Dua instrumen yang pernah aku kenal seumur hidupku adalah piano – instrumen yang aku pelajari selama kurang lebih tiga tahun melalui kursus privat, tapi kemudian aku berhenti di tengah jalan karena, berdasarkan yang aku ingat, di rumah guru lesnya ada anjing galak – dan gitar – instrumen yang sebetulnya aku nikmati selama kurang lebih lima tahun, tapi apa daya, sejak kuliah dengan jadwal sebegitu padat, instrumen ini sudah tidak aku kenal lagi sekarang –. Namun, setelah mengenal dua instrumen itu pun, aku tetap lebih tertarik menyanyi (walaupun sebetulnya membantu sekali lho, menyanyi plus juga bisa memainkan alat musik). Sekarang ini, aku menyentuh piano cuma kalau lagi bosen atau lagi membuat draft lagu. Itu pun jarang banget. Jadi, sementara ini, my instrument’s only in my mind, my body, my spirit: my voice. Hehehe.

Kalau influens bermusikmu siapa saja?
Soal influence, banyak banget dan multigenre sih, sebetulnya. Waktu kecil, ada beberapa musisi yang kasetnya harus banget ada di rumah dan didengerin hampir setiap hari, antara lain David Foster, Earth, Wind, & Fire, Chicago, The Carpenters apa lagi ya. Kadang-kadang, kalau Papa lagi pingin dengerin yang lebih lawas, berkumandang jugalah Jim Reeves, Elvis, Sinatra. Aduh. Apa lagi ya. Banyak sih. Bertumbuh remaja sampai dewasa, aku mulai mengenal Norah Jones, Cranberries, Nelly Furtado, Alanis Morissette, No Doubt, Eminem, Linkin Park, Evanescence, lalu muncul Keane, John Legend, John Mayer, Corinne Bailey Rae, Amy Winehouse, Mara Carlyle, Ingrid Michaelson, Sara Bareilles, Fleetfoxes, The Paper Kites, High Highs, Kimbra. Banyak dan multigenre kan.
Gak berarti aku gak suka musik Indonesia, justru beberapa tahun belakangan lagi kepincut banget dengerin Payung Teduh, Sore, dan White Shoes & The Couples Company. Tapi, yang gak pernah gagal memesona aku sampai sekarang adalah Eyang Titiek Puspa dan Alm. Chrisye.

Aku jujur saja baru dengar nama kamu pas di film Selamat Pagi, Malam ini, bagaimana ceritanya sampai bisa terlibat di project ini?
Nah, Selamat Pagi, Malam ini memang proyek film pertama yang aku kerjakan. Sebelumnya, aku lebih banyak di belakang layar: nyambi juga jadi manajer band, ngurusin kontrak kerja sama produksi atau direct program studio, semuncul-munculnya aku di depan khalayak paling sebagai background vocalist doang.
Jadi, sebetulnya, keterlibatan aku di dalam proyek film Selamat Pagi, Malam itu rasanya semacam kebetulan banget (meskipun gak ada yang kebetulan ya di dunia ini, hehe). Nah, kalau diceritain di sini, bakal jadi panjang banget. Kalau kamu berkenan, aku menyarankan kamu untuk membaca tulisan mengenai ini di petikanbulan.com, ada empat post yang nempel di halaman pertama mengenai ini. Sudah lengkap di situ semua, Lex.

What’s the inspiration untuk liriknya? Aku suka karena musiknya benar-benar mewakili rasa Jakarta di malam hari sepulang kantor.
Ketika menuliskan lirik “Selamat Pagi, Malam”, inspirasi terbesar datang dari filmnya sendiri. Toh, bagaimanapun, lirik lagu ini kan mesti erat hubungannya dengan si film. Jadi, memang, ketika itu, bahan diskusi-diskusi (dengan Ivan Gojaya, yang menciptakan musik untuk lagu ini) selama pra-produksi lebih banyak mengenai filmnya sendiri.
Buat aku, hal paling inspirasional dari filmnya sendiri adalah cara Lucky Kuswandi menampilkan bagaimana setiap aktor membuka topengnya masing-masing ketika satu malam turun di Jakarta: sangat jujur, sangat berani, dan sangat manusiawi. Ketika nonton filmnya, aku langsung berpikir, “Oh, betapa manusia Jakarta: hidup beramai-ramai dalam kesendirian masing-masing. Tapi, di film ini, peran-peran ini, hanya pada satu malam saja menemukan ruang kosong dan saling berbagi kesendirian di situ. Meski cuma buat satu malam itu aja. Besoknya, mungkin mereka kembali pada topeng-topeng sepinya masing-masing. Gak ada yang tahu.” Betapa, meskipun nyata, buat aku, itu rasanya sedih dan tragis. Nah. Rasa sedih dan tragis ini sebetulnya yang melandasi penulisan lirik “Selamat Pagi, Malam”.

Kalau Oendari sendiri melihat hidup di Jakarta itu seperti apa?
Hidup di Jakarta itu ibarat pacaran lama sama orang yang kita betul-betul cinta. Cinta sih, tapi karena terbiasa dan sudah lama bareng, jadi gak sungkan lagi saling menyakiti satu sama lain. Tapi, kalo yang satu pergi dari yang lain, rindu tetap ada.
Yang paling aku rindu dari Jakarta adalah memorinya. aku kurang lebih dua puluh tahun hidup di Jakarta, sebelum pindah ke pinggir kota. Banyak kenangan di berbagai sudut-sudut Jakarta: yang baik ataupun yang buruk, semuanya dari itu membentuk aku jadi aku yang sekarang. Kaya yang Anggia bilang di dalam film, ketika merenungkan masa-masa yang lewat di tempat-tempat yang pernah kita lalui di Jakarta, pada akhirnya Aku bisa bilang: life was so carefree – no heartbreak – no drama. Itu rasa yang ngangenin.

 Bicara soundtrack film, kamu paling suka OST film apa? What makes a good soundtrack?
What makes a good soundtrack. Hmmm. Good question. Hopefully, this won’t be a bad answer. Hahaha. Based on my first experience in SPM dan sebagai penikmat musik film aja yah, Lex. Buat aku, dalam membuat soundtrack, hal terpenting yang mesti aku ingat adalah: aku harus bertanggung jawab terhadap filmnya; aku harus bertanggung jawab (plus, super jujur) terhadap hatiku dan pikiranku sebagai penikmat filmnya; dan aku harus bertanggung jawab terhadap kata-kata dan melodi yang akan aku nyanyikan.
Soundtrack favorit yang keinget sampai sekarang: Landon Pigg & Lucy Schwartz – Darling, I Do. Kalau gak salah, itu soundtrack-nya Shrek, entah yang keberapa. Kenapa? Simply, it’s romantic.

Next project apa saja?
Hmmm. Next project. Setelah ini, sudah ada rencana rilis karya baru. Masih dengan format dan tema yang kurang lebih sama dengan karya untuk film Selamat Pagi, Malam. Doakan segera muncul titik-titik terang ya untuk ini.

http://petikanbulan.com/

Foto oleh Teddy Setiadjie