Man About Time, An Interview With Joe Taslim

Berbekal persistensi dan work ethic yang telah teruji oleh waktu, Joe Taslim tiba di saat yang tepat untuk menyelamatkan perfilman Indonesia dari kelesuan dan stagnasi pemeran yang itu-itu saja. Di antara himpitan jadwal yang kian memadat, aktor karismatik ini menyelipkan satu jam untuk berbincang dengan Baccarat Indonesia. 

STYLING ANINDYA DEVY FOTOGRAFER HILARIUS JASON MAKE UP & HAIR ARTIST ARIMBI TEKS ALEXANDER KUSUMA PRAJA LOKASI THE WESTIN JAKARTA

Hidup di kota besar dengan segala tantangan dan peluang yang bergulir begitu cepat, time could be your bestfriend or your worst enemy. Lengah sedikit, Anda bisa tergilas oleh waktu. Selayaknya Russian roulette, Anda mungkin tak akan pernah bisa 100% yakin kapan the perfect timing bisa mengantarmu ke kesuksesan atau justru stuck di satu tempat. Some people might believe in miracle and coincidences, others believe success comes to those who dare and act. Joe Taslim termasuk dalam golongan yang kedua.

Nama pria kelahiran Palembang, 23 Juni 1981 ini mencuat di publik ketika ia turut berperan di film laga The Raid pada tahun 2011 lalu, walaupun sesungguhnya ia telah mulai berakting di feature movie sejak tahun 2008 lewat film horror berjudul Karma dan film drama Rasa setahun setelahnya. Brutal dan penuh adegan bela diri yang membuat penonton tercengang sambil menahan napas, The Raid yang digarap oleh sutradara Gareth Evans adalah sebuah film martial arts action yang bisa dibilang breakthough dan mengharumkan film produksi Indonesia di mata dunia, termasuk nama para pemerannya. Peran Joe sebagai sosok Sersan Jaka di film ini berhasil memukau penonton dengan mata tajamnya, tubuh tegap, dan tentu saja keahlian bela diri mumpuni yang berasal dari background-nya sebagai atlet judo profesional yang sempat tergabung dalam timnas judo Indonesia.

            People fell in love with him dan sosoknya kian dikenal lewat berbagai photoshoot majalah dan komersial. Menyusul kesuksesan The Raid di ranah internasional, proyek Joe selanjutnya meliputi proyek skala internasional Dead Mine, sebuah film action horror produksi HBO Asia yang dirilis di sejumlah negara Asia. Not long after that, he got his first Hollywood role dalam Fast & Furious 6 yang lantas disusul dengan peran untuk Star Trek Beyond. Dengan pencapaian karier yang membanggakan tersebut, Joe pun memantapkan kakinya sebagai salah satu aktor Indonesia papan atas di saat umurnya telah melewati umur 20-an dengan filmografi yang sebetulnya masih bisa dihitung dengan jari.

Ditemui di presidential suite The Westin Jakarta, Joe yang memenuhi jadwal interview & photoshot untuk edisi ini datang sesuai jam yang telah disepakati ditemani beberapa entourage. Menyapa semua orang dengan ramah dan terlihat casual dengan t-shirt putih, jogger pants, sneakers, serta topi snapback yang bertengger di kepalanya, you can’t help but to feel his laid-backness. Namun, ketika ia berganti wardrobe dengan sharp tailored suit dan beraksi di depan lensa kamera (not a new thing for him since he used to be a model), Anda bisa merasakan auranya sebagai Joe the movie star. But make no mistake; behind all the glitz as an actor, Joe is a fighter, family guy, and social activist at the same time. Tanpa membuang waktu lebih lama, kami pun berbincang dengannya tentang the past, present, and the future.

L1001519

Hai Joe, boleh ceritakan aktivitas Anda belakangan ini?

Sekarang baru selesai syuting film action, The Night Comes for Us. Kita syuting 3 bulan, syuting terlama untuk film Indonesia yang pernah saya lakukan. Saya main jadi anti hero character, he’s a bad guy but looking for salvation. Tapi harga yang harus dia bayar untuk semua dosa yang dia lakukan, to go back to the right path itu mahal sekali. It’s very dark. Karakternya juga dark banget. Itu sudah selesai tapi saya langsung ambil film drama, judulnya Surat Kecil Untuk Tuhan, untuk balancing the psychological aja sih buat saya. Dari main film yang sangat keras, berdarah-darah, daripada saya harus ke psikolog gitu kan atau meditating, it’s better to do the other path, which is ambil film yang sangat drama, yang no violence and no action at all. It’s something I like to do untuk balance for me as an actor.

Jadi akting di film drama bisa menjadi semacam terapi juga ya?

Yes, therapy. Biasanya kalau syuting panjang kita mainin satu karakter bisa terbawa, bisa sampai ngomong sendiri kadang di rumah. Kalau syuting cuma sebulan mungkin nggak, tapi kalau di atas dua bulan, setiap hari mostly kita di set mainin karakter itu dari pagi sampai malam, we need time to balikin lagi. Dibanding lakuin itu, if I can, I will do the opposite, play different character yang benar-benar opposite dari karakter sebelumnya which is works. Kalau nggak, bisa tambah gila, haha.

Film Surat Kecil Untuk Tuhan ini sendiri tentang apa?

Ini film drama tentang anak-anak sih, sesuatu yang ingin saya lakukan dari dulu banget, bikin film yang bisa ditonton semua umur, especially kids, yang punya message penting juga untuk apa yang terjadi di seluruh dunia sekarang tentang anak-anak terlantar, human trafficking, penculikan, harvesting organ, segala macam. Saya berharap film itu bisa jadi campaign juga untuk isu anak-anak terlantar. It’s a movie yang harusnya bisa menginspirasi banyak orang sih.

Mengingat banyak film Anda yang mengandung kekerasan, apakah selama ini anak-anak Anda juga ikut menyaksikan film Anda?

Saya pernah main film drama tiga tahun lalu dan mereka nonton. The Raid juga sebetulnya mereka nonton tapi tetap saya dampingi untuk menjelaskan kalau semua itu hanya seni, semua itu hanya props. I try to give them angle agar jangan terperosok dalam ilusi violence yang disajikan di film itu. And they understand, so it’s cool sih harusnya, nggak masalah. Tapi anak yang paling kecil nggak lah. Yang sudah 10-11 tahun saja yang sudah punya logic yang baik.

Apa reaksi anak-anak kalau lihat ayahnya di layar?

Mereka sudah biasa sekarang. Dulu kalau lihat foto saya di jalan, di billboard misalnya, masih suka excited, sekarang sudah biasa. They understand it’s my job, papanya kerja di industri yang membutuhkan papanya dipajang di mana-mana, it’s their dad’s job to represents brand, to be in a movie and delivers character. Saya rasa mereka juga sudah mengerti inside-nya, bukan cuma dari luarnya saja. It’s a job, just like any other job like makeup artist or photographer. Kalau aktor atau singer mungkin memang dapat spotlight khusus karena mereka adalah frontline to deliver sebuah project atau brand, tapi sebenarnya sama aja, everybody’s working hard behind the scene. Di industri ini, it’s all about collaboration.

Flashback sejenak, bagaimana masa kecil Anda di Palembang?

Saya dulu dari kecil memang diarahkan orangtua untuk jadi atlet. Masih kecil ya sekolah, sore latihan, its quite discipline life. Main ya main tapi karena fokusnya juga udah ada di sekolah dan olahraga, jadi main ya seadanya, tapi jadi lebih tersalurkan lah. Karena ingin cari yang cocok, saya sempat coba banyak hal. Bulutangkis, taekwondo, kungfu, judo, wushu, bahkan tinju pun pernah sempat mau saya coba.  Tpi akhirnya memang harus fokus di satu cabang dan saya memilih judo, saya juara nasional dan masuk timnas. 

Dari sekian banyak bela diri yang pernah ditekuni, kenapa memilih fokus di judo?

Judo dari saya kecil pun is mostly something that fun dan seru. Judo memang bela diri yang butuh kegigihan, karena prosesnya juga nggak ada yang gampang, dibanting, dicekik, dipatahin, dikunci segala macam. Tapi kalau memang gigih it could reach some point yang membanggakan. Memang keuletan itu yang nggak gampang. Kalau latihan pasti sakit, tapi setelah sekian lama, when you adapt to the pain, you need the pain everyday, it’s something yang seru, setelah dinikmati ya its good pain yang bikin kita lebih kuat physically and mentally, which I think that help a lot in my career as actor now. Secara mentally and psychologically I was raised in very warrior way. Jadi di dunia seni pun I think its same work ethic, harus gigih dan kerja keras, nggak cepat puas, respect, karena core-nya judo memang respect dan discipline. Disiplin itu sih yang banyak membantu di dunia perfilman ini. Banyak orang yang nggak punya core itu. They think acting is just mambo jambo spotlight, getting famous and the girls or get the cover of magazine, they don’t know the foundation of it. It’s a profession. It’s not something you want to brag to other people about.

Jadi, bagaimana Anda akhirnya terjun ke showbiz?

I always love movies. Dari kecil its part of the family tradition juga untuk nonton film bioskop bisa seminggu dua kali or at least sekali because my dad is a huge fan of movies. Mungkin dari situ juga timbul keinginan untuk terjun ke industri ini. Awalnya saya mulai dari commercial, ada satu brand yang membutuhkan talent dengan skill judo, they ask me to go to the audition and then I got the job, that’s my first introduction to camera and shooting process. Dari situ banyak tawaran seperti photoshoot untuk magazine dan runway. For me its learning process. Dari 2001 sampai 2006, it was tons of auditions, tons of work here and there. Audisi untuk iklan, photoshoot, runway, sinetron, FTV… I just did everything just to know industri ini seperti apa sih. Sama seperti bela diri, I learn so many martial arts, but at some point I know I need to focus on one. Salah satu hal yang membuat saya menjadi good judo-ka dulu karena saya mempelajari banyak martial arts lain dan membawa elemen-elemen itu ke martial art yang saya tekuni. Sama seperti industri ini, by the time I decide to focus on acting in feature movie, I have a good foundation and already learnt many things that I could deliver through my experiences, right?

Saat pertama kali berakting di film Karma, apakah waktu itu Anda sudah menikah?

Yes, I was married in 2004, Karma keluar di 2008. I got married when I was really young but I think its good, jadi bisa lebih fokus ke kerjaan. Sudah nggak pikir main-main lagi. Agendanya cuma satu, I just want to be a good actor. Kalau belum kawin mungkin I just think about the girls or party, you know? It’s probably one of the keys that brought me here. Kebanyakan orang kan when they get famous, the distraction around the art sometimes too strong, they got carried away and forgot it’s a profession you love, not the illusion around it.

So you think you started your career on the right time?

Yeah, I think everything happens for reason. Karier saya baru berjalan mulus when I was about 30, below 30 it was struggle all the way, which is happens for reason. Kalau saya mendapat semua apresiasi ini di umur 20, maybe I would be somebody else. Mungkin saya tidak bisa menahan diri dan belum cukup matang. Tapi di umur 30 sekarang dan sudah menikah, saya bisa fokus di pekerjaan. Nggak ada yang aneh-aneh lah. Ini bukan sesuatu yang buat main-main, it’s my life. Not just for being on screen and get famous, this is my life and my career.

Do you already feel settled now?

I’m happy. I think my personality juga bukan yang terlalu ambisius. I don’t think I’m very ambitious guy, I think I believe in doing a bit by bit in perfect way will lead you to the dream and point you couldn’t think you could achieve. Jadi dibanding bikin sesuatu yang grande, I’m kinda guy who a bit OCD in term of how I work. Bagi saya lebih penting memperhatikan detail dalam pekerjaan karena kita nggak akan tahu ke mana hal-hal ini bisa membawa kita. I love surprises, so jalanin apa saja dengan sepenuh hati, dan tiba-tiba, jackpot!

L1001878

Well, mungkin bagi banyak aktor Indonesia the ultimate dream adalah go international main di film Hollywood, but you actually already did that.

I never have a big dream about it to be honest. Kalau berandai-andai mungkin siapapun pasti pernah, tapi kalau untuk bermimpi terus dipikirin nggak sih. This is an unpredictable profession because this is art, it’s very hard to judge. You never sure if you did a good work in one project and it could lead to the other. It doesn’t work that way. It needs a little bit of magic yang munculnya dari keyakinan and it has to be fun. Dan saya selama ini melakukan semua project, apakah itu komersial atau film, semuanya harus I know I’m going to have so much fun. It’s not because of the money or what, I know when I read the script and then I think I will have so much fun in this one, I’m gonna give everything. That’s it. Kalau project-nya sukses atau nggak, it doesn’t matter because I win already. I would never lose because I did it for the sake of I believe in it and I’m very happy for it. Jadi itu sih, filmnya mau kaya apa juga I’m a winner already. In my case, do your profession with love and always give 110 percent, always give perfection to every details and it could lead you somewhere to probably you won’t imagine before.

Do you have any bucket list in acting?

A lot pastinya. Secara karier film saya juga masih belum banyak. Kalau lokal ingin kerja dengan Joko Anwar, Ifa Isfansyah, Hanung Bramantyo. Kalau di luar pasti lebih banyak lagi pastinya, haha. As long as the story make me fall in love with, then anything could happen.

Talk about time, punya brand favorit untuk jam tangan?

I have Omega and Rolex, dua itu yang aku suka sih. I’m very loyal in terms of brands. Jadi kalau sudah suka satu, I feel I don’t want to betray the brand I love. Jadi jarang juga nyoba-nyoba, biasanya kalau sudah coba satu atau dua, ya sudah stay di situ saja.

Pertimbangannya apa kalau membeli jam tangan?

Banyak orang yang memakai jam tangan sekadar untuk fashion. Tapi kalau saya melihat jam tangan itu as a little bit of hint about who you are. Kalau pakai jam tangan untuk meeting and meet people, hal itu memberikan kesan jika kamu adalah orang yang peduli soal waktu, sedangkan design-wise, it’s also show what kind of a guy you are. Kalau saya sendiri sih memang stay to leather and steel. Nggak suka yang modelnya aneh-aneh. Classic watches like Omega or Rolex never disappoint me. They always fit me really good and I think my character also represented. So it’s not like I’m representing the brand, but the brand help me to represent who I am. Like this guy care about time, discipline, classic, persistence and detail oriented. Jam tangan bisa memberikan ilusi tentang diri kita. Not always, but it helps.

Anda sempat posting foto rapper Tupac Shakur di Instagram, kalau musik Anda suka mendengarkan apa?

Banyak sih yang saya suka. I’m an old soul jadi saya nggak begitu mendengarkan lagu-lagu sekarang, kecuali yang bagus banget, picky sih. Saya suka dengerin lagu zaman dulu seperti Stevie Wonder, Tupac, Biggie, atau lebih tua lagi The Beatles. Maybe because I’m not that young anymore, haha.

Anda juga sering posting video main piano di Instagram dan bilang jika hal itu membantu membangun mood dalam berakting. Memang gemar main musik ya?

Just for fun, not professionally. Musik selalu berhasil membangun mood apapun. Seperti di film kan semua dibangun dari musik. Nonton film kalau nggak ada musiknya, you don’t know what you are watching. Saya main piano belajar sendiri dari YouTube. Sekarang semua bisa dipelajari dari YouTube. Asal gigih saja, persistence. Kalau gigih apa sih yang nggak bisa? Kalau bosenan, nyerah, ya nggak bisa belajar apa saja. Alasan orang can’t do what they want karena mereka kurang gigih atau cuma sekadar mengikuti tren.

Ada skill lain yang ingin dipelajari selanjutnya?

I want to speak different languages, ingin belajar Mandarin, Korea, Jepang… Saya rasa bahasa Asia sudah sangat penting sekarang. Different instruments juga kalau di musik. Itu hal yang sangat membantu di sela kesibukan. If I have the option, I rather sit in front my piano instead of hanging out. Ini sesuatu yang positif lah and time is ticking, I’m not that young anymore and I love to learn a lot of things, jadi kalau ada waktu ya I want to learn or try new things. Especially in music, kalau udah bisa piano, I wanna go to different instrument and learn it from YouTube. Ada kenikmatan belajar sendiri. Kalau dengan guru, you’re just following order. When you learn from YouTube, you will find your own system, you teach yourself. Dan pada saat berhasil, ada kepuasan tersendiri yang beda.

Di Instagram, Anda juga kerap posting soal social campaign seperti He for She Campaign dan Fight or Flight. Tell us more about it.

Kalau Fight or Flight itu saya bantuin campaign teman saja sih. My friend is an UFC champion and actor in L.A. Dia bikin campaign soal bullying. Kalau orang dipukulin ya jangan victim terus, lo harus melawan. Ini campaign untuk orang memperkuat diri jadi he asks me to give support and I did it because it’s a good campaign. Itu sesuatu yang saya lakukan di sela kesibukan. Helping them, helping the campaign but actually I’m helping myself too, it bring peace to me. Directly or indirectly, like it or not, celebrities have power to build the awareness and influence the people, jadi gunain yang benar aja. Kalau ada yang minta tolong as an influencer to doing something good I would say yes. I don’t have a reason to say no.

Kalau tentang He for She?.

He for She Campaign itu tentang penyetaraan gender di seluruh dunia. Kalau di He for She Indonesia kita mencoba bilang bahwa kesempatan harus sama antara laki-laki dan perempuan, penyetaraan gender di semua bidang, di instansi pemerintahan dan swasta, salary harus sama, dan perempuan juga berhak menjadi pilar pembangunan Indonesia ke depannya and have opportunity untuk sama-sama membangun negeri. To make it work, kampanye ini memang butuh dukungan dari semua laki-laki, kalau untuk perempuan doang jadinya terpisah. The point is always untuk bikin orang aware dulu, lewat social media dan nanti juga video yang sudah kita shoot akan dimasukkan ke bioskop dan digital.

Do you see yourself as a humanitarian?

I want to be. But I don’t know, it depends on what you do, you cannot say yourself as a humanitarian but you never really there. I try my best to, at least support the humanity program. But to claim myself as humanitarian I don’t think I have the credibility. I haven’t been in Syria, Sudan, or Aceh. So far I’m still doing it through penggalangan dana and the practical campaign to raise the money for them. But I don’t think its enough. I’m just a supporter of humanity.

What make you proud as Indonesian actor?

I’m proud as Indonesian actor because being Indonesian actor brought me my career. Saya kan bukan orang Indonesia yang tinggal di Amerika. Bukan orang Indonesia yang pindah ke Amerika terus berkarier di sana dari nol. Karierku dimulai di sini dan yang membukakan pintu untuk film-film Hollywood yang aku dapat itu karena aku main film Indonesia. Film Indonesia The Raid yang membukakan pintu aku ke sana, that’s the movie I’m always being proud of, karena kalau nggak ada film itu ya nggak ada Fast, Star Trek, dan nggak ada hari ini juga. That’s Indonesia movie, man. You have to be proud too.

Pernah ada keinginan untuk tinggal di luar negeri demi karier?

Pindah sih belum. I don’t think so, kecuali memang pekerjaan di sana harus stay lama. Tapi juga akan balik lagi, I don’t think I will move to anywhere else. Kalau ada tawaran film di luar ya kita bakal syuting, kelarin. Udah kelar ya pulang lah. Sekarang belum kepikiran sama sekali, plus everything is fine here. Semua di sini baik-baik saja. Education wise it’s good, life wise it’s good. It’s home lah.

Including the recent politics situation?

It’s okay… Everything is gonna be fine. When it’s done, it’s done. Everybody will hug each other.

Hopefully.

Possibly.

L1001424 copy