Man About Time, An Interview With Joe Taslim

Berbekal persistensi dan work ethic yang telah teruji oleh waktu, Joe Taslim tiba di saat yang tepat untuk menyelamatkan perfilman Indonesia dari kelesuan dan stagnasi pemeran yang itu-itu saja. Di antara himpitan jadwal yang kian memadat, aktor karismatik ini menyelipkan satu jam untuk berbincang dengan Baccarat Indonesia. 

STYLING ANINDYA DEVY FOTOGRAFER HILARIUS JASON MAKE UP & HAIR ARTIST ARIMBI TEKS ALEXANDER KUSUMA PRAJA LOKASI THE WESTIN JAKARTA

Hidup di kota besar dengan segala tantangan dan peluang yang bergulir begitu cepat, time could be your bestfriend or your worst enemy. Lengah sedikit, Anda bisa tergilas oleh waktu. Selayaknya Russian roulette, Anda mungkin tak akan pernah bisa 100% yakin kapan the perfect timing bisa mengantarmu ke kesuksesan atau justru stuck di satu tempat. Some people might believe in miracle and coincidences, others believe success comes to those who dare and act. Joe Taslim termasuk dalam golongan yang kedua.

Nama pria kelahiran Palembang, 23 Juni 1981 ini mencuat di publik ketika ia turut berperan di film laga The Raid pada tahun 2011 lalu, walaupun sesungguhnya ia telah mulai berakting di feature movie sejak tahun 2008 lewat film horror berjudul Karma dan film drama Rasa setahun setelahnya. Brutal dan penuh adegan bela diri yang membuat penonton tercengang sambil menahan napas, The Raid yang digarap oleh sutradara Gareth Evans adalah sebuah film martial arts action yang bisa dibilang breakthough dan mengharumkan film produksi Indonesia di mata dunia, termasuk nama para pemerannya. Peran Joe sebagai sosok Sersan Jaka di film ini berhasil memukau penonton dengan mata tajamnya, tubuh tegap, dan tentu saja keahlian bela diri mumpuni yang berasal dari background-nya sebagai atlet judo profesional yang sempat tergabung dalam timnas judo Indonesia.

            People fell in love with him dan sosoknya kian dikenal lewat berbagai photoshoot majalah dan komersial. Menyusul kesuksesan The Raid di ranah internasional, proyek Joe selanjutnya meliputi proyek skala internasional Dead Mine, sebuah film action horror produksi HBO Asia yang dirilis di sejumlah negara Asia. Not long after that, he got his first Hollywood role dalam Fast & Furious 6 yang lantas disusul dengan peran untuk Star Trek Beyond. Dengan pencapaian karier yang membanggakan tersebut, Joe pun memantapkan kakinya sebagai salah satu aktor Indonesia papan atas di saat umurnya telah melewati umur 20-an dengan filmografi yang sebetulnya masih bisa dihitung dengan jari.

Ditemui di presidential suite The Westin Jakarta, Joe yang memenuhi jadwal interview & photoshot untuk edisi ini datang sesuai jam yang telah disepakati ditemani beberapa entourage. Menyapa semua orang dengan ramah dan terlihat casual dengan t-shirt putih, jogger pants, sneakers, serta topi snapback yang bertengger di kepalanya, you can’t help but to feel his laid-backness. Namun, ketika ia berganti wardrobe dengan sharp tailored suit dan beraksi di depan lensa kamera (not a new thing for him since he used to be a model), Anda bisa merasakan auranya sebagai Joe the movie star. But make no mistake; behind all the glitz as an actor, Joe is a fighter, family guy, and social activist at the same time. Tanpa membuang waktu lebih lama, kami pun berbincang dengannya tentang the past, present, and the future.

L1001519

Hai Joe, boleh ceritakan aktivitas Anda belakangan ini?

Sekarang baru selesai syuting film action, The Night Comes for Us. Kita syuting 3 bulan, syuting terlama untuk film Indonesia yang pernah saya lakukan. Saya main jadi anti hero character, he’s a bad guy but looking for salvation. Tapi harga yang harus dia bayar untuk semua dosa yang dia lakukan, to go back to the right path itu mahal sekali. It’s very dark. Karakternya juga dark banget. Itu sudah selesai tapi saya langsung ambil film drama, judulnya Surat Kecil Untuk Tuhan, untuk balancing the psychological aja sih buat saya. Dari main film yang sangat keras, berdarah-darah, daripada saya harus ke psikolog gitu kan atau meditating, it’s better to do the other path, which is ambil film yang sangat drama, yang no violence and no action at all. It’s something I like to do untuk balance for me as an actor.

Jadi akting di film drama bisa menjadi semacam terapi juga ya?

Yes, therapy. Biasanya kalau syuting panjang kita mainin satu karakter bisa terbawa, bisa sampai ngomong sendiri kadang di rumah. Kalau syuting cuma sebulan mungkin nggak, tapi kalau di atas dua bulan, setiap hari mostly kita di set mainin karakter itu dari pagi sampai malam, we need time to balikin lagi. Dibanding lakuin itu, if I can, I will do the opposite, play different character yang benar-benar opposite dari karakter sebelumnya which is works. Kalau nggak, bisa tambah gila, haha.

Film Surat Kecil Untuk Tuhan ini sendiri tentang apa?

Ini film drama tentang anak-anak sih, sesuatu yang ingin saya lakukan dari dulu banget, bikin film yang bisa ditonton semua umur, especially kids, yang punya message penting juga untuk apa yang terjadi di seluruh dunia sekarang tentang anak-anak terlantar, human trafficking, penculikan, harvesting organ, segala macam. Saya berharap film itu bisa jadi campaign juga untuk isu anak-anak terlantar. It’s a movie yang harusnya bisa menginspirasi banyak orang sih.

Mengingat banyak film Anda yang mengandung kekerasan, apakah selama ini anak-anak Anda juga ikut menyaksikan film Anda?

Saya pernah main film drama tiga tahun lalu dan mereka nonton. The Raid juga sebetulnya mereka nonton tapi tetap saya dampingi untuk menjelaskan kalau semua itu hanya seni, semua itu hanya props. I try to give them angle agar jangan terperosok dalam ilusi violence yang disajikan di film itu. And they understand, so it’s cool sih harusnya, nggak masalah. Tapi anak yang paling kecil nggak lah. Yang sudah 10-11 tahun saja yang sudah punya logic yang baik.

Apa reaksi anak-anak kalau lihat ayahnya di layar?

Mereka sudah biasa sekarang. Dulu kalau lihat foto saya di jalan, di billboard misalnya, masih suka excited, sekarang sudah biasa. They understand it’s my job, papanya kerja di industri yang membutuhkan papanya dipajang di mana-mana, it’s their dad’s job to represents brand, to be in a movie and delivers character. Saya rasa mereka juga sudah mengerti inside-nya, bukan cuma dari luarnya saja. It’s a job, just like any other job like makeup artist or photographer. Kalau aktor atau singer mungkin memang dapat spotlight khusus karena mereka adalah frontline to deliver sebuah project atau brand, tapi sebenarnya sama aja, everybody’s working hard behind the scene. Di industri ini, it’s all about collaboration.

Flashback sejenak, bagaimana masa kecil Anda di Palembang?

Saya dulu dari kecil memang diarahkan orangtua untuk jadi atlet. Masih kecil ya sekolah, sore latihan, its quite discipline life. Main ya main tapi karena fokusnya juga udah ada di sekolah dan olahraga, jadi main ya seadanya, tapi jadi lebih tersalurkan lah. Karena ingin cari yang cocok, saya sempat coba banyak hal. Bulutangkis, taekwondo, kungfu, judo, wushu, bahkan tinju pun pernah sempat mau saya coba.  Tpi akhirnya memang harus fokus di satu cabang dan saya memilih judo, saya juara nasional dan masuk timnas. 

Dari sekian banyak bela diri yang pernah ditekuni, kenapa memilih fokus di judo?

Judo dari saya kecil pun is mostly something that fun dan seru. Judo memang bela diri yang butuh kegigihan, karena prosesnya juga nggak ada yang gampang, dibanting, dicekik, dipatahin, dikunci segala macam. Tapi kalau memang gigih it could reach some point yang membanggakan. Memang keuletan itu yang nggak gampang. Kalau latihan pasti sakit, tapi setelah sekian lama, when you adapt to the pain, you need the pain everyday, it’s something yang seru, setelah dinikmati ya its good pain yang bikin kita lebih kuat physically and mentally, which I think that help a lot in my career as actor now. Secara mentally and psychologically I was raised in very warrior way. Jadi di dunia seni pun I think its same work ethic, harus gigih dan kerja keras, nggak cepat puas, respect, karena core-nya judo memang respect dan discipline. Disiplin itu sih yang banyak membantu di dunia perfilman ini. Banyak orang yang nggak punya core itu. They think acting is just mambo jambo spotlight, getting famous and the girls or get the cover of magazine, they don’t know the foundation of it. It’s a profession. It’s not something you want to brag to other people about.

Jadi, bagaimana Anda akhirnya terjun ke showbiz?

I always love movies. Dari kecil its part of the family tradition juga untuk nonton film bioskop bisa seminggu dua kali or at least sekali because my dad is a huge fan of movies. Mungkin dari situ juga timbul keinginan untuk terjun ke industri ini. Awalnya saya mulai dari commercial, ada satu brand yang membutuhkan talent dengan skill judo, they ask me to go to the audition and then I got the job, that’s my first introduction to camera and shooting process. Dari situ banyak tawaran seperti photoshoot untuk magazine dan runway. For me its learning process. Dari 2001 sampai 2006, it was tons of auditions, tons of work here and there. Audisi untuk iklan, photoshoot, runway, sinetron, FTV… I just did everything just to know industri ini seperti apa sih. Sama seperti bela diri, I learn so many martial arts, but at some point I know I need to focus on one. Salah satu hal yang membuat saya menjadi good judo-ka dulu karena saya mempelajari banyak martial arts lain dan membawa elemen-elemen itu ke martial art yang saya tekuni. Sama seperti industri ini, by the time I decide to focus on acting in feature movie, I have a good foundation and already learnt many things that I could deliver through my experiences, right?

Saat pertama kali berakting di film Karma, apakah waktu itu Anda sudah menikah?

Yes, I was married in 2004, Karma keluar di 2008. I got married when I was really young but I think its good, jadi bisa lebih fokus ke kerjaan. Sudah nggak pikir main-main lagi. Agendanya cuma satu, I just want to be a good actor. Kalau belum kawin mungkin I just think about the girls or party, you know? It’s probably one of the keys that brought me here. Kebanyakan orang kan when they get famous, the distraction around the art sometimes too strong, they got carried away and forgot it’s a profession you love, not the illusion around it.

So you think you started your career on the right time?

Yeah, I think everything happens for reason. Karier saya baru berjalan mulus when I was about 30, below 30 it was struggle all the way, which is happens for reason. Kalau saya mendapat semua apresiasi ini di umur 20, maybe I would be somebody else. Mungkin saya tidak bisa menahan diri dan belum cukup matang. Tapi di umur 30 sekarang dan sudah menikah, saya bisa fokus di pekerjaan. Nggak ada yang aneh-aneh lah. Ini bukan sesuatu yang buat main-main, it’s my life. Not just for being on screen and get famous, this is my life and my career.

Do you already feel settled now?

I’m happy. I think my personality juga bukan yang terlalu ambisius. I don’t think I’m very ambitious guy, I think I believe in doing a bit by bit in perfect way will lead you to the dream and point you couldn’t think you could achieve. Jadi dibanding bikin sesuatu yang grande, I’m kinda guy who a bit OCD in term of how I work. Bagi saya lebih penting memperhatikan detail dalam pekerjaan karena kita nggak akan tahu ke mana hal-hal ini bisa membawa kita. I love surprises, so jalanin apa saja dengan sepenuh hati, dan tiba-tiba, jackpot!

L1001878

Well, mungkin bagi banyak aktor Indonesia the ultimate dream adalah go international main di film Hollywood, but you actually already did that.

I never have a big dream about it to be honest. Kalau berandai-andai mungkin siapapun pasti pernah, tapi kalau untuk bermimpi terus dipikirin nggak sih. This is an unpredictable profession because this is art, it’s very hard to judge. You never sure if you did a good work in one project and it could lead to the other. It doesn’t work that way. It needs a little bit of magic yang munculnya dari keyakinan and it has to be fun. Dan saya selama ini melakukan semua project, apakah itu komersial atau film, semuanya harus I know I’m going to have so much fun. It’s not because of the money or what, I know when I read the script and then I think I will have so much fun in this one, I’m gonna give everything. That’s it. Kalau project-nya sukses atau nggak, it doesn’t matter because I win already. I would never lose because I did it for the sake of I believe in it and I’m very happy for it. Jadi itu sih, filmnya mau kaya apa juga I’m a winner already. In my case, do your profession with love and always give 110 percent, always give perfection to every details and it could lead you somewhere to probably you won’t imagine before.

Do you have any bucket list in acting?

A lot pastinya. Secara karier film saya juga masih belum banyak. Kalau lokal ingin kerja dengan Joko Anwar, Ifa Isfansyah, Hanung Bramantyo. Kalau di luar pasti lebih banyak lagi pastinya, haha. As long as the story make me fall in love with, then anything could happen.

Talk about time, punya brand favorit untuk jam tangan?

I have Omega and Rolex, dua itu yang aku suka sih. I’m very loyal in terms of brands. Jadi kalau sudah suka satu, I feel I don’t want to betray the brand I love. Jadi jarang juga nyoba-nyoba, biasanya kalau sudah coba satu atau dua, ya sudah stay di situ saja.

Pertimbangannya apa kalau membeli jam tangan?

Banyak orang yang memakai jam tangan sekadar untuk fashion. Tapi kalau saya melihat jam tangan itu as a little bit of hint about who you are. Kalau pakai jam tangan untuk meeting and meet people, hal itu memberikan kesan jika kamu adalah orang yang peduli soal waktu, sedangkan design-wise, it’s also show what kind of a guy you are. Kalau saya sendiri sih memang stay to leather and steel. Nggak suka yang modelnya aneh-aneh. Classic watches like Omega or Rolex never disappoint me. They always fit me really good and I think my character also represented. So it’s not like I’m representing the brand, but the brand help me to represent who I am. Like this guy care about time, discipline, classic, persistence and detail oriented. Jam tangan bisa memberikan ilusi tentang diri kita. Not always, but it helps.

Anda sempat posting foto rapper Tupac Shakur di Instagram, kalau musik Anda suka mendengarkan apa?

Banyak sih yang saya suka. I’m an old soul jadi saya nggak begitu mendengarkan lagu-lagu sekarang, kecuali yang bagus banget, picky sih. Saya suka dengerin lagu zaman dulu seperti Stevie Wonder, Tupac, Biggie, atau lebih tua lagi The Beatles. Maybe because I’m not that young anymore, haha.

Anda juga sering posting video main piano di Instagram dan bilang jika hal itu membantu membangun mood dalam berakting. Memang gemar main musik ya?

Just for fun, not professionally. Musik selalu berhasil membangun mood apapun. Seperti di film kan semua dibangun dari musik. Nonton film kalau nggak ada musiknya, you don’t know what you are watching. Saya main piano belajar sendiri dari YouTube. Sekarang semua bisa dipelajari dari YouTube. Asal gigih saja, persistence. Kalau gigih apa sih yang nggak bisa? Kalau bosenan, nyerah, ya nggak bisa belajar apa saja. Alasan orang can’t do what they want karena mereka kurang gigih atau cuma sekadar mengikuti tren.

Ada skill lain yang ingin dipelajari selanjutnya?

I want to speak different languages, ingin belajar Mandarin, Korea, Jepang… Saya rasa bahasa Asia sudah sangat penting sekarang. Different instruments juga kalau di musik. Itu hal yang sangat membantu di sela kesibukan. If I have the option, I rather sit in front my piano instead of hanging out. Ini sesuatu yang positif lah and time is ticking, I’m not that young anymore and I love to learn a lot of things, jadi kalau ada waktu ya I want to learn or try new things. Especially in music, kalau udah bisa piano, I wanna go to different instrument and learn it from YouTube. Ada kenikmatan belajar sendiri. Kalau dengan guru, you’re just following order. When you learn from YouTube, you will find your own system, you teach yourself. Dan pada saat berhasil, ada kepuasan tersendiri yang beda.

Di Instagram, Anda juga kerap posting soal social campaign seperti He for She Campaign dan Fight or Flight. Tell us more about it.

Kalau Fight or Flight itu saya bantuin campaign teman saja sih. My friend is an UFC champion and actor in L.A. Dia bikin campaign soal bullying. Kalau orang dipukulin ya jangan victim terus, lo harus melawan. Ini campaign untuk orang memperkuat diri jadi he asks me to give support and I did it because it’s a good campaign. Itu sesuatu yang saya lakukan di sela kesibukan. Helping them, helping the campaign but actually I’m helping myself too, it bring peace to me. Directly or indirectly, like it or not, celebrities have power to build the awareness and influence the people, jadi gunain yang benar aja. Kalau ada yang minta tolong as an influencer to doing something good I would say yes. I don’t have a reason to say no.

Kalau tentang He for She?.

He for She Campaign itu tentang penyetaraan gender di seluruh dunia. Kalau di He for She Indonesia kita mencoba bilang bahwa kesempatan harus sama antara laki-laki dan perempuan, penyetaraan gender di semua bidang, di instansi pemerintahan dan swasta, salary harus sama, dan perempuan juga berhak menjadi pilar pembangunan Indonesia ke depannya and have opportunity untuk sama-sama membangun negeri. To make it work, kampanye ini memang butuh dukungan dari semua laki-laki, kalau untuk perempuan doang jadinya terpisah. The point is always untuk bikin orang aware dulu, lewat social media dan nanti juga video yang sudah kita shoot akan dimasukkan ke bioskop dan digital.

Do you see yourself as a humanitarian?

I want to be. But I don’t know, it depends on what you do, you cannot say yourself as a humanitarian but you never really there. I try my best to, at least support the humanity program. But to claim myself as humanitarian I don’t think I have the credibility. I haven’t been in Syria, Sudan, or Aceh. So far I’m still doing it through penggalangan dana and the practical campaign to raise the money for them. But I don’t think its enough. I’m just a supporter of humanity.

What make you proud as Indonesian actor?

I’m proud as Indonesian actor because being Indonesian actor brought me my career. Saya kan bukan orang Indonesia yang tinggal di Amerika. Bukan orang Indonesia yang pindah ke Amerika terus berkarier di sana dari nol. Karierku dimulai di sini dan yang membukakan pintu untuk film-film Hollywood yang aku dapat itu karena aku main film Indonesia. Film Indonesia The Raid yang membukakan pintu aku ke sana, that’s the movie I’m always being proud of, karena kalau nggak ada film itu ya nggak ada Fast, Star Trek, dan nggak ada hari ini juga. That’s Indonesia movie, man. You have to be proud too.

Pernah ada keinginan untuk tinggal di luar negeri demi karier?

Pindah sih belum. I don’t think so, kecuali memang pekerjaan di sana harus stay lama. Tapi juga akan balik lagi, I don’t think I will move to anywhere else. Kalau ada tawaran film di luar ya kita bakal syuting, kelarin. Udah kelar ya pulang lah. Sekarang belum kepikiran sama sekali, plus everything is fine here. Semua di sini baik-baik saja. Education wise it’s good, life wise it’s good. It’s home lah.

Including the recent politics situation?

It’s okay… Everything is gonna be fine. When it’s done, it’s done. Everybody will hug each other.

Hopefully.

Possibly.

L1001424 copy

Triple Threats, An interview With Tim Matindas

Cerita seorang vokalis yang kemudian mencoba berakting di film mungkin terdengar sama klisenya dengan cerita ditawari main film setelah mengantar teman ikutan casting. Well, kedua cerita tersebut memang dialami oleh Timothy Jorma Matindas yang dikenal sebagai vokalis band indie rock Jakarta via Vancouver bernama Roman Foot Soldiers (RFS). Untungnya, tak ada yang klise pada karier barunya sebagai seorang aktor.

            Tim, demikian pria kelahiran Jakarta 27 tahun lalu ini akrab disapa, pertama kali berakting dalam short movie berjudul The Kiosk yang tergabung dalam omnibus Sinema Purnama tahun lalu. Tak disangka, peran pertama tersebut membuahkannya gelar Best Actor dalam kategori omnibus di Piala Maya 2012. Sebuah awal yang manis bagi pria yang mengaku belum pernah akting sama sekali. Di akhir tahun ini, Tim kembali mendapat peran utama dalam film Toilet Blues garapan Dirmawan Hatta. Dalam road movie bergenre arthouse ini, ia berperan sebagai Anggalih, seorang calon pastor muda yang bersama sahabat masa kecil dan cinta platoniknya Anjani (Shirley Anggraini) mengadakan perjalanan dengan kereta dari Jakarta menuju Jawa Tengah. Di jalan, mereka dihadapkan pada banyak perdebatan dan godaan yang akan menentukan arah hidup keduanya. Turut dibintangi oleh Tio Pakusadewo, film ini dipenuhi simbol dan alegori Katolik yang terinspirasi oleh puisi Nyanyian Angsa karya W.S Rendra dan film The Last Temptation of Chris karya Martin Scorsese. Uniknya, baik sutradara maupun Tim sendiri sebetulnya bukan beragama Katolik. “Itu yang susah, Anggalih ini pengen jadi pastor tapi gue sendiri Muslim kan. Jadi pada awalnya gue nggak terlalu ngerti, gue harus research dulu, baca, ngobrol sama beberapa pastor di Jakarta. Gue nggak pernah serelijius itu sih, tapi menarik aja karena adegan simbolisnya memang bagus untuk film ini secara visual supaya message tertentu disampaikannya nggak harus lewat dialog. Seperti adegan membasuh kaki, terus adegan yang ditampar pipi kiri dikasih pipi kanan,” ungkap Tim tentang peran ini.

            Toilet Blues pertama kali diputar di Indonesia pada ajang JiFFest bulan lalu, namun sebelumnya film ini telah lebih dulu berjaya di sirkuit festival film di luar negeri. Menjadi satu-satunya film Indonesia dari 12 film dalam kategori New Currents pada Busan International Film Festival 2013, film ini lantas menarik perhatian festival film di negara-negara lain, mulai dari Mumbai, Goa, Kamboja, hingga Göteborg International Film Festival di Swedia bulan Januari nanti. Tampil di film kelas festival seperti ini, apakah sekarang Tim telah nyaman menyandang titel aktor? “Belum kali ya, gue masih ingin lebih dikenal sebagai vokalis RFS sih dibanding aktor. Sekarang juga lagi belajar banget, aktingnya juga masih otodidak, ke sananya gue pengen lebih dalemin lagi kalau bisa,” tukas Tim yang akan ikut berperan dalam sebuah drama romantis berjudul The Right One garapan Stephen Odang yang akan dirilis pada hari Valentine nanti.

            Bisa jadi, omongan tadi adalah upayanya untuk merendah, karena jelas saat berbicara tentang film matanya membinarkan passion yang kuat pada bidang ini. “Sekarang ini waktu yang bagus untuk kinda revolution sedikit. Karena The Raid kemarin meledaknya kaya gitu, its open a lot of door. Bikin investor lebih berani dan kasih liat ke orang kalau Indonesia capable juga kok bikin film kaya gini. Sekarang mungkin karena ngeliat kaya gitu, filmmaker Indonesia udah mulai mikir ke arah situ kali ya?” ujarnya.

            Tak hanya tampil di depan kamera, saat ini Tim justru lebih serius mengasah bakatnya yang lain sebagai penulis naskah dan produser film. “Gue sekarang lagi partneran sama produser Toilet Blues kemarin, dia abis nge-produce Toilet Blues yang arthouse sekali filmnya, tahun depan kita mau masuk yang lebih komersil. Tapi komersil yang bagus. Kayanya kalau liat film Indonesia masih setengah-setengah sekarang. Kalau nggak yang artsy banget, atau yang jadinya agak norak. Dia punya dua script, gue punya satu script, tahun depan kita mau go around shopping for investors. Sekarang kita lagi bikin proposal film-film ini. Gue pengen ke depannya kerjaan utama gue lebih ke behind the scene. Producing, writing, sambil jalanin RFS at the same time, seru kayanya,” ungkap Tim sebelum mengeluarkan Macbook dan menunjukkan satu trailer dari film karyanya sendiri yang bergenre thriller suspense, which all I could say for now, its looks promising.

            Bagaimana dengan RFS sendiri? Tenang saja, band keren ini memang jarang terdengar belakangan ini, namun itu karena mereka sengaja stop terima tawaran manggung untuk fokus menyelesaikan full album mereka yang diproduseri oleh Dipha Barus. Berisi delapan lagu, saya sempat mendengarkan satu lagu tanpa judul yang akan menjadi single pertama. Terdengar elemen elektronik yang lebih kental dibanding lagu-lagu sebelumnya, membuat album baru ini akan pas diletakkan di tengah-tengah album Random Access Memories milik Daft Punk dan album terbaru Phoenix. Dalam waktu dekat, mereka juga akan membuat video klip pertama untuk album ini dengan disutradarai oleh Shadtoto Prasetio dan akan berupa short film. Baru-baru ini, Roman Foot Soldiers merilis single baru tersebut dengan tajuk “Controversy” dan akan tampil di hari kedua acara LocalFest 2014, hari Sabtu pekan ini.

            “Kalau akting di depan kamera, kalau salah bisa cut! Tapi kalau dia panggung, wah mati aja,” ujar Tim sambil tertawa saat ditanya lebih menakutkan main film atau tampil di stage. “Tapi thrill-nya sendiri lebih kalau perform with the band,” tukasnya. “Perform di depan live audience itu nggak ada yang ngalahin deh, make you feel alive. Akting sendiri gue suka prosesnya, yah kalau bisa jalanin dua-duanya kenapa nggak?” tutupnya dengan retoris.

Foto oleh Sanko Yannarotama

The Blind Truth, An Interview With Ayushita & Nicholas Saputra

Apa saja hal-hal yang tidak dibicarakan ketika kita membicarakan Nicholas Saputra dan Ayushita Nugraha? Let’s find it out together.

The early bird catches the worm” menjadi mantra penyemangat saat saya harus meninggalkan rumah lebih pagi dari biasanya menuju sebuah studio foto di daerah Kuningan demi jadwal cover photoshoot dan interview bersama Nicholas Saputra dan Ayushita Nugraha untuk edisi Mei. Mereka sebetulnya bukan nama asing bagi majalah ini, Nicholas pernah menjadi cover NYLON Guys Indonesia edisi April 2011, sementara saya sempat mewawancarai Ayu untuk edisi Anniversary NYLON Januari tahun ini. Sekarang, mereka berdua sengaja dipasangkan berkat film terbaru mereka, What They Don’t Talk About When They Talk About Love, di mana keduanya berperan sebagai penyandang disabilitas yang menjalin hubungan yang “tidak biasa”.

Bila film-film bertema disabilitas pada umumnya dibanjiri drama air mata serta pesan-pesan preachy, film kedua karya sineas perempuan Mouly Surya ini memilih menunjukkan realita di balik tembok sebuah Sekolah Luar Biasa dengan apa adanya secara humanis. Dalam film dengan ensemble cast yang turut dibintangi oleh Karina Salim, Anggun Priambodo, dan Lupita Jennifer ini, Ayushita berperan sebagai Fitri, seorang remaja tunanetra di sebuah asrama untuk visually impaired yang terobsesi pada cerita hantu, dan selayaknya remaja seumurnya, she’s dying to feel some love. Saban malam Jumat, ia pergi ke kolam renang sekolahnya untuk bercerita kepada sesosok hantu dokter yang konon merupakan urban legend di sekolahnya, sampai suatu hari “hantu” itu muncul dan berkomunikasi dengannya lewat surat yang ditulis dengan huruf Braille. Fitri tak tahu jika dokter hantu pujaannya itu ternyata seorang pemuda tunarungu bergaya punk bernama Edo (Nicholas Saputra) yang diam-diam sering memperhatikan Fitri.

Semboyan love is blind menjadi hal yang literal dalam cerita ini. Terlepas dari keterbatasan fisik keduanya, mereka pun menjalani hubungan yang sangat passionate lewat sentuhan fisik dan momen-momen ajaib dari minimnya komunikasi di antara mereka. Menariknya, di film ini Mouly menghadirkan twist berupa alternate reality di mana keduanya adalah pasangan normal yang sangat komunikatif satu sama lain walaupun tinggal di sebuah kamar kos sempit, yang semakin terasa pengap dengan rentetan dialog klise orang mabuk cinta yang bila diresapi ternyata sangat “kering” dan dipaksakan. Conversation is (sometimes) overrated adalah pesan yang terpapar dari sini, dan membuat kita bertanya do they really fell in love? Atau justru seperti yang Fitri ungkapkan, apa mereka hanya jatuh cinta dengan konsep jatuh cinta itu sendiri?

Dengan premis skenario yang menarik tersebut, film ini berhasil disertakan dalam World Cinema Dramatic Competition di Sundance Film Festival tahun ini yang juga membuatnya menjadi film Indonesia pertama dalam salah satu festival film dunia paling bergengsi itu. Setelahnya, film ini juga ditayangkan di Rotterdam, Goteborg, dan Hong Kong International Film Festival dan mendapat respons gemilang dari semua media. Well, setelah menontonnya sendiri, kamu akan langung mengetahui penyebabnya. Script yang memang menarik itu diperkuat oleh pendekatan sinematik khas Mouly yang dipenuhi sinematografi cantik dan penuh simbol. Tak hanya secara visual, dari audio pun film ini memaksa kita menajamkan indera pendengaran kita. Di satu titik di mana tidak ada audio sedikit pun, kita dibuat “tuli” sesaat dan seluruh bioskop terasa hening sampai-sampai penonton seperti menahan napas menunggu suara muncul kembali. Komposisi musik yang digarap Zeke Khaseli dan Yudhi Arfani dengan cerdas juga menjadi elemen penting yang menggambarkan emosi internal setiap karakter, salah satu yang paling memorable adalah lagu “Twinkle, Twinkle, Little Star” dengan lirik lagu “twinkle, twinkle, little star. How I wonder what you are,” yang terasa menusuk saat dinyanyikan karakter bernama Maya (Lupita Jennifer). Somehow, saya merasa lirik tersebut juga menggambarkan sosok Nicholas dan Ayushita. Keduanya memang bukan “bintang kecil”, dan hampir semua orang mengenal mereka, tapi apakah persepsi publik sudah cukup mewakili kepribadian mereka di dunia nyata? That’s what I try to find out this time.

IMG_0454 copy

Ayushita datang tepat waktu dan mulai menjalani proses makeup saat saya tiba. Sama seperti perjumpaan kami sebelumnya, ia terlihat riang dan bersemangat walau jam masih menunjukkan pukul sembilan, jam yang menentukan mood kita sepanjang sisa hari nanti. Satu-satunya yang berubah adalah kilatan warna turquoise yang kini menghiasi sebagian rambut belakangnya. “Sundance was so cold!” katanya riang saat saya menanyakan ceritanya ikut ke Sundance bulan Januari silam, “tapi aku sama Lupita pulang duluan karena aku harus nyiapin launching album. Yang senang pas lagi screening itu, kita juga nervous dan mereka tahu ini film Indonesia pertama yang masuk Sundance, tapi mereka memberikan respons yang baik, nggak ada penonton yang walkout, mereka stay sampai film selesai, dengerin Q&A, dan banyak yang pengen foto bareng. Aku pikir cuma hari itu aja, tapi the next day kita jalan-jalan, ada orang yang bilang, ‘kamu yang main di film itu ya?’ Terus ngajakin foto bareng, terus besoknya lagi pas kita jalan-jalan makan siang di main street ada orang yang bilang “Hey I saw your movie! Congratulation, we love it!’ terus banyak yang bilang ke Mbak Mouly, ‘terima kasih sudah bikin film yang bagus,’” ceritanya sambil tersenyum.

Gadis kelahiran 1989 ini punya alasan kuat untuk tersenyum. Kuartal awal tahun ini kariernya bisa dibilang tengah mengalami transformasi. Ia menggebrak dengan dua project besar sekaligus, yaitu film ini dan album musik solo pertamanya yang bertajuk Morning Sugar. Beberapa minggu sebelumnya, ia mengadakan mini concert di gedung PPHUI untuk perilisan albumnya, satu hal yang ia turun tangan sendiri menyiapkan segala sesuatunya. Musik di album ini sendiri sejujurnya bukan sesuatu yang akan kamu sangka dinyanyikan oleh Ayushita yang sebelumnya lekat dengan cap Bukan Bintang Biasa (BBB). Dibantu oleh Ramondo Gascaro (eks-keyboardist SORE) dan Ricky Virgana dari White Shoes & The Couples Company, album ini berwarna indie pop Indonesiana. “Banyak yang kaget sih, wah kok sekarang jadi kaya gini ya? Banyak juga yang agak sarkastik, tapi…I’m okay. Maksudnya sudah terbiasa dengan hal-hal kaya gitu,” cetusnya sambil mengangkat bahu. “Aku sebetulnya nggak ngerasa ini hal yang baru buat aku, untuk di depan publik mungkin iya. Mereka kan mikirnya aku sangat mainstream atau gimana, aku keburu udah di tengah-tengah, I like the off-stream, but I don’t hate the mainstream either, to be realistic aja sebetulnya. In real life, ini musik yang aku suka juga. iPod aku terlalu beragam playlist-nya dan indie pop adalah salah satu jenis lagu yang aku suka banget.”

Terjun ke dunia showbiz sejak kecil, Ayu memang telah terbiasa dengan berbagai pemberitaan menyangkut dirinya di media, entah kariernya sebagai aktris maupun sebagai penyanyi, walau ada satu sisi dirinya yang belum terekspos. “They don’t know if I love cooking a lot! Recently aku baru belajar baking. Baking itu lebih susah dibanding masak Italian or Japanese food, aku pernah mau bikin kue ulang tahun belajarnya kaya orang mau ujian, berkali-kali sambil nonton YouTube. It was fun. Terakhir aku bikin Strawberry Shortcake, dan Alhamdulilah rasanya kaya punya restoran yang emang aku suka Strawberry Shortcake-nya, Ahaa… gue punya resepnya! Bisa nih bikinnya! Haha!”  ungkapnya dengan wajah excited.

IMG_0532 copy

            Jam sepuluh kurang sedikit, Nico akhirnya tiba. Ia meminta maaf atas keterlambatannya, walaupun saya bisa memakluminya. Baru malam sebelumnya, ia pulang ke Indonesia dari traveling ke New York dan daerah selatan Prancis. Sialnya, setelah tiga minggu meninggalkan Indonesia, ia harus langsung berhadapan dengan schedule super padat, hari itu pun ia hanya punya waktu sampai jam 12 siang untuk memenuhi jadwal lainnya sampai malam. Sambil menunggu Ayushita selesai makeup, saya pun, melakukan ice breaking dengan aktor berusia 29 tahun tersebut. So how was Sundance? “Sundance…Ok, good… Di sana kita sepuluh hari di Park City, kota kecil di Utah yang pusat ski resort, waktu itu pas lagi peak musim orang main ski.tapi karena di sana dingin jadi kita maunya masuk bioskop terus. Responsnya oke, sebetulnya film ini kan bukan tipikal film Amerika, jadi buat mereka ini sesuatu yang baru dan beda dibanding film-film Amerika,” tandasnya.

Nico menjawab setiap pertanyaan dengan singkat dan tegas, mengingatkan saya akan perannya di film AADC yang melambungkan namanya. Mungkin karena faktor jet lag, ia agak terlihat lelah dan kurang mood untuk bicara panjang lebar. I know my safest bet adalah bertanya seputar film terbarunya ini. “Proyek film ini dimulai tahun 2010, awalnya memang diajakin Mouly untuk film ini, syutingnya Juni tahun lalu, reading dua bulan dan syuting dua minggu. Saya riset ke SLB tunarungu di daerah Cipete, ikut kelas mereka beberapa kali, ikut proses belajar. Banyak yang didapat sih, sebelumnya kita cuma mikir mereka nggak bisa dengar dan nggak bisa ngomong, tapi ternyata banyak hal yang bisa mereka lakukan,” jelas Nico sebelum tiba-tiba mengalihkan pandangan dan berseru, “Wohoo, thanks for the diet!” dengan cengiran iseng saat melihat Ayushita keluar dari ruang makeup dengan mengenakan look pertama yang terdiri dari crop top Topshop dan celana rok Balenciaga. Ayushita hanya tertawa menanggapi celetukan itu. Obrolan canggung saya dan Nico pun harus terhenti karena kini gilirannya berganti wardrobe dan memulai pemotretan.

Thanks for their role as a couple, mereka sudah tidak risih lagi saat harus berpose berdua. Frame demi frame dilewati keduanya dengan santai dan diselipi beberapa inside jokes. Saat hampir jam 12, Nico berulangkali melirik jam dan smartphone miliknya. Di saat ia mengira pemotretan sudah selesai, ternyata masih ada satu look lagi yang harus ia pakai, dan Nico pun berbesar hati menyanggupi. Ia berganti baju dengan cepat dan tanpa buang waktu menuntaskan sisa pemotretan. Setelahnya, dengan agak tergesa, Nico membereskan barang bawaannya, mengucapkan terima kasih ke semua orang dan segera melesat ke appointment berikutnya. Sebelumnya, kami berjanji untuk bertemu lagi besoknya untuk melanjutkan interview dan saya pun melanjutkan interview dengan Ayu saat ia juga telah menyelesaikan pemotretannya.

Melihat keakraban keduanya saat photoshoot, saya bertanya kepada Ayu tentang caranya membangun chemistry bersama Nico untuk film ini. “Aku baru kerja bareng Nico di film ini. I was so nervous sebetulnya karena dia jam terbangnya udah jauh lebih banyak dan ada hal-hal yang aku belum pernah jalanin di film tapi dia udah. Cara Mbak Mouly nge-direct itu lebih diskusi dan nanya opini kita kaya gimana scene-nya, jadi kita banyak ngobrol karena aku scene-nya paling banyak sama Nico. Kita spend time quite long sepanjang syuting selama dua minggu. I don’t really think about the chemistry, tapi justru karena ada satu adegan yang harus dilewati itu, yang belum pernah aku lakukan sebelumnya. I have to pull myself together. Jadi aku milih dengerin iPod dan duduk sendiri dulu. Waktu liat set adegan itu aku yang ‘Oh no!nervous banget! Aku nggak omongin ke siapa-siapa, tapi semua yang ada di situ tau dan mereka nggak push aku untuk apapun, mereka benar-benar memberi waktu ke pemain dengan ketegangan kita masing-masing,” papar Ayu mengingat kembali salah satu adegan di film ini yang merupakan tantangan baru bagi dirinya sebagai aktris.

Risque scene aside, sama seperti Nico, Ayu juga belajar banyak hal dari film ini tentang penyandang disabilitas. Ia belajar huruf Braille dan meningkatkan sense selain penglihatan dengan menutup mata seharian dan berjalan dengan meniti railing di tembok lokasi syuting. “Waktu pertama kali datang ke lokasi ada banner foto-foto kegiatan mereka dan judulnya ‘Jangan Kasihani Kami’, aku yang ’owkaaay…’ Aku nggak tau yang lain notice apa nggak tapi itu yang pertama aku liat. Begitu masuk, ternyata mereka sama aja kaya kita, saling ngeledekin temen-temennya yang pacaran, ada yang busted lagi ngapain, terus jadi bahan omongan,” kenangnya. “Mereka punya passion yang sama dan feeling yang lebih kuat dari kita. Mereka juga mandiri, ada yang selalu pulang sendiri ke Bogor naik bus, padahal dia cewek. Setelah menjalani film ini aku mikir, oke aku nggak kasihan lagi sama mereka. Karena mereka hebat dan mereka memang nggak suka dikasihani, kaya ‘kenapa? I’m happy dengan keadaan ini’,” imbuhnya dengan mimik serius. “Yang jelas, aku jadi belajar lebih embrace dengan apa yang kita punya,” tuntas Ayu.

Besoknya, saya pergi ke kantor Cinesurya di daerah Melawai untuk melanjutkan interview dengan Nico dan kali ini berharap ia mau sedikit lebih bercerita dibanding pertemuan sebelumnya. Nico terlihat sama kasual dari hari sebelumnya dengan paduan polo shirt putih dan jeans. Dari dekat, saya bisa melihat kantung matanya masih agak tebal, ia mengaku baru tidur jam satu malam dan bangun jam 10, “Knocked out!” cetusnya sambil tersenyum kecil. Anyway, setelah tidur 9 jam, tampaknya mood Nico jauh lebih rileks hari ini. Saya memulai obrolan dengan topik-topik ringan, seperti musik apa yang biasanya ia dengarkan, “I listen a lot of rock, jazz music, yang sekarang ini apa ya? Gue lebih suka band-band lama…Emerson, Lake & Palmer, terus yang di playlist gue belakangan ini paling Depeche Mode sama Tears for Fears!” jawabnya sambil sesekali menghisap rokok. Saya menyinggung sedikit perannya sebagai Edo di film ini yang bergaya punk dengan jaket kulit, rambut dicat, dan tindikan di bibir, walaupun Edo sebetulnya tidak bisa mendengar, “Yeah, sometimes people do that, sekarang kan orang gaya apa belum tentu denger musiknya ya sesuai gayanya. Yang penting kan orang gayanya apa juga bebas-bebas aja,” ujarnya. Nico mengaku sudah lumayan lama sejak ia terakhir kali datang ke sebuah konser, karena kesibukannya traveling dan main film. Bagi orang awam, mungkin nama Nico seperti menghilang, walau sebetulnya ia masih rutin terlibat produksi film. Harus diakui belakangan ini ia cenderung bermain dalam film-film festival yang kurang terdeteksi publik umum. Hal itu menurutnya bukan suatu kesengajaan, tapi karena ia memang tertarik pada skrip yang ditawarkan dengan peran-peran tidak umum. “Too many characters in the world, gue nggak pernah yang pengen karakter ini karakter itu, sebetulnya karakter sederhana  justru bisa dibuat menarik karena kesederhanaannya,” tukasnya.

IMG_0240 copy

Satu dekade berkecimpung di entertainment, apakah Nico puas dengan portrayal media tentang dirinya? “Portrayal gue di media? Aduh sebetulnya gue nggak terlalu perhatiin sih, nggak sempet, paling kalau lagi berhubungan sama filmnya aja, pengen tau kritik, pengen tau review, pandangan orang sama kerjaan gue, biasanya ya gitu aja sih, yang hubungannya sama pekerjaan,” ucapnya. Dari sini pembicaraan pun bergulir dengan sendirinya, kita telah memasuki zona nyaman Nico dengan topik seputar kariernya di industri yang menurutnya harus selalu dikembangkan lagi. “Sebetulnya kritik atau review film di Indonesia masih perlu dikembangin, karena kita masih sedikit banget punya kritikus yang menurut gue capable mengkritik film dan sebetulnya itu juga bagian penting dalam industri film sih,” lugasnya sambil menambahkan, “kritikus tugasnya mewakili masyarakat tapi juga meng-educate masyarakat supaya hubungan antara filmmaker dan penontonnya ada, ini sebetulnya link yang harus dimiliki industri film. Sekarang banyak medium blog film juga bagus banget, pertama karena melatih mereka untuk menulis dan berpendapat soal film, terserah lo mau nulis apa, it’s a free country. Mudah-mudahan 5 atau10 tahun ke depan kita punya banyak kritikus yang bagus dan ngerti film,” paparnya panjang-lebar.

Selain film, traveling menjadi hal lain yang akan memacu Nico untuk dengan senang hati bercerita. Apakah ia masih menganggap dirinya sebagai full time traveler, part-time actor seperti yang tercantum di bio Twitter-nya? “So far, iya, haha!” responsnya sambil terkekeh, “itu joke aja sih sebetulnya, karena pekerjaan utama gue ya main film. Traveling itu penting buat gue karena selain dari dulu seneng jalan-jalan, penting buat cari inspirasi, cari hidup, Maksudnya kita tinggal di Jakarta, you live in the bubble, dan bubble itu makin lama makin tebel dindingnya, dan gue pengen keluar dari bubble itu untuk bisa refresh. Traveling itu lo ngeliat dunia, kalau akting juga ngaruh karena lo dapet references yang banyak dari kehidupan orang. Lo bisa lebih eksploratif, bisa melihat banyak kehidupan, sama to get away… kalau gue traveling ke luar negeri ya untuk menikmati hidup di suatu kota atau lingkungan tanpa ada yang minta foto atau hal yang berhubungan dengan pekerjaan gue,” ungkap Nico seraya menegaskan jika bukan berarti ia selalu memilih traveling ke luar negeri. Ia sempat selama dua tahun fokus traveling dalam negeri untuk lebih mengenal Indonesia dan jatuh cinta dengan Pulau Komodo yang menjadi lokasi diving favoritnya.

Somehow, I still can manage it sih, gue bukan tipe yang 9 to 5, yang kerja kaya maraton gitu, kalau kerja monoton gue cepet bosen,” kata Nico saat saya bertanya tentang caranya mengatur schedule yang padat. “Gue lebih suka sprint. Jadi gue rileks, santai tapi abis itu gue ngebut, that’s how I do my muscle. Mending kalau nggak ada kerjaan, gue cabut, pulang-pulang kerjaan numpuk tapi abis itu gue bisa rileks lagi,” imbuhnya.  Untuk menjaga stamina, Nico rutin berlatih Muay Thai dan renang yang diakuinya seperti meditasi, sambil bersiap terlibat dalam produksi film selanjutnya yang akan berskala besar akhir tahun ini.

Untuk menutup pembicaraan siang itu yang diselingi cemilan pisang asam dari Thailand, saya meminta Nico berandai-andai tentang hal yang ingin ia lakukan jika ia memiliki waktu luang, “Do nothing, gue akan ada di suatu kapal di Komodo, ngopi seharian dan diving sesuka hati, but I got many times like that sih sebetulnya. Seminggu kosong nggak ngapa-ngapain, I know the art of doing nothing, definitely!” jawabnya sambil tertawa renyah.

            In the end of the day, saat saya memikirkan kembali tujuan utama saya dalam menulis artikel ini, tentang apakah Ayu dan Nico adalah orang yang sama saat ada di depan dan belakang sorotan kamera, hal itu menjadi tidak relevan lagi. Satu hari jelas tidak akan cukup menjawabnya, yang pasti mereka berdua adalah orang yang passionate di bidang yang mereka geluti dan tak takut menjadi diri sendiri. No sugarcoated words, and of course, no superficiality.

As published in NYLON Indonesia May 2013

Photo by Hakim Satriyo

Styling by Anindya Devy