Eyes Wide Open, An Interview With Nasya Marcella

Selayaknya langit malam, dunia layar kaca tak pernah sepi akan bintang-bintang yang terus melesat berkilauan. But once in awhile, selalu ada sosok-sosok tertentu dengan pijar tersendiri yang lebih dari paras cantik belaka. Kami pun menemukan that something special thing dalam diri Nasya Marcella yang simply irresistible. Mari buka mata lebar-lebar untuknya.

img_8681

Dibesarkan di zaman ketika televisi masih menjadi sumber hiburan utama di rumah, jujur saja, saya termasuk anak yang tumbuh dengan menonton sinetron lokal for guilty pleasure dan karena memang kurangnya pilihan tontonan lain saat itu. Namun, seiring bertambahnya umur dan kesibukan (and dwelling in YouTube, obviously) saat ini saya termasuk orang yang hampir tidak punya waktu untuk menonton stasiun televisi lokal. Alhasil, saya nyaris tidak familiar lagi dengan para pendatang baru yang menghiasi layar kaca Indonesia saat ini. Tapi sebagai pekerja media, terkadang saya merasa perlu menyempatkan diri untuk tune in sejenak di stasiun-stasiun TV lokal demi meng-update diri sendiri soal who’s who in television nowadays (and the local infotainment buzz, for another guilty pleasure) dan tidak butuh waktu lama untuk mengetahui fakta jika sinetron tampaknya memang masih mendominasi jam-jam prime time televisi lokal dengan deretan wajah-wajah rupawan yang mostly berdarah Kaukasia.

Some things never really change, I guess. Namun, seperti yang sudah sempat saya singgung sebelumnya di atas, dari sekian banyak bintang-bintang muda yang silih berganti muncul di layar perak dengan talentanya masing-masing, pasti ada saja segelintir nama yang memiliki sparkle tersendiri yang seolah mengundang kita untuk mengenalnya lebih jauh. Dan Nasya Marcella adalah salah satu di antaranya. Cantik? Itu sudah pasti. Dengan pembawaan girl next door yang sangat manis dan senyuman berlesung pipit yang teduh, dara bernama lengkap Victoria Nasya Marcella Tedja tersebut memang terlihat selayaknya gadis impian yang menjadi the object of affection dalam kisah-kisah komedi romantis. It’s easy to fell in love at the first sight with her saat melihatnya di berbagai judul-judul sinetron atau iklan yang ia bintangi, namun saat melihatnya secara langsung di malam final NYLON Face Off akhir tahun lalu, saya harus mengakui jika she’s even prettier in real life. Dengan senyum radiant yang seolah menular dan kepribadian super sweet, ditunjang perannya sebagai brand ambassador untuk label kosmetik remaja Emina, it’s really no brainer jika kami memilihnya sebagai cover girl edisi Beauty tahun ini.

            Di sebuah pagi di pertengahan bulan Januari lalu, ia datang tepat pada jam yang telah ditetapkan untuk pemotretan ini. Memakai kemeja blus bermotif gingham warna pastel dengan jeans putih yang senada, ia melepas kacamata hitam yang bertengger di atas hidung bangirnya untuk menyapa kami dengan senyuman manis. Ditemani oleh sang mama yang selalu setia mengantarnya memenuhi berbagai jadwal, ia pun duduk dengan sabar menunggu tim makeup & hair datang sambil sesekali mengecek smartphone miliknya. Untuk mencairkan suasana, saya pun bertanya tentang kesibukannya akhir-akhir ini yang dijawabnya dengan antusias. “Kemarin terakhir itu habis main film layar lebar judulnya Abdullah dan Takeshi, sebetulnya belum selesai, masih ada satu hari lagi untuk syuting tapi jadwalnya belum ketemu sama yang lain. Sama paling photoshoot-photoshoot gitu sih. Ini film pertama aku, seneng banget, terus udah gitu syutingnya ke Jepang juga!” paparnya ceria.

            Saat tim makeup & hair akhirnya tiba, interview ini pun kami lanjutkan di depan meja makeup. Sambil membiarkan wajah segarnya mulai dirias, ia melanjutkan ceritanya soal film debutnya tersebut yang turut dibintangi oleh Kemal Palevi dan Dion Wiyoko. Bergenre komedi, dalam film yang direncanakan tayang bulan Maret ini Nasya berperan sebagai seorang mahasiswi yang terjebak dalam perebutan dua pria berdarah Arab dan Jepang yang tertukar saat lahir. Proses syutingnya sendiri di Jepang hanya berlangsung selama empat hari, namun Nasya harus extend beberapa hari ekstra untuk syuting iklan terbaru Emina sekaligus merayakan ulang tahun ke-19 yang jatuh di tanggal 9 Desember silam. “Itu pas ulang tahun pas aku lagi syuting, tapi sebelum ulang tahun aku justru punya free time ke Disneyland sama mama berdua dari pagi sampai malam. Ulang tahun di Jepang seneng sih, tapi karena lagi jauh jadi ngerayainnya cuma aku sama mama dan tim Emina, karena tim film udah pada pulang. Ulang tahun nggak ketemu sama keluarga… Agak gimana gitu rasanya… Tapi aku tetap teleponan sama keluarga, mereka ngucapin happy birthday. Agak sedih sih karena nggak ketemu langsung, sama teman-teman juga. Tapi pas aku pulang dan sampai di Jakarta aku dapet surprise juga sama temen-temen, hehe,” ungkap gadis Sagittarius tersebut tanpa bisa menyembunyikan rona bahagia di wajahnya.

img_8977

Walaupun saat ini sudah tergabung dalam sebuah manajemen artis, Nasya mengaku ia masih lebih suka ditemani sang mama ke mana saja. Tak hanya menjadi sahabat dan sosok manajer pribadi, sang mama juga yang menjadi pendukung utama ketika ia memutuskan terjun ke dunia entertainment. Lahir dan besar di Jakarta, anak tengah dari tiga bersaudara yang semuanya perempuan tersebut memulai kariernya sejak kelas satu SMP di tahun 2010 lewat beberapa iklan dan ajang modeling. Lain dari yang sempat saya perkirakan, walaupun sepintas dari wajahnya terlihat memiiki darah blasteran, Nasya mengaku jika orangtuanya berdarah Jawa tulen. “Cuma masih ada kakek di Semarang, jadi setahun sekali aku pulang ke Semarang. Mungkin di keluarga, aku memang kaya beda sendiri gitu, kayanya aku paling belo deh di keluarga makanya dulu sering disuruh coba aja jadi artis, padahal di keluarga aku memang nggak ada yang sama sekali di dunia entertainment. Awalnya coba sih karena penasaran aja, aku casting sama ikut modeling yang di mall gitu, karena nggak ada basic jadi awalnya nggak tau harus ngapain juga, tapi terus mama daftarin les modeling yang berguna banget karena dulunya aku memang anaknya cuek banget sih, lewat les itu aku jadi belajar dandan, belajar pakai baju yang bagus kaya gimana, belajar jalan, sama ngelatih kepribadian aku juga,” ceritanya mengenang awal perjuangannya sebelum akhirnya masuk ke dunia sinetron yang membesarkan namanya.

“Kalau sinetron sendiri baru pas kelas 9, mau masuk SMA. Awalnya juga nggak kepikiran main sinetron sama sekali karena masih sekolah, tapi ya udah iseng aja ikut casting terus ternyata dipanggil diajak main sinetron yang sudah tayang. Aku pikir seru juga karena syutingnya kaya jalan-jalan, ke Puncak, ke Anyer… Tapi ternyata nyita waktu, akhirnya pas SMA aku sempat sekolah reguler tapi terus keluar dan home school. Tapi home school-nya masih ada kelasnya juga jadi nggak boring. Sekelas ada sekitar 10 orang, aku tetap cari yang ada temannya juga sih, nggak pengen yang bener-bener sekolah sendirian,” akunya.

Berbekal dengan keberanian mencoba hal-hal baru untuk mengembangkan bakatnya, perannya sebagai Safira di sinetron berjudul Satria yang diputar di tahun 2011 itu menjadi pengantar baginya untuk fokus di kancah sinetron dengan membintangi sinetron-sinetron selanjutnya seperti Yang Masih Dibawah Umur, Magic, Akibat Pernikahan Dini, Fortune Cookies, dan Jakarta Love Story, walaupun ia mengaku tidak memiliki basic akting sebelumnya. “Apa ya, aku belajar dari pengalaman aja, dari casting iklan kadang ada akting dan dialognya juga kan. Yang pasti sih harus rajin pelajarin skenario terus waktu itu kaya banyak nanya dulu, dimarahin sutradara pasti pernah karena nggak hapal dialog tapi lama-lama akhirnya terbiasa sih. Pokoknya jangan malu untuk bertanya, jangan malu untuk dimarahin, kalau dimarahin ya dipelajarin salahnya di mana, belajar dari kesalahan.”

Dengan kontrak bersama SinemArt, ia pun kerap beradu peran dengan para bintang muda lainnya di bawah rumah produksi tersebut. Salah satu yang cukup sering adalah dengan Stefan William, salah satu aktor muda yang paling digilai penggemar sinetron saat ini. Dengan Stefan ia sempat bermain dalam tiga judul produksi. Mau tak mau, ia pun sempat digosipkan cinta lokasi yang lantas ditampiknya halus dan dianggapnya sebagai usaha untuk membangun chemistry dengan lawan mainnya saja. Tentu saja beberapa orang tampaknya tidak semudah itu untuk diyakinkan. “Bukan cuma nanyain, ada yang sampai ngata-ngatain juga, haha! Mungkin nggak bisa dibilang haters aku sih, tapi mereka lebih kaya fans-nya Stefan sama si ini atau si itu. Mereka kaya ‘Kenapa sih Kak Stefan sama Kak Nasya?’, ‘Ih cantikan dia tau daripada Kak Nasya’, ‘Kak Nasya kan orangnya gini gini gini’… Tapi nggak sampai yang buat haters gitu sih. Aku biasa aja sih hadapinnya, lucu-lucu aja, kadang ada yang setiap aku upload apa, benar-benar dikomenin tiap foto tapi ya udah nggak apa-apa, malah bagus haha, berarti dia care sama aku,” tukas Nasya dengan santai.

Untuk menjaga hubungan dengan fans, Nasya termasuk aktif di Instagram dengan followers sejumlah 242 ribu saat artikel ini ditulis. Selain Instagram, Nasya juga mengaku aktif di Ask.fm, sebuah media sosial yang memang cukup digandrungi belakangan ini karena memungkinkan para penggunanya untuk saling mengirim dan menjawab pertanyaan secara langsung. “Kalau Twitter aku susah balesinnya, kalau di Ask.fm bisa langsung dijawab terus bisa anon juga. Sempat ada yang nanya aneh-aneh, tapi aku sering off-anon biar yang nanya harus keliatan namanya, seru sih Ask.fm.” ungkap pemilik akun nasmarcella di situs tersebut.

img_8495

Beside the occasional haters, enam tahun berkarier di entertainment, Nasya tampaknya telah cukup merasakan manis-pahitnya industri ini. Ia menyukai fakta jika lewat kariernya ia bisa bertemu dengan banyak orang dan menambah pengalaman, di samping tentunya memiliki penghasilan sendiri sehingga tidak harus merepotkan orangtuanya lagi, walaupun ia sepenuh hati sadar jika ada beberapa hal yang harus dikorbankan untuk meraih itu semua. “Ya aku jadi korbanin pendidikan. Dulu pas mulai sinetron ambil home schooling biar tetap sekolah tapi ambil jalan tengahnya, sekarang juga belum sempat kuliah. Waktu juga terkuras karena syuting. Jadwal di entertainment kan nggak tentu ya, kalau kerja kantoran kan udah tetap Senin sampai Jumat, tapi ini hari Minggu suka ada kerjaan juga jadi kadang-kadang nggak bisa ke gereja atau ke acara keluarga. Orang-orang sekitar aku jadi susah bikin janji, aku jadi nggak enak tapi kalau bisa nyusul aku pasti nyusul, misal ke acara keluarga atau ketemu temen,” bukanya dengan jujur dan tanpa pretensi.

Untuk urusan kuliah, Nasya mengaku jika beberapa jurusan yang menjadi pertimbangannya adalah Psikologi dan Komunikasi, namun jika ditanya soal passion, ia sebetulnya ingin belajar soal makeup and beauty dengan serius. Well, saat ini ia memang tidak hanya menjadi brand ambassador bagi Emina, beberapa bulan belakangan ia pun sibuk mengembangkan bisnisnya sendiri di bidang beauty, yaitu label fake eyelashes dengan nama Enlashes yang dijual secara online. “Aku memang suka makeup dan dandan, aku udah jadi brand ambassador makeup juga terus aku mikir apa lagi yang masih relate, ya udah akhirnya bulu mata, iseng-iseng dan menurut aku kalau bulu mata untuk penyimpanannya nggak perlu sampai yang punya gudang, kalau misalkan nggak laku juga aku santai aja, soalnya bulu mata kan nggak terpengaruh sama trend. Kalau jualan baju pasti ada trend kan, ini project santai banget untuk waktu luang aja,” tukasnya.

Dengan interest khusus pada makeup and beauty, ia juga percaya diri untuk merias wajahnya sendiri sebelum syuting dengan skill yang ia dapat dari menonton para beauty blogger favoritnya seperti Michelle Phan dan Peary Pie. “Kalau menurut aku makeup mereka cocok karena nggak terlalu tebel tapi variasinya banyak. Terus mereka Asian juga, jadi lebih bisa relate untuk contoh warna makeup-nya. Beauty Icon aku itu Michelle Phan karena dia keren terus orangnya keliatan ulet kerjanya, dia bisa sukses dari blogger jadi entertainer juga, bikin buku, terus kerjasama sama brand kosmetik terkenal juga,” paparnya dengan excited saat berbicara soal subjek favoritnya tersebut.

img_9564

Untuk urusan personal style, penikmat film bergenre superheroes dan young adults series seperti Hunger Games Trilogy dan The Divergent ini mengaku tidak memiliki gaya khusus untuk mendeskripsikan dirinya. Ia memilih mood untuk menentukan outfit yang ia kenakan walau saat ini ia mengaku lebih menyukai gaya yang simple dengan two piece dan monokromatis sesuai umurnya yang telah beranjak dewasa. No more short pants, dan tentunya mental yang terus berkembang. “Ya, setiap ulang tahun aku kaya lebih ke mindset aja, ini udah umur baru harus lebih dewasa lagi, emang nggak terlalu keliatan banget perubahannya tapi dari dalem aja. Rasanya kaya harus lebih berani, nggak boleh manja, jadi lebih kaya bangun mindset gitu. Terus harus lebih happy. Lebih lega. Be better aja. Pembawaannya dari tahun ke tahun harus punya mood yang lebih bagus lagi.”

Di umur yang hampir 20 tahun sekarang, apakah Nasya sudah mulai memikirkan untuk menjalin hubungan yang serius? Saya memancingnya dengan pertanyaan seputar Valentine’s Day. “Jomblo nih, jadi nggak ngerayain Valentine, haha! Paling sama keluarga aja, aku suka kasih bunga ke mama. Kalau kemarin-kemarin sebetulnya belum boleh pacaran karena masih sekolah, sekarang sih sebetulnya udah boleh, tapi belum ada juga, hehe,” ucapnya dengan agak tersipu. Sosok seperti apa yang dicari olehnya? “Carinya yang seagama aja, orangtua pasti ingin anaknya sama yang seagama, terus kalau bisa yang nggak kerja di entertainment juga. Kalau maunya orangtua sih kaya gitu, kalau aku sendiri  sebetulnya nggak terlalu ngerti yang gitu-gitu karena nggak banyak pengalaman juga, tapi kalau kata orangtua sebaiknya seperti itu. Jadi ya udah ikutin aja. Sama yang lebih dewasa sih yang pasti secara pemikiran,” tandasnya mantap.

Walaupun telah mengantungi berbagai profesi mulai dari aktris, model, brand ambassador hingga beauty entrepreneur, rasa penasaran untuk mencoba hal-hal baru dalam dirinya tampaknya belum bisa terbendung. Ia membocorkan keinginan untuk menambah resumenya lagi. Yaitu? “Aku belum pernah nge-host! Aku punya beberapa teman yang jadi MC terus keliatannya seru banget, aku juga jadi pengen coba, tapi belum ada kesempatannya aja. Dan kayanya memang harus punya karakter sendiri, kalau jadi MC mungkin aku jadi bawel sih jatuhnya, haha!” Bebernya.

Hampir satu jam telah berlalu, wajahnya sudah selesai dirias dan ia pun bersiap berganti baju untuk first look yang akan ia kenakan. Untuk menuntaskan obrolan kami, saya meminta Nasya untuk mengutarakan keinginan dan targetnya untuk tahun 2016 ini. Dengan mata yang membulat jenaka, ia pun membuka mulutnya untuk menjawab. “Di tahun ini… Aku ingin sukses antara sinetron atau film. Mungkin harus memilih salah satu karena kalau dua-duanya nggak mungkin deh. Sama bisnis bulu mata ini bisa jalan dan ada kemajuan. Sama dapat pacar kali ya? Haha.” Well, it’s her coming of age days after all and it looks as bright as her eyes.

img_9811

Foto oleh: Hilarius Jason.

Styling oleh: Andandika Surasetja

Makeup artist: Virry Christiana

Hair stylist: Jeffry Welly

Asisten Stylist: Kanishka Andhina

Lokasi: TM Studio

A Copy of Her Mind, An Interview With Tara Basro

REX_6694

It takes more than luck to stay in the highly competitive movie biz, dan dengan kematangan skill serta repertoire peran yang kian membubung, Tara Basro telah menemukan spotlight tersendiri baginya dalam industri ini, and it’s getting brighter all the time

Disclaimer: Artikel ini diambil dari NYLON Indonesia November 2015 tanpa proses penyesuaian dengan keterangan waktu yang telah lewat.

Tara Basro always have a special spot in my heart. There, I said it. Tidak hanya karena sosoknya yang terus mencuri perhatian dalam setiap project yang ia kerjakan, tapi juga karena pribadi di balik layarnya yang tetap down to earth dan apa adanya, tak peduli sejauh apapun ia telah melangkah. Di hari Jumat menjelang akhir Oktober lalu, sama seperti pertemuan-pertemuan sebelumnya, Tara datang seorang diri ke lokasi pemotretan tanpa ditemani manajer, asisten, atau entourage lain seperti artis pada umumnya. Mengenakan jumpsuit berpadu sneakers, aktris cantik bernama lengkap Andi Mutiara Pertiwi Basro ini terlihat effortlessly chic dan santai. Wajahnya yang tersenyum ramah dibingkai oleh rambut hitam yang baru dipotong pendek dengan model bob yang fresh dan mempertegas feature wajahnya: high cheekbones, mata sayu nan sensual, dan kulit sawo matang yang glowing. Semua hal yang membuat dirinya terlihat stand out dan kerap membuat “eksotis” sebagai adjektiva yang melekat padanya, sesuatu yang membuatnya berjengit, as we will talk about it later.

REX_6907

“Lagi sibuk istirahat,” ujar Tara membuka interview ini. “Soalnya dari awal tahun ini aku sibuk dari mulai promosi film terus lanjut syuting film lainnya, traveling, dan kebanyakan di luar kota, jadi sekarang lagi beristirahat akhirnya,” sambungnya sambil membiarkan wajahnya mulai dirias. Well, jika ada orang yang berhak memiliki time out untuk beristirahat setelah bekerja keras sepanjang tahun, Tara adalah orangnya. 2015 memang telah menjadi tahun yang exceptionally busy untuk dara satu ini. Tak lama setelah aksinya sebagai pendekar wanita di Pendekar Tongkat Emas akhir tahun lalu, kita telah melihatnya di Filosofi Kopi sebagai sexy assistant yang walaupun bukan termasuk peran utama tapi berhasil membuat hati penonton berdegup kencang dalam setiap scene-nya. Setelah menyelesaikan film surealis garapan Ismail Basbeth berjudul Another Trip to the Moon yang masuk ke International Film Festival Rotterdam, ia pun langsung terjun dalam syuting A Copy of My Mind, film terbaru Joko Anwar di mana ia dan Chicco Jerikho bersanding sebagai pemeran utama.

ACOMM

            Dengan teaser poster yang menampilkan Tara dan Chicco sebagai pasangan yang dimabuk cinta, gampang bagi orang untuk mengiranya sebagai film drama romantis. But we’re talking about Joko Anwar’s work here, so basically, walaupun film ini memang mengedepankan relationship antara sepasang anak muda Jakarta, namun dengan adanya plot twist dan grand scheme tentang sisi gelap dunia politik dan industri pembajakan film, A Copy of My Mind jelas bukan cerita cinta biasa.“Yes, there’s a little bit about politics. Tapi Bang Joko mau film ini bisa dinikmati semua orang, bukan orang Indonesia doang dan akhirnya di-package dalam romantic film. It’s like a time capsule, kalau orang mau lihat Jakarta di tahun 2015 seperti apa ya seperti di film ini, walau orang nggak tinggal di Jakarta dan nggak tau what’s going on di Jakarta pun masih bisa relate,” tutur Tara.

            Sambil mulai melahap pisang yang ia bawa sendiri dari rumah, Tara pun menceritakan lebih lanjut soal perannya sebagai seorang pekerja salon bernama Sari di film ini. “She’s very… Orangnya sangat cuek. Karakter Sari dan Alek, mereka menggambarkan karakter anak-anak muda di Jakarta yang sebenarnya tidak peduli dengan politik sama sekali, they don’t care what’s going on outside, tapi bagaimanapun juga, walau dua karakter ini tidak peduli dengan politik, hidup mereka tetap terpengaruh. Jadi gue rasa banyak anak muda yang masih seperti itu, I think gue bisa merasa dekat dengan karakter Sari ini karena bisa dibilang tahun-tahun sebelumnya I’m also like that, gue yang sangat pesimis and I don’t wanna get involved with politics at all, karena rasanya kaya lo menggebu tapi percuma, but now I think sekecil apapun input kita pasti akan berguna,” paparnya. Lantas, apakah setelah film ini ia menjadi antusias soal politik? “Not really, I’m chillin’,” tampik Tara dengan senyuman kecil, “Tapi misalkan dari hal-hal kecil kaya yang lo lihat di sekitar lo misalkan dengan sesimpel buang sampah pada tempatnya, I know it has nothing to do with building your country tapi mulai dari self-awareness seperti itu dulu deh,” tandasnya.

            Dengan waktu syuting hanya 9 hari dengan cast yang bisa dihitung dengan jari, skill akting Tara jelas dituntut secara maksimal di film ini, terutama ketika harus syuting secara diam-diam di sebuah tempat pembajakan DVD di Glodok. “I never see so much DVD in my life, DVD bajakan semua, mereka bikin packaging-nya and everything. Tadinya kita minta izin tapi nggak dikasih, akhirnya kita diam-diam, itu rasanya kaya lo bisa aja tiba-tiba dikarungin, terus diculik nggak balik-balik, serem banget kaya suicide mission. Yang megang kamera gantian Bang Joko sama DOP-nya, jadi kita sok-sok lihat DVD tapi kalau dilihat footage yang nggak dipakai, kebanyakan muka gue udah pucat banget dan kaku,” ceritanya sambil menunjukkan ekspresi pura-pura takut. Undercover shoot aside, yang tak kalah menantang adalah membangun chemistry dan beradegan intim dengan lawan main.“Chicco is great,I love working with him, karena dari awalnya kita juga teman dan sering ngobrol jadi ketika harus bangun chemistry dengan Chicco pun everybody can relate about feeling love, find someone that you love dan melihat sesuatu bisa diperjuangin untuk orang ini,” tukasnya sebelum melanjutkan, “Yang gue suka dari kerja dengan Bang Joko adalah dia memang membangun karakternya sangat matang, he would do interviews dengan gue sebagai Sari. Misalkan dia akan pura-pura jadi polisi terus Sari ditilang, kira-kira Sari akan ngomong apa di kondisi itu? Jadi mau nggak mau ya rasanya udah kaya jadi karakternya, jadi begitu kita syuting, its more like capturing moment.”

Kerja keras mereka terganjar dengan terpilihnya A Copy Of My Mind menjadi official selection di kategori Orrizonti di 72nd Venice International Film Festival tahun ini. Bulan September lalu, Tara pun bertandang ke Italia untuk mempromosikan dan gala premiere film tersebut di mana ia berjalan di red carpet dengan memakai rancangan Jeffry Tan. “Aneh aja dengar orang Itali manggil-manggil nama gue, haha!” kenangnya terbahak.“Tapi seru sih, deg-degan juga karena belum pernah jalan di red carpet segede itu kan, apalagi orang-orang tau soal film lo. Senang banget pas di sana orang-orang sangat antusias nonton filmnya, tadinya gue nggak menduga orang akan sesenang itu sama filmnya, terharu aja rasanya, kaya pas lagi jalan ada orang yang nyamperin dan bilang ‘I’ve seen your film! It’s so good, thank you so much for making it!’ jadi rasanya pasti senang lah, dari awal bikin filmnya juga karena suka dan yang bikin juga memang senang sama karyanya sendiri, jadi gue sangat berterimakasih banget sama yang nonton karena bisa appreciate dengan apa yang kita kasih. Itu jadi humbling experience juga karena orang-orang di sana sangat passionate dengan film dan pekerjaan mereka, jadi gue merasa kaya I wanna do something bigger, I wanna do more. Malah kaya ah gila, I’ve done nothing rasanya,” ungkapnya bersemangat.

Selain di Venice, film ini juga telah ditayangkan di festival film internasional di Toronto dan Busan. Publik Indonesia sendiri masih harus bersabar karena film ini direncanakan baru tayang di dalam negeri sekitar Februari tahun depan. Meanwhile, sembari menunggu, kita juga bisa melihat aksi Tara di proyek Joko Anwar lainnya, yaitu serial televisi Halfworlds yang diproduksi HBO Asia. Dalam serial action thriller berbumbu mitologi Indonesia ini, Tara menjadi bagian ensemble cast dari aktor-aktris Indonesia paling menarik saat ini. “Halfworlds sangat seru soalnya cast-nya banyak dan isinya banyol semua jadi proses syuting sangat menyenangkan and I think its a fun story juga. Yang seru,it was the first time for me to working in the studio karena sebelumnya kan selalu real set, kemarin set beneran cuma beberapa, sisanya di studio semua jadi gue kaya ‘Wow this is actually pretty awesome’, you working in very controlled environment kaya lo nggak harus peduli ada tukang bakso lewat untuk break syuting, its kinda nice, but at the same time, you also miss the energyand spontanity,” jelas Tara tentang proses syutingnya yang berlangsung di studio di Batam. Dalam serial ini, Tara kembali berpasangan dengan Reza Rahadian sebagai bad ass duo. Kalau di Pendekar Tongkat Emas mereka menjadi sepasang pendekar culas, kali ini mereka menjadi sepasang Bonnie and Clyde kinda characters dengan kekuatan Demit dan adegan laga yang seru. Menyoal bagaimana seringnya ia dipasangkan dengan Reza, dengan berseloroh ia menjawab: “I love working with him, he’s such a good actor and I learn a lot from him, jadinya kaya udah sahabatan tapi lama-lama kaya yang ‘Can I be someone else’s girlfriend, please?

REX_6736

Harapannya terjawab di film Tiga Srikandi di mana Tara kembali satu film dengan Reza namun kali ini tanpa embel-embel asmara. Berlatar tahun 80-an, film karya Iman Brotoseno yang juga dibintangi oleh Chelsea Islan dan Bunga Citra Lestari tersebut mengangkat kisah nyata tiga srikandi dari tim atlet panahan Indonesia yang berlaga dan memenangkan medali perak di Olimpiade Seoul tahun 1988. Demi perannya, Tara pun belajar memanah selama tiga bulan.”Awalnya gue pikir panahan is gonna be very monotone, tapi pas dilakuin ternyata bikin emosi karena you know you could hit the target. Panahan itu soal konsistensi, kalau posisi tangan berubah sedikit aja, pasti hasilnya beda, jadi setiap manah posisi lo harus sama, tapi seru sih, I love it,” paparnya soal film yang akan ditayangkan akhir tahun ini.“Dari film ini gue juga pengen bangun awareness karena kita butuh regenerasi, nggak hanya soal atlet tapi aktor juga perlu ada regenerasi, I think semuanya sih, semua orang yang bekerja di bidangnya harus punya tanggung jawab untuk pass on ilmunya,” pungkasnya.

Berhadapan dengan Tara membuat memori saya kembali ke tahun 2011 ketika saya baru mulai berkarier di media dan bertemu Tara untuk pertama kalinya saat ia dan cast lainnya dari Catatan (Harian) Si Boy datang ke kantor NYLON. Looking at her right now, saya tidak bisa mengesampingkan perasaan kagum melihat bagaimana sosok girl next door pemalu dan pendiam yang saya temui empat tahun lalu telah menjelma sebagai aktris muda berkaliber yang dengan begitu eloquent bercerita soal passion-nya di dunia film. “That was my first film, I was a baby…Its crazy, nggak kerasa nggak sih?” tanyanya retoris. 12 film panjang dalam kurun waktu lima tahun adalah pencapaian impresif bagi seseorang yang mengaku terjun di film karena “tercemplung” tanpa basic akting sebelumnya. Just like a baptism with fire, bakat mentah dalam dirinya terus terasah secara natural di setiap judul film yang ia bintangi. “Dari akting I learn so much, especially about myself karena selama ini gue melihatnya selalu keluar tapi karena akting, I have to switch untuk lebih melihat ke dalam diri gue sendiri kaya ‘How can I be more sensitive?’, karena gue lumayan ignorant kan, tapi di akting you have to pay attention to detail, so I love my job, its the best job.”

Tak banyak yang tahu jika sebelum mencapai titik ini rejection adalah hal yang cukup akrab bagi seorang Tara Basro yang sempat tidak percaya diri dengan penampilannya. “I think I’m being a little hard to myself sometimes,” ujarnya pelan. “I had difficulties because of my skin tone, apalagi dulu rambut gue cepak, sekarang juga pendek sih tapi dulu lebih pendek lagi, dulu masih di highschool, kerjanya ya di bawah matahari terus jadi udah butek, item, rambutnya pendek, terus orang-orang kaya yang ‘Umm, we’re looking for someone with lighter skin and longer hair’ gitu, jadi untuk gue bisa masuk ke film setelah gue putus asa dengan casting segala macem, it was such a blessing,” kenangnya. “Tapi perjuangan nggak berhenti di film pertama, it was a good film untuk film pertama tapi setelah itu perjuangannya gue bisa berbulan-bulan nggak kerja, doing nothing, sementara my mom and dad mulai ngomel-ngomel di rumah kaya ‘What are you doing? You’re not doing anything!’ haha, gue kaya yang ‘Just be patience, okay…’ Haha. It was really tough, jadi walaupun sekarang gue belum ada di posisi yang gue impikan, tapi to be here right now it took a lot of hard work, banyak patah hati segala macem, I learn a lot of things dengan cara yang lumayan harsh, but here I am, surviving.”

Lucunya, di umurnya yang kini menginjak 25 tahun, kulit sawo matang yang dulu seolah menjadi ‘kutukan’ tersendiri baginya sekarang justru menjadi ciri khas dan daya tarik istimewa dalam dirinya. Sulit mencari artikel tentang Tara yang tidak menyelipkan kata “seksi” dan “eksotis” untuk mendeskripsikan dirinya. Namun, saya selalu penasaran bagaimana sebetulnya perasaan Tara soal julukan “eksotis” tersebut. “I have mixed feeling about that word,” akunya, “Apalagi kalau misalkan ada orang yang bilang ‘Mukanya Indonesia banget ya?’ Gue kaya yang ‘What exactly is muka Indonesia?’ Muka Indonesia kan beda-beda, kalau di Korea masih mending ya, karena everybody’s white, tapi kalau di kita kan beda-beda, ada yang orang Manado, ada orang Papua, ada Sulawesi, NTT, semuanya beda-beda. Kalau dibilang eksotis pun gue masih bingung, is it because of my eyes or my skin? But I take it as compliment, but it makes me cringe every time I hear,“ ungkapnya.

REX_6454

“Gue pengen generasi muda untuk more brave, more loving, and forgiving,” ujar Tara dengan mimik serius. “Sampai sekarang gue masih mencoba raise awareness untuk generasi muda to take care of themselves karena awalnya I deal with a lot of insecurities kaya misalkan, maybe I’m not pretty enough, not skinny enough, my skin is not flawless enough, udah coba berbagai macam cara, udah ke dokter muka segala macem, yang pada akhirnya all those side effects gue rasain di umur gue yang 25 tahun ini. Like oh my God I’ve been so selfish, pengennya semuanya perfect padahal dengan gue yang sekarang ini udah cukup. Those beauty stuff… Its harming, mungkin sekarang nggak ngerasain apa akibatnya tapi later on itu bakal kerasa and you will regret it, jadi gue pengen as someone yang bisa dibilang public figure, I feel like I have some responsibility untuk try to educate, mungkin not for everybody tapi ke orang yang mungkin look up to me. But in the end of the day, nobody could love you unless you love yourself first.”

Semua yang terlontar dari bibirnya jelas bukan sekadar empty words tanpa aksi. Cara Tara mencintai dirinya sendiri adalah dengan menghindari zat-zat yang berbahaya bagi tubuh. Ia termasuk konsumen yang rajin membaca nutrition fact dalam setiap produk yang ia gunakan dan cukup familiar dengan istilah-istilah yang asing bagi orang awam. Ia juga mengaku sekarang ini lebih tertarik pada hal-hal yang berbau kesehatan dan mengungkapkan keinginan untuk belajar ilmu nutrisi di samping belajar bahasa asing, khususnya French, mengingat waktu kecil ia sempat tinggal di Prancis. “I go to the gym a lot,” ucap Tara tentang caranya menjaga kesehatan di antara jadwal yang sangat padat. Sempat belajar wushu untuk syuting Pendekar Tongkat Emas, saat ini Tara masih rutin yoga, weight training, dan Muay Thai. “Pokoknya masa-masa istirahat ini yang gue maksimalin adalah olahraga karena kalau syuting apalagi di luar kota kaya udah nggak punya waktu. I’ll be in my best mood after workout, meskipun capeknya kaya apa tapi tetap sangat menyenangkan. Selebihnya mungkin baca buku and keep in touch with my family, karena makin lama makin jarang ketemu karena kerjaan,” lanjut anak perempuan satu-satunya dari tiga bersaudara ini. Buku apa yang sedang dibaca Tara belakangan ini? “Sekarang lagi baca Conversations with God, right now gue lagi banyak baca buku yang lebih spiritual karena working in this industry, its little hard to find yourself karena kadang-kadang kalau lanjut dari satu karakter one to another itu kadang-kadang I get lost sometimes, I love to read books to feel relax and better about myself.”

            Sejalan dengan hobi berolahraga, Tara yang lebih nyaman dengan gaya kasual adalah penggemar sneakers.“People think I started to have problem karena right now at my place, I’m sleeping with my sneakers karena udah kebanyakan gitu, dan kalau ada acara gue kaya yang ‘I don’t have any shoes! I don’t have any heels!’ Haha! I wish I could wear my sneakers with dresses, tapi ya gitu, gue udah mulai dimarahin kaya disuruh stop beli sneakers,” kisah penggemar Adidas dan Vans yang hobi berburu sneakers baik di eBay maupun saat keluar negeri dan saat ini sedang menunggu pesanan Adidas Ultra Boost warna putih incarannya tiba.

            Mind, body, and soul. Keseimbangan ketiganya tak akan lengkap tanpa adanya cinta dan ketika menyinggung topik itu, Tara mengaku dirinya adalah seorang hopeless romantic yang gemar menonton film rom-com sebagai guilty pleasure-nya. “Its easy for me to fall in love with someone because I wear my heart on my sleeve,” ujarnya tersenyum. “I dunno if you’re notice or not, but every girl is a psycho in different ways. I feel like kalau pacaran itu tentang mentolerir kekurangan orang lain, you need someone you can trust and accept you whoever you are, at the end of the day itu yang harus lo hadapi for the rest of your life. Karena if you wanna change somebody I don’t think its possible.” Kualitas apa yang biasanya dicari Tara for potential lover? “Sense of humor, caring, initiative, and good taste in music… Itu parah banget,” jawabnya cepat. Wait, jadi Tara termasuk yang menilai orang dari selera musiknya? “Of course I do! Apalagi kalau lagunya udah nggak nyambung itu kaya yang aah… Gue pernah pacaran sama orang, he doesn’t listen to music, can you imagine? Gue kaya yang ‘Are you serious?’ Jadi kalau di mobilnya ya kalau nggak radio ya diam, sedangkan gue yang tipikal langsung blasting the music!” ungkap penggemar Brandy, Jordan Rakei, dan Hiatus Kaiyote ini. Khusus nama terakhir, ia rela terbang ke Kuala Lumpur untuk menonton konser kuartet soul asal Melbourne tersebut dan dengan semangat menyebut Hiatus Kaiyote sebagai dream wedding band-nya, dengan catatan kalau ia tidak bisa mengundang Beyoncé untuk tampil di dream wedding-nya.

            True to her confession as hopeless romantic, di balik persona yang terlihat cuek, Tara ternyata punya dream wedding versinya sendiri. “Are you sure you wanna go there? Because we will have two hours talk, haha!” candanya saat saya bertanya soal pernikahan impiannya.“My dream wediing would be outdoor. I would love to have Latin music, all white, very intimate… Apalagi ya? Nggak tau, gue kalau dilamar aja kayanya udah senang, haha!” jawabnya. Ketika ditanya apakah itu artinya Tara sudah serius memikirkan soal getting married and settled down, dengan kerlingan mata yang kadang terlihat jahil, ia menjawab, “Ready or not, you just have to jump. Kalau ditanya ‘ready’ sih iya, tapi kalau ditanya ‘rela’jawabannya belum, karena I still want do something more.

            Dengan sederet peran dan proyek seru yang sudah ia jalani, apa lagi yang ingin dikejar Tara? “Sebenarnya gue pengen banget kerja bareng Dimas Djay, tapi sayangnya dia udah nggak mau bikin film lagi kayanya. Atau Gareth Evans. I wanna do musical, tapi musical itu harus sangat hati-hati ya, jangan sampai tiba-tiba pas nonton nanti orang malah kaya ‘What?I enjoy singing, strictly di kamar mandi or in a car, but yeah I love to explore music more if I have the chance, tapi kalau if I ever do music, its gonna be something yang bukan buat jualan sih, buat kesenangan gue aja,” tandasnya. Di samping berbagai proyek yang sudah dipaparkan di atas, Tara juga terlibat dalam Flutter Echoes and Notes Concerning Nature, film garapan Amir Pohan yang mengangkat environmental issue dan masih dalam tahap post-production, di samping beberapa film yang masih tahap in consideration untuk tahun depan. Untuk sekarang, Tara hanya ingin menghabiskan akhir tahun dengan beristirahat. “Capek banget, karena semua project gue belakangan ini udah physical. Gue capek dengan semua begadangnya .I just feel I need to respect and listen to my body more, karena selama ini badan gue kaya pengen ngomong ‘I’m tired’ But I keep ignoring it, so I think I deserve a break, lagian biar orang nggak bosan juga lihat gue terus. I’m excited karena akan ada beberapa project yang keluar and I’m curious tanggapan orang akan seperti apa,” pungkasnya dengan nada optimis.

REX_6563

Fotografer: Raja Siregar

Stylist: Patricia Rivai.

Makeup Artist: Marina Tasha

Hair Stylist: Jeffry Welly (Studio 47)

Million Dollar Baby, An Interview With Chelsea Islan

Dengan talenta yang kian terasah dan komitmen penuh di dunia seni peran, Chelsea Islan telah merekah sebagai seorang aktris dan pekerja seni yang mumpuni, sekaligus bintang baru paling bersinar saat ini.

IMG_9334

Dress oleh Argyle & Oxford, coat oleh Zara

Chelsea Islan bersandar di dinding sambil sesekali tertawa renyah dan secara refleks menyipitkan matanya serta membetulkan poninya yang tertiup angin. Effortlessly quaint seperti Audrey Hepburn di film Roman Holiday, ia menggenggam setangkai bunga matahari berwarna kuning sempurna yang terlihat kontras dengan coat merah yang ia kenakan. Bunga matahari tersebut juga seolah mewakili gadis cantik yang memegangnya itu sendiri: vibrant, full of life, dan dengan mudah menginjeksikan semangat bagi setiap mata yang memandangnya. It’s a blooming time indeed, metaphorically speaking.

Ini bukan kali pertama paras manis gadis bernama lengkap Chelsea Elizabeth Islan tersebut muncul di majalah NYLON. Kami telah memotret profilnya dalam edisi It Girl di November 2013 lalu sebagai aktris muda yang baru mulai meniti karier di dunia film setelah sebelumnya telah lebih dulu menjadi seorang model remaja. Saat itu ia baru saja merampungkan film debutnya, Refrain, yang juga dibintangi oleh Maudy Ayunda dan Afgansyah Reza. Meski hanya supporting role, namun perannya sebagai Annalise di film itu berhasil membuat publik penasaran mengenal sosok gadis kelahiran New York tersebut lebih dalam lagi.
Disambung film Street Society di awal 2014, berbagai iklan komersial, menjadi brand ambassador dan aktif di berbagai isu sosial, popularitasnya terus menanjak sepanjang tahun 2014 lalu, khususnya ketika ia menjadi bintang serial sitkom Tetangga Masa Gitu? di Net TV yang membuahkan mainstream popularity baginya. Rasanya, kini hampir semua orang telah mengenal nama Chelsea Islan sebagai bintang pendatang baru yang menuai banyak pujian berkat kiprah dan image positif yang melekat pada dirinya. She’s been on high demand, baik di dunia film maupun dunia media yang berlomba menampilkan dirinya. Tak terhitung banyaknya request yang masuk ke redaksi untuk meminta Chelsea muncul sebagai cover kami, and obviously it’s just a matter of time. But of course, we save her for the best moment, which is to grace our 4th Anniversary cover.
Setelah beberapa kali bertukar pesan di Whatsapp dan email, kami berhasil mencocokkan jadwal pemotretan di suatu Rabu di awal Desember silam. Bila di pertemuan kami sebelumnya Chelsea masih datang sendirian tanpa ditemani siapapun, kali ini ia telah memiliki manajer dan asisten untuk membantunya mengatur jadwal yang terus memadat. Hari itu saja kami hanya punya waktu sekitar 4 jam untuk merampungkan pemotretan karena ia telah memiliki jadwal taping di sebuah talkshow sesudahnya. Ia datang dengan wajah bersih dari riasan apapun dan dengan senyuman hangat menyapa tim pemotretan. Setelah saling bertukar kabar, tanpa membuang waktu, kami pun segera berbincang setelah sebelumnya ia dengan penuh kesadaran meletakkan teleponnya dalam tas agar bisa lebih fokus bercerita.

The first question tentu saja menyoal kesibukannya akhir-akhir ini. Kesan yang saya ingat dari Chelsea masih sama seperti perbincangan kami setahun sebelumnya, ia sangat passionate dan begitu eloquent (if not even getting better) ketika diajak berbicara soal kariernya. Seperti yang sudah disebut, selain daily activity berupa syuting Tetangga Masa Gitu? (TMG) yang sudah mencapai season kedua dengan 120 episode lebih, Chelsea baru saja merampungkan berbagai project film yang menarik. Yang paling awal rilis adalah Merry Riana: Mimpi Sejuta Dollar, sebuah film biopik di mana Chelsea mendapat peran utama sebagai the eponymous Merry Riana, seorang motivator, penulis, dan pengusaha Indonesia yang inspiratif.
Diangkat dari buku biografinya yang berjudul A Gift From a Friend, film ini menceritakan kisah perjuangan Merry Riana, seorang gadis berdarah Tionghoa yang mengungsi ke Singapura ketika peristiwa 98 pecah. Di sana, dengan membawa uang sangat minim ia berhasil diterima sebagai mahasiswi di Nanyang Technological University walau harus berhutang sebanyak 40 ribu dolar Singapura. Usahanya dalam membayar hutang dan bertahan hidup di negeri orang dengan bekerja keras dari mulai kerja serabutan hingga bermain saham pun membuahkan hasil. Tahun 2007, kisah perjuangannya mencapai sukses diliput oleh harian The Strait Times dengan judul “She’s made her first million at just age 26”, sebuah cerita penuh motivasi dan inspiring yang sayangnya mungkin masih banyak orang yang belum tahu, termasuk Chelsea sendiri sebelum ia terlibat dalam project ini.
“Ceritanya itu dari Januari 2014 aku udah ditelepon oleh pihak Dapur Film, komunitas filmnya Mas Hanung Bramantyo untuk ditawarin main film ini, awalnya aku emang nggak tau itu film tentang apa, kisahnya siapa, based on what, jadi pertama-tama aku masih yang ‘Oh oke, coba kita atur jadwalnya.’ Akhirnya aku dateng terus langsung ketemu sama sutradaranya, Mas Hestu Saputra. Ngobrol, terus dia bilang ‘Kamu harus ambil film ini nih,’ Awalnya aku nggak punya bayangan bagusnya seperti apa. Jadi aku baca skripnya dari awal sampai akhir dan aku kaya ‘Okay, I should buy the book first, baru aku balik lagi untuk kasting.’ Aku baca bukunya sampai selesai abis itu aku search Merry Riana di YouTube dan keluar banyak banget ternyata, pas dia di Singapura, pas jadi pembicara di seminar, jadi ternyata dia itu emang sosok motivator dan sosok inspiratif bagi anak muda dan untuk orang dewasa juga, dari situ aku langsung ‘Wah ini keren banget,’ Kaya one day aku juga pengen jadi someone yang inspiring untuk anak muda dan orang di sekitar. Ini one of the dreams yang sebenarnya aku pengen, main di film yang inspiring, nah setelah ini aku langsung oke, aku akhirnya casting,” ungkap Chelsea tentang film ini.
Nama Chelsea bukan satu-satunya yang dikasting untuk peran ini, ada banyak kandidat lainnya baik sesama pendatang baru maupun yang sudah lebih senior, namun dengan banyak support, ia berhasil mendapat peran ini. “I was nervous juga karena kastingnya sendiri memang dilakukan dengan profesional. Nunggu kabar sampai akhirnya bulan Maret dipanggil ke MD Pictures, ketemu Pak Manoj Punjabi, ngobrol, terus dia bilang ‘You should take this movie,’ semuanya kaya bilang gitu terus aku juga berpikir mungkin Tuhan memang memberikan film ini untuk aku, ya kan menurut aku coincidence itu nggak ada, sebetulnya semua udah diatur sama yang Di Atas, dan kita dipertemukan sama orang-orang yang akan kita kerjasama, aku kaya ‘Okay, mungkin ini something that I have to do, okay I’m taking this movie.’”

IMG_9598

Dress oleh Monday to Sunday, sepatu oleh Dr. Martens.

Praktis, sepanjang tahun lalu Chelsea fokus di film yang juga dibintangi oleh Dion Wiyoko dan Kimberly Ryder tersebut. Berperan dalam biopik dengan pesan yang kuat, Chelsea mengaku banyak mendapat hal positif dalam pembuatannya. “This is something new yang belum pernah aku coba, karena film ini mengangkat sosok inspiring dan banyak orang berharap sama dia. Untuk menjadi dia I really had to work hard dan ini bukan hal yang gampang. Tapi sejak memainkan peran ini aku juga jadi positive thinking banget. Aku jadi merasa bersyukur karena nggak ada second chance lagi untuk main di film seperti ini. Dan dari mbak Merry aku juga belajar banyak sekali, kan kita banyak one on one discussion-nya sebelum syuting, kita lunch, dinner bahkan ke gereja bareng, dan yang main di film ini kebetulan semua seiman juga, jadi mbak Merry memberikan kita rosario merah dari Jerussalem dan masih ada di tas aku sampai sekarang,” ungkapnya sambil tersenyum. “Aku pengen dia bangga sama film ini, karena ini kan film tentang dia, kehidupan dia, struggle-nya dia sebagai seorang perempuan sendiri di negara orang lain dan dia bisa sukses. Nothing is impossible, dia aja bisa kenapa kita nggak bisa? Dan Mbak Merry selalu memotivasi aku jadi aku juga tambah giat. Seru banget,” tandasnya.
Terlibat dalam kegiatan dan gerakan dengan isu positif sama sekali bukan hal baru bagi Chelsea, bahkan sebelum ia menjadi public figure. Kampanye anti bullying, breast cancer awareness, dan Hari Aids Nasional adalah segelintir di antaranya. Baru-baru ini Chelsea juga berpartisipasi dalam gerakan Indonesia Menari yang mengajak anak muda untuk peduli dan melestarikan budaya dan seni Indonesia. Dibimbing oleh koreografer terkenal Eko Supriyanto (Madonna’s dance mentor!) Chelsea yang telah memiliki basic menari dari kegiatan ballet dan teater di masa sekolahnya menari dengan 1200 peserta lainnya.

So far 2014 itu banyak pembelajaran, banyak experience baru yang aku gali, banyak opportunity, kesempatan baru, nah aku sih berharap di 2015 akan ada banyak lagi opportunity dateng dan mudah-mudahan bisa menginspirasi lebih banyak orang lagi,” ujarnya saat merefleksikan tahun 2014. Apakah Chelsea termasuk orang yang selalu membuat resolusi tahun baru? “Kalau aku sih kadang-kadang. Mungkin untuk tahun ini aku mau kasih resolusi biar terarah tahun depan maunya gimana, karena kan kadang aku masih bingung antara pendidikan atau karier, dan lain-lain. Antara mau lanjut kuliah atau masih karier atau gimana.” Tahun lalu Chelsea sebetulnya sempat mengungkapkan keinginan untuk kuliah Sosiologi namun hal itu urung terlaksana karena 2014 memang menjadi tahun sibuk baginya. Selain Merry Riana, Chelsea pun telah merampungkan dua film bertema sejarah yang tak kalah menarik, yaitu Dibalik 98 dan Guru Bangsa: Tjokroaminoto.
Dalam film Dibalik 98 yang menjadi debut penyutradaraan oleh aktor Lukman Sardi, Chelsea berperan sebagai seorang aktivis dan demonstran di zaman Trisakti sementara dalam film Guru Bangsa: Tjokroaminoto yang disutradarai oleh Garin Nugroho, Chelsea berperan sebagai Yildiz, seorang anak umur 15 tahun berdarah campuran Belanda-Indonesia dengan rambut kepang a la Dorothy Gale dan putri seorang nyai di mana pada masa itu warga blasteran belum memiliki posisi yang melindungi mereka secara jelas di mata hukum. Dari sini kita bisa melihat adanya benang merah dari film-film yang dibintangi oleh Chelsea. Semuanya menceritakan tentang perjuangan dalam berbagai bentuk. “Aku sebetulnya nggak pernah ada spesifikasi sih, tapi aku bener-bener melihat dari moral story dari cerita film itu sendiri,” tukas Chelsea tentang pertimbangannya dalam memilih peran, sebelum menambahkan, “Aku juga ingin main di film action kaya The Raid atau jadi psikopat. Selama ini kan perannya yang baik-baik aja, pengen coba jadi antagonis, sebagai aktor ingn coba semua sih, pengen eksplor lagi,” akunya.

IMG_9474

Kemeja dan oversized biker jacket oleh Argyle & Oxford.

Ada cerita menarik di balik keterlibatan Chelsea dalam film kolosal musikal terbaru Garin Nugroho yang juga dibintangi oleh Reza Rahardian dan Christine Hakim tersebut. Chelsea yang sempat sekolah film di SAE Institute awalnya berniat magang menjadi asisten sutradara untuk film ini, sebelum akhirnya diminta ikut kasting untuk peran Yildiz. “Awalnya kastingnya bukan akting, tapi nyanyi. Yildiz ini ceritanya suka nyanyi lagu Burung Kakak Tua versi anak-anak Belanda. Jadi aku disuruh dateng untuk nyanyi, direkam, terus Mas Garin bilang ‘Oke bagus nih, kita jadi shoot ya, kamu jadi Yildiz,’ terus aku yang ‘Aduh gimana nih? Terus magangnya gimana?’ Jadi itu lucu banget, aku nggak tau deh, nggak nyangka juga, terus aku bilang ‘Oke, ya udah kali ini saya main tapi next time saya magang beneran ya,’ haha,” ungkap Chelsea sambil menyunggingkan senyum.
Dengan persiapan yang sangat minim, Chelsea dituntut untuk bisa akting, menari, dan menyanyi dalam film sejarah yang dikemas dengan unsur musikal seperti Les Misérables ini. “Aku cuma dua minggu udah harus banyak latihan workshop. Diajarin Bahasa Belanda gitu dan Mas Garin tipe yang workshop on the spot, jadi sebetulnya workshop yang kita lakukan sebelum syuting itu hanya pemanasan, tapi real-nya di shooting location di Jogja & Semarang dan itu beda banget. Yang kita latih sama sekali nggak sama dan kita harus langsung siap. Aku yang ‘Oh my God’, ada beberapa gerakan tari yang nggak dikasih tau, harus nari langsung, terus disuruh nyanyi Burung Kakak Tua yang untungnya udah dilatih juga. Aku bukan penyanyi, tapi di sini bukan suara bagus yang dicari, tapi sikap dari karakternya Yildiz sendiri, gimana sih si anak 15 tahun ini nyanyi Burung Kakak Tua dengan lonely sambil ngitung duit,” kenangnya. Di sini, pengalaman teater yang dimiliki Chelsea menjadi penyelamatnya karena ternyata hampir semua pemain di film ini memang mereka yang memiliki pengalaman teater. “Pressure pasti but I feel happy karena bisa melewati tantangan itu, seneng sih bisa berpartisipasi dalam film itu karena aku harus bisa disuruh apa aja. Seperti teater sih sebetulnya, ada improvisasi dan commedia dell’arte, di situ jadi belajar banyak banget sama Mas Garin,” imbuhnya.
Tertunda dari rencana semula untuk di belakang layar, tampaknya Chelsea tak harus menunggu lama untuk bisa mencoba berkiprah sebagai sutradara. Sempat terdengar kabar jika Chelsea akan terlibat dalam proyek film omnibus bergenre horror. “Iya, ada yang nawarin aku bikin film omnibus sama 3 sutradara lainnya, tapi aku masih nggak tau ini jadi apa enggak. Dan aku masih mempertimbangkan karena kalau horror kan harus mateng banget dari efeknya, kalau mau ada hantunya juga jangan sampai bad quality. Aku udah bikin cerita sih, dari 4 sutradara itu genre horrornya beda-beda, ada yang thriller, slasher, psychological thriller, satu lagi kalau nggak salah yang beneran tentang roh. Kalau yang aku psychological thriller, aku bener-bener main di psikologis karakternya, aku pengennya sih ceritanya tentang psikiater. Yang mau aku gali sih moral story-nya, jadi jangan cuma horror aja. Aku mau bikin twist-nya juga, the different side of psychiatrist. Tapi belum tentu bikin sih, masih fifty-fifty tapi kalau jadi aku mau banget.”

Terlibat dalam banyak produksi film dan berbagai kegiatan lainnya yang menguras waktu dan tenaga, Chelsea mengaku lumayan kesulitan mencari quality time untuk diri sendiri. She usually unwind herself with diving, baca buku, dan melakukan treatment (“Aku nggak girly tapi sekali-sekali harus memanjakan rambut,” cetusnya) dan uniknya, serial sitkom Tetangga Masa Gitu? bisa dibilang menjadi kesibukan sekaligus safety net tersendiri baginya. “Tetangga Masa Gitu kalau buat aku lebih ke fun, karena kalau di film biasanya aku milih cerita yang serius, di TMG aku bisa lebih banyak ketawa dan mengeluarkan sisi sehari-hari aku. Actually di situ you don’t have to act tapi udah jadi si karakternya senatural mungkin. Aku udah merasa nyaman dan semua pemain juga udah into character banget.” Dalam sitkom ini, Chelsea berperan sebagai pasangan muda bersama Deva Mahenra yang bertetangga dengan pasangan suami-istri yang sudah jauh lebih berpengalaman yang diperankan oleh Dwi Sasono dan Sophia Latjuba. Chelsea sendiri mengaku tak mengalami kesulitan berperan di wedding life. “Soal wedding life, kita bangun chemistry dan field research dari focus group discussion tentang pernikahan. Untungnya karena karakternya nggak serius banget, mereka sebetulnya kaya masih anak-anak kecil, biar kontras sama yang udah lama nikah. Jadi walaupun udah nikah, bukan berarti mereka udah nggak kekanak-kanakan, tapi justru seru sih kaya stay young gitu,” ujarnya. Apakah bermain di sitkom ini memengaruhi pandangannya soal pernikahan? “Belum sih, jadi benar-benar acting as character and not influences me in real life,” jawabnya lugas.
Baik itu teater, film, maupun serial TV, tampaknya Chelsea sudah mencicipi berbagai medium akting dan belum berniat untuk menghentikan momentumnya. Ia mengungkapkan jika ia sempat berbincang dengan Garin Nugroho untuk membuat pementasan monolog dan ada satu project film berbasis karya sastra Indonesia yang masih tentative untuk tahun depan. Melihat sosoknya yang nyaris tanpa cela tersebut, saya pun penasaran, apa sih mimpi sejuta dolar bagi seorang Chelsea Islan? Ia menjawabnya sambil tersenyum, “Kalau aku hampir sama seperti Mbak Merry sih, aku ingin menginspirasi banyak orang, aku ingin mereka lebih aware sama social dan environment issue. Peduli budaya dan seni Indonesia. Mimpi aku masih banyak, mimpi-mimpi kecil seperti men-direct film, ingin bikin buku, bikin drama musikal. Aku lebih ingin banyak di belakang layar walaupun di depan juga masih ingin, cuma lebih selektif aja,” ungkap Chelsea dengan optimis. “Aku juga belajar untuk tidak cepat puas, itu nomor satu sih buat aku. Jadi belajar terus,” tuturnya menutup interview kami.

IMG_9413Sweater oleh Topshop, celana oleh Monday to Sunday, sepatu oleh Stacatto.

Foto oleh: Michael Cools. Styling oleh: Anindya Devy. Makeup Artist: Ryan Ogilvy. Asisten stylist: Priscilla. Lokasi: Vodka & Latte, Kemang.

Q&A With… Eka Nusa Pertiwi

Tak banyak orang yang berkesempatan di-direct langsung oleh Garin Nugroho untuk film pertamanya, Eka Nusa Pertiwi adalah salah satu dari segelintir nama tersebut. Mahasiswi jurusan Teater di Institut Seni Indonesia Yogyakarta ini merasakan debut layar lebar sebagai tokoh utama di film Mata Tertutup karya Garin yang bertema sosial, politik dan agama.  Selain bermain di berbagai film indie, kini aktris berusia 22 tahun ini sedang menyiapkan pertunjukan teater dari naskah The Lover karya Harold Pinter yang akan digelar di Jakarta dan Jogja bulan November nanti, di mana ia menjadi aktris sekaligus sutradara.


Hi Eka, apa saja kegiatanmu saat ini?

Kesibukanku saat ini masih tetap berkesenian (teater, tari, silat PGB bangau putih). Aku juga sering main film indie di Yogyakarta (Pesan Dari Cinta) yang baru aja menang di Festival LA Light indie movie love story tahun ini sebagai Best Cinematografi dan Favorite movie. (Lovely Husband) juara ke-2 dan sebagai Aktris Terbaik di festival film s-cream6 2012, yang diadakan oleh Fakultas Ekonomi UII Yogyakarta. Rencana 30 Juni 2012 menari di karya ujian akhir koreografi S2 ISI Yogyakarta yang mengangkat kebudayaan Kalimantan “hu dog”. 4 juli 2012 menyutradarai di tugas akhir koreografi S2 ISI Yogyakarta yang mengangkat tentang komunitas “BISSU” di Sulawesi. Dan tangal 9-10 Juli main teater di tugas akhir S2 Teater ISI Yogyakarta. Itulah kesibukanku saat ini. Dan sedang mempersiapkan pertunjukan untuk tahun depan. Pertunjukan tersebut adalah riset tentang S3 Keaktoran. Pertunjukan tersebut lebih menggunakan basic tubuh, sebagai orientasi pertunjukan tersebut yaitu “Butoh” kesenian kontemporer Jepang.

Bagaimana rasanya bermain di Mata Tertutup?

Seneng banget bisa bekerja sama dengan mas Garin. Banyak banget pelajaran yang aku dapat di film tersebut mengenai sosial, politik, agama, akting, menyutradarai dan bagaimana manusia memaknai apapun dalam hidup. Itu yang paling penting, karena zaman sekarang kalau meleset sedikit tentang penafsiran kita tentang apa yang kita baca dan kita maknai, akan fatal akibatnya. Bisa-bisa seperti tokoh yang aku perankan dalam film tersebut, hehe. Sebagai sutradara, mas Garin punya cara berbeda-beda dalam menyikapi aktor/aktris dalam filmnya. Kita sering diskusi tentang hasil adegan yang telah selesai take, di pagi hari sebelum kami akan shooting untuk hari tersebut. Dari sana aku bisa mengevaluasi diriku untuk take selanjutnya. Beliau juga sangat ramah dan akrab kepada semua talent. Kalau bekerjasama dengan bu Jajang, aku kenal nama beliau dari suaminya yaitu Arifin C Noor. Aku suka banget dengan naskah-naskah beliau secara semiotika dan pesan yang ingin disampaikan, keren. Ketika bekerja sama dengan bu Jajang, walau kita nggak ada adegan bareng di film tersebut, tapi banyak pelajaran yang aku dapatkan ketika aku melihat beliau berlatih untuk film ini. Kekuatan akting, energi, power dan pemaknaan beliau terhadap tema yang diangkat, sangat menarik bagiku.

Bagaimana kamu berhasil mendapat peran itu?

Prosesku sampai mendapatkan peran sebagai Rima sama seperti yang lain. Ikut casting, dan apa yang aku bisa, aku lakukan. Awalnya agak ragu untuk ikut karena kriterianya perempuan pakai jilbab, tapi aku coba aja dulu. Bersyukur diterima. Aku diberi tema untuk presentasi aktingku lalu setelah itu improvisasi dengan tema yang telah diberikan. Ketika aku diberi peran tersebut, yang aku senangi dari peranku, pemikiran tokohku yang unik, mahasiswi yang ingin memberontak kepada keadaan zaman, tapi dia tidak punya kekuatan dan massa karena dia juga tidak suka bersosialisasi dan merasa tidak memiliki kecocokan dengan lingkungannya. Hahaha, itu menurutku sama saja membenturkan kepala ke tembok yang sangat kokoh. Tapi ketika dia merasa cocok dengan ideologi di sebuah komunitas, dia sangat percaya dan ternyata hanya dimanfaatkan. Miris banget sebagai perempuan. Prosesnya sangat menantang dan membuat aku membaca lagi buku-buku Catatan Pinggir Gunawan Muhammad dan novel Nawa el Sadawi Perempuan Di Titik Nol. Dan membuat catatan kecil dari apa yang aku baca untuk dialog dalam peranku.

Latar belakang akting kamu sendiri?

Awalnya aku tertarik dengan sebuah komunitas teater saat kelas 2 SMA jadi ikut terjun ke dalamnya dan senang nonton pertunjukan teater. Setelah lulus SMA aku langsung memilih jurusan Teater di Institut Seni Indonesia Yogyakarta, agar aku bisa fokus kepada keaktoran dan kesenian. Lalu aku belajar tari klasik Yogyakarta dan Silat PGB bangau putih yang pusatnya di Bogor. Karena menurutku banyak elemen yang harus dilatih oleh seseorang untuk akting. Melatih tubuh tidak hanya sebagai stamina dan kelenturan tapi bagaimana kita menyadari dan yakin terhadap tubuh kita saat akting di atas panggung dan di kamera agar terlihat natural sebagaimana tokoh yang kita perankan.

Apa yang paling kamu nikmati dari berakting?

Dari akting aku bisa belajar banyak tentang disiplin ilmu apapun. Bagaimana manusia tidak hanya berpikir, tapi juga melakukan apa yang dipikirkan. Berpikir lalu dipraktekkan lalu dipikirkan lagi. Dari akting, aku bisa belajar banyak tentang sudut pandang manusia terhadap kehidupan karena latar belakangnya. Belajar menerima kenyataan hidup dan positive thinking. Kedengarannya memang sederhana tapi ketika dijalankan, banyak banget rintangannya. Tapi ketika kita menyadarinya, banyak yang kita dapatkan. Film, aku suka nonton film yang ada unsur sejarahnya. Aku juga suka akting di film, menantang untuk lebih dalam memainkan emosi dan mengelola emosi. Menurutku film adalah media yang sangat mudah dikonsumsi oleh masyarakat pada saat ini, apalagi anak muda.

Aktor atau aktris favoritmu?

Aktris favoritku Christine Hakim, duh pingin banget main bareng beliau. Apalagi melihat aktingnya di Tjoet Nja’ Dhien. Aku merasa bahwa dia lah Cut Nyak Dien sungguhan. Dan Suzanna. Kalau dari luar negeri, Nicole Kidman dan Anthony Hopkins.

Proyek selanjutnya?

Aku sedang mempersiapkan pertunjukan teater dengan naskah The Lover karya Harold Pinter. Rencana pementasannya awal November tahun ini yang akan aku pentaskan di Yogyakarta dan Jakarta. Salah satu peran dalam tokoh tersebut aku perani dan sutradarai. Kisahnya tentang suami-istri yang telah berumah tangga selama 10 tahun, tidak memiliki anak. Timbul kejenuhan dalam rumah tangga tersebut karena merasa tidak ada konflik dalam rumah tangganya, maka dari itu mereka sengaja menciptakan konflik dan terjebak oleh konflik yang diciptakannya.

Photo by Hendra Bahagia