Sunday Girl, A Trip At Singapore with Cherie Ko

3

Menyusuri sisi quirky Singapura di hari Minggu yang cerah bersama indie darling kebanggaan kota tersebut, Cherie Ko. 

Di samping menjadi pit stop utama band-band indie keren yang melintasi Benua Asia, Singapura juga menyimpan potensi skena indie lokal yang cukup besar. Walaupun mungkin belum terlalu terekspos, bukan sekali dua kali kami menemukan band-band keren yang ternyata berasal dari Negara Singa tersebut dan menulisnya di Radar kami, salah satunya adalah band shoegaze fuzzy pop bernama Obedient Wives Club di mana Cherie Ko tergabung sebagai gitaris. Saat akhirnya bertemu dengannya di Laneway Singapore akhir Januari lalu, it was an instant click dan kami janjian untuk hang out sebelum saya kembali ke Jakarta.

Esoknya, di Minggu siang yang panas, Cherie menjemput saya di depan Singapore Art Museum. Memakai collar dress biru, bowler hat, sepatu oxford dan anting berbentuk ceri, ia terlihat seperti karakter utama dari film Wes Anderson. Matanya menghilang saat ia tertawa ketika saya memuji penampilannya yang super cute. Menyebut Winona Ryder di Heathers dan Parker Posey di Party Girl! sebagai style icon, tak sulit mengetahui bagaimana ia menjadi indie darling Singapura, tak hanya dari style, tapi juga substansi musik yang ia miliki.

Di umur 23 tahun, Cherie telah memiliki karier bermusik yang ekstensif sejak pertama kali belajar gitar ketika berumur 15 tahun. Sebelum tergabung di Obedient Wives Club di tahun 2011, namanya telah lebih dulu dikenal berkat unggahan lagu-lagu cover di kanal YouTube miliknya yang telah mendapat 3 juta views. “Video pertama yang saya unggah adalah ‘Your Call’ dari Secondhand Serenade. Saya memakai silly headband dan duduk di atas sebuah kursi dalam posisi yoga yang aneh. Waktu itu emo-pop sedang naik-naiknya mungkin karena itu saya bisa mendapat banyak views,” kenangnya sambil tersenyum.

Selain menjadi gitaris di Obedient Wives Club yang meraih popularitas di regional Asia Tenggara, ia juga menjadi frontwoman trio Bored Spies yang ia bentuk bersama Park Soo Young dan Orestes Morfin dari band cult Bitch Magnet dan telah tampil di Primavera Sound Festival 2013 di antara jadwal tur Amerika dan Eropa. Sekarang, Cherie juga memiliki solo proyek dengan nama Pastelpower di mana ia menukar gitarnya dengan keyboard untuk membuat musik indie pop yang dreamy dan lirik-lirik yang witty. Merilis demo kaset bertajuk Sparkling Eyes dan tampil di berbagai festival di Singapura, Malaysia, dan Thailand, lewat bedroom project ini Cherie pun kian mengukuhkan statusnya sebagai salah satu sosok paling dominan di skena indie Singapura yang sedang menggeliat.

Dengan talenta musik yang besar, rasanya lumayan susah dipercaya mendengar pengakuan Cherie jika awalnya ia justru tidak terlalu tertarik pada musik, terlepas fakta jika ia telah belajar piano dari kecil atas paksaan ibunya. “I’ll be completely honest here! I was a pretty average kid, and I didn’t grow up as a music lover. Saya tidak peduli dengan musik ketika masih anak-anak dan hanya mendengarkan apapun yang ibu saya putar di mobil. Saya banyak mendengarkan Faye Wong karena dia adalah penyanyi favorit ibu saya. Tapi saya sebetulnya biasa saja, sampai saya mendengarkan Cocteau Twins ketika remaja dan merasa terhubung dengan musik mereka. Lalu saya menyadari jika Faye Wong sebetulnya juga terinspirasi Cocteau Twins, dan itu seperti momen eureka. I adore shoegaze and I try to incorporate dreamy textures in my music too,” ungkapnya.

Dengan influens penyanyi pop perempuan Prancis 60-an seperti Françoise Hardy dan Sylvie Vartan, 80’s shoegaze, serta dreampop kekinian seperti Beach House, Cherie mendapat inspirasi membuat Pastelpower sehabis menonton ulang Edward Scissorhands dan membuat musik yang terpicu visual pastiche dari rumah suburban berwarna pastel dan halaman rumput yang tertata rapi di film tersebut. Visual imagery yang kuat dari film itu dan film-film cult tahun 60 sampai 90-lainnya (khususnya film-film John Waters) akhirnya memicu lahirnya lagu-lagu di EP Sparkling Eyes dan digital live EP bertajuk Pastelpower Broadcast: Live EP yang berisi dua lagu berjudul “Allergies” dan “Oh, Louie!” beserta musik video konseptual garapan Syamsul Bahari di kanal YouTube Pastelpower. Uniknya, selain dijual dalam format digital di Bandcamp, Cherie juga membuat bentuk fisik EP ini dalam bentuk kartu pos yang dilengkapi download code dan berisi pesan personal yang ditulis tangan olehnya.

“Bagaimana rasanya menjadi musisi indie di Singapura?” tanya saya di dalam mobilnya yang dipenuhi CD band-band lokal dan regional. “It feels great!” jawabnya sambil memasukkan CD band Yellow Fang dari Thailand, “Rasanya menyenangkan berada di komunitas orang-orang dengan cara berpikir dan minat yang sama dan berjuang untuk goal yang sama. Tapi saya juga sadar menjadi musisi di Singapura doesn’t pay the bills. Terutama jika kamu ‘indie’. Tapi hal itu tidak menghentikan kami untuk melakukan musik yang kami cintai!” imbuhnya. “Saya selalu bahagia kalau bisa menemukan band-band lokal baru. Dua minggu lalu saya menonton penampilan seorang gadis bernama Linying di sebuah gig, dan saya sangat terpesona melihatnya menggabungkan sensibilitas folk dengan bunyi elektronik. So fresh! Saya juga sangat menyukai The Pinholes yang merupakan salah satu band Singapura paling otentik di luar sana. They are a throwback to the good ol’ times, bringing back the vibes, mereka juga memiliki aksi panggung yang sangat enerjik dan fun,” imbuhnya.

            “Saya akan bersemedi di tempat rahasia saya untuk menulis lagu-lagu baru, jadi hal terdekat yang akan kamu dengar dari saya adalah album debut saya! Saya akan banyak bereksperimen di album ini, sonically. Saya juga ingin memasukkan macam-macam instrumen musik, That is all I will be revealing for now! ungkapnya bersemangat ketika saya bertanya tentang rencananya tahun ini. Mengingat ia sudah tampil di pusat-pusat hip culture Asia Tenggara seperti Bangkok dan Penang, apakah ia berencana mengunjungi Jakarta juga? “Saya banyak mendengar hal seru tentang Jakarta dan saya ingin sekali untuk mampir dan membuat show. Saya berharap bisa merencanakan suatu hal di Jakarta tahun ini,” jawabnya. Dengan janji itu, kami pun sampai di destinasi pertama petualangan kecil kami di tempat-tempat quirky Singapura favoritnya.

9fotor_(29)

Colbar Eating House

“ColBar sebetulnya kependekan dari Colonial Bar, dan sudah dibuka sejak 1953 sebagai unofficial canteen untuk infantri Inggris. Temboknya dipenuhi foto-foto dan memorabilia kuno tentang sejarahnya dan membuat tempat ini terasa rustic dan memiliki old-school charm. Makanan yang ada di sini sangat homemade dan otentik. Saya terutama menyukai nasi kari ayamnya. Maybe it might be slightly overpriced, but the place makes for a great experience with its story to tell!

9A Whitchurch Road.

fotor_(28)

Gillman Barracks

“Gillman Barracks adalah contemporary art cluster yang dibangun di bekas barak militer dan berisi museum, galeri seni, dan non-profit spaces. Sekarang tempat ini juga menjadi venue populer untuk pop-up gigs, parties, dan events. Walaupun terkenal dengan museumnya, saya lebih tertarik pada graffiti dan street art yang terpampang di tembok-tembok mereka, salah satunya karya Mary Bernadette Lee, seorang teman saya yang merupakan ilustrator/seniman dengan bakat luar biasa. Saya suka karya-karyanya yang berasal dari emosi yang kita hadapi sehari-hari dan ditegaskan dengan memakai cat air which is so very pretty in a raw way. I’m also a big fan of her portraits of naked ladies! They are awesome. You can check out her work at http://mrydette.com

gillmanbarracks.com

9 Lock Rd.

5

Henderson Waves

“Saya pernah kencan di sini ketika berumur 17 tahun. Saya menaiki tangga bersama cowok ini dan kami saling memainkan musik dengan gitar akustik. The night breeze, trees, skyline made for a pretty awesome date!

The Southern Ridges, Henderson Rd.

fotor_(24) fotor_(27)

Curated Records

“Curated Records adalah record store kecil dengan koleksi indie records yang hebat. Saya menyukai toko ini karena sangat well-organized dan rapi. Saya terutama menyukai bagaimana Instagram feed mereka terasa seperti record shelves betulan jadi saya penasaran untuk datang ke toko ini untuk melihat-lihat. Saya kemudian berteman dengan pemiliknya, Tremon, dan sekarang toko ini menjadi personal favorit saya.”

curatedrecords.com

55 Tiong Bahru Rd.

fotor_(25)

WP_20150125_082

Tiong Bahru Bakery

“Tempat ini menjadi tujuan wajib saya setiap mampir ke Tiong Bahru karena saya tidak bisa berhenti menyukai butter croissants mereka! It’s the best croissants you can get in town.

tiongbahrubakery.com

56 Eng Hoon Street.

10

Singapore Botanic Gardens

Baru-baru ini saya tampil di Singapore Botanic Gardens bersama teman saya Jean dari band Giants Must Fall. It was a post-valentines’ day gig dan banyak pasangan yang tiduran di atas picnic mat. Saya tampil di sebuah gazebo yang diterangi fairy lights, rasanya hampir seperti adegan film Twilight ketika Edward dan Bella berdansa waltz, haha! Orangtua saya sangat bangga malam itu karena mereka punya memori masa kecil yang sangat banyak di tempat ini. Rasanya lucu karena tidak peduli berapa banyak show yang saya datangi di seluruh dunia, in the end cukup sebuah garden gig sederhana yang membuat orangtua saya sangat bangga pada musik saya.”

sbg.org.sg

1 Cluny Road

#Xinjiapo, My Singapore Trip Part 2: Tiong Bahru & Laneway Festival

Hari kedua di Singapura: Mengeksplor hip culture dan festival musik paling seru di Asia Tenggara.

Setelah hari pertama dihabiskan untuk menelusuri art conclave Gillman Barracks dan night life di Haji Lane, saya terbangun di hari Sabtu tanggal 24 Januari dengan excitement penuh. Today is the day for St. Jerome’s Laneway Music Festival Singapore 2015! Tahun ini merupakan kali kelima festival musik asal Australia tersebut digelar di Singapura dan seperti biasa menghadirkan lineup keren dari established & upcoming indie musicians seperti FKA twigs, St. Vincent, dan Little Dragon. Tahun ini juga menjadi tahun pertama saya datang ke Laneway, so excited!

Well, Laneway sendiri baru akan dimulai sekitar jam 12 siang, karena itu kami punya agenda lain sebelum menuju Gardens by The Bay yang menjadi venue festival tersebut. Setelah breakfast di hotel, kami pun naik taksi dengan tujuan Tiong Bahru, sebuah tempat yang belakangan menjadi daerah hip di Singapura. Tapi, entah kenapa supir taksi kami salah menurunkan kami. Instead of Tiong Bahru, kami turun di Keong Saik Road di daerah Chinatown, yang sebetulnya tak kalah menarik untuk jalan-jalan. Daerah yang awalnya dikenal sebagai red light district ini sekarang dipenuhi oleh coffee shop, cafe, art gallery, dan bahkan sebuah coworking space yang akan segera dibuka. Di jalan ini juga terdapat Potato Head dan Three Buns, a familiar fixture if you’re Jakarta hipster. Dibanding naik taksi lagi dan kami pun sebetulnya tidak terburu-buru, kami memutuskan untuk jalan kaki ke stasiun MRT untuk menuju Tiong Bahru. Tentunya sambil menikmati gedung-gedung art deco di area Keong Saik dan gang-gang kecilnya yang seringkali dihiasi mural dan warna-warni vibrant yang membuat daerah ini terasa seperti a quaint little village.

Keong Saik Road

Setelah naik MRT dari Outram Park yang hanya berjarak satu stasiun dari Tiong Bahru, kami pun jalan kaki sedikit lagi sebelum akhirnya sampai di Yong Siak Street, salah satu jalanan di Tiong Bahru yang paling hip dengan deretan toko buku, cafe, coffee shop, dan organic store. Dibangun tahun 1930-an, Tiong Bahru yang artinya “Kuburan Baru” merupakan area perumahan paling tua di Singapura yang dulunya memang area pemakaman dan daerah perumahan yang sepi dan didominasi orang tua. Namun, thanks to para creativepreneur muda yang membawa hip culture ke area ini, Tiong Bahru sekarang telah hidup kembali menjadi tempat favorit para ekspat dan local cool kids di mana lifestyle establishment hidup berdampingan di antara bangunan ruko dari tahun 40-an dan pasar basah tradisional. Berjalan-jalan di Yong Siak sendiri yang didominasi apartemen dua sampai lima lantai dari zaman pre-war bertembok putih dengan balkon bundar dan tangga spiral yang khas adalah pengalaman yang menyenangkan. Di daerah yang cenderung tenang ini, waktu seakan berhenti. Di antara obrolan santai orang-orang yang sedang asik menyisip kopi, kamu masih bisa mendengar musik Chinese tradisional dan suara burung di antara pohon kelapa. It was very nice place to live, I think.

polaroidMAKER_31_01_2015 7_32_04polaroidMAKER_31_01_2015 7_33_14
Sampai di Yong Siak, kami sebetulnya ingin mencicipi kopi terkenal di 40 Hands Coffee, namun coffee shop tersebut tampak sedang ramai-ramainya. So, kami pun memutuskan untuk saling berpencar untuk mengekslorasi Tiong Bahru sendiri-sendiri sebelum makan siang. Yang langsung menarik perhatian saya adalah toko buku di seberang 40 Hands Coffee, yang bernama BooksActually yang bisa dibilang Aksara Bookstore-nya Singapura, walaupun jauh lebih mungil. Toko buku independen milik Kenny Leck dan Karen Wai ini dimulai tahun 2005 dan sempat berpindah-pindah sebelum akhirnya stay di Tiong Bahru dan menjadi literary hub bagi skena literatur lokal. Begitu masuk, it was love at the first sight. I mean, tumpukan buku-buku yang semuanya menggoda untuk dibawa pulang, terutama karya-karya para penulis lokal dan majalah-majalah indie setempat. Para pemilik toko buku ini tampaknya adalah penyuka kucing. Selain menjual banyak buku yang mengangkat tema kucing, toko buku ini memiliki tiga ekor kucing peliharaan yang dibiarkan bebas berkeliaran di atas tumpukan buku dan mencakar punggung buku, which is very cute dan malah terasa seperti “sentuhan khusus” untuk buku tersebut. Seolah hal itu tidak cukup, BooksActually juga menjual banyak pernak-pernik vintage yang menggemaskan. Mulai dari postcard, toples kaca, tumpukan kaset, foto-foto kuno, hingga koleksi Pez, semuanya adalah cobaan untuk mental dan dompet saya.

BooksActuallyBagian dalam BooksActually

Sadar saya belum melihat toko-toko lain, saya pun keluar sejenak dari BooksActually untuk melihat toko-toko sekitarnya. Tak jauh dari situ ada toko buku satu lagi berhias mural yang lucu bernama Woods in the Books yang khusus menjual buku anak-anak, bakery bernama Plain Vanilla yang terkenal dengan cupcakes-nya dengan dekorasi yang dihiasi jejeran sepeda vintage dan ayunan kayu, restoran Jepang bernama Ikyu, Bhutan Shop yang menjual produk-produk organik dari mulai bahan makanan sampai peralatan mandi, dan Open Door Policy (ODP), sebuah bistro bernuansa rustic dengan desain ruangan open-planned yang membuat tamu bisa melihat proses pembuatan masakan di balik dinding kaca. Sudah masuk jam makan siang, dan ODP pun obviously terlihat ramai. Untungnya kami sudah reservasi terlebih dulu dan segera duduk di meja kami dan mulai melihat-lihat menu. Semua menu yang ada di main dish sangat menggoda selera. Mulai dari 48 hour braised beef cheek with red wine quinoa and beetroot puree, roast akaroa salmon with crushed potatoes, grilled baby leeks and brown butter jus, hingga ODP wagyu burger with all the trimmings, garlic fries and japanese mayonnaise. Saya pun memesan burger andalan mereka tersebut. It was really big, tasty, and awesomely yummy!

Woods in the BooksODP famous burgerBelanjaan dari BooksActually
Membawa ransel berisi belanjaan buku ke festival musik mungkin bukan ide yang bagus, but I can’t stop myself untuk kembali ke BooksActually setelah lunch untuk membeli buku dan majalah. Buku yang saya beli bertajuk Lontar yang merupakan jurnal literatur para penulis Asia Tenggara dan majalah desain lokal, The Design Society Journal. Well, dengan ransel yang semakin berat, sekitar jam 2 siang kami berangkat menuju Gardens by The Bay di area Marina Bay yang menjadi tempat perhelatan Laneway Fest dalam tiga tahun terakhir ini. Di hari-hari biasa pun sebetulnya tempat ini menarik untuk dieksplor, terutama jika kamu penggemar dunia botani, I would like to come back to this place again, tapi untuk sekarang tujuan utama memang ke Laneway Festival, so here we go!

LanewayFest
Begitu masuk ke area festival, terlihat para festival goers dari regional Asia Tenggara dan Australia sudah memenuhi area rerumputan di bukit-bukit kecil ataupun berdesakkan menyaksikan para performer di tiga stage yang tersedia. This is my first Laneway experience, karena itu saya memutuskan untuk mengelilingi seluruh area Laneway terlebih dahulu sambil menikmati alcohol-infused popsicle dari Popaganda, checking out the booths and the crowd dan bertemu beberapa teman, termasuk Cherie Ko the Singapore’s indie darling, sebelum menuju depan stage untuk menyaksikan performance dari Pond, Royal Blood, dan Mac DeMarco. Hujan yang sempat turun agak deras tak membuat penonton gentar, dengan memakai disposable raincoat, orang-orang cuek asik berdansa di atas rumput dengan latar Marina Bay Sands Hotel, it was awesome.

Laneway2Laneway3
Semakin malam, semakin sulit untuk bergerak saking banyaknya orang yang datang. Tahun ini tiket Laneway berhasil sold out sebelum hari H dan sekitar 13 ribu orang dari Singapura dan kawasan Asia Pasifik memenuhi festival ini. It might be really crammed, tapi hal itu terbayar dengan aksi fenomenal dari para headliners dan semangat dari crowd-nya sendiri yang datang untuk menikmati musik dan bersenang-senang. Tak heran kalau Laneway Festival disebut sebagai Coachella-nya Asia Tenggara, it’s a must visit festival for the music lovers! Highlights tentang Laneway Festival akan saya post secara terpisah, namun yang pasti I really happy to finally watch FKA twigs live in front of my eyes!

Ketika St. Vincent merampungkan setnya sebagai performer terakhir Laneway tahun ini, waktu sudah melewati jam 12 malam. Selain Keenan, di hari kedua ini rombongan kami ditambah oleh pasangan musisi Lala Karmela dan Petra Sihombing yang memang baru bisa menyusul ke Singapura hari itu karena ada pekerjaan lain sebelumnya. Sebelum pulang ke hotel, kami sepakat untuk mengisi perut terlebih dulu. Daerah Clarke Quay yang dekat dengan hotel kami pun menjadi tujuan. Kawasan pinggir sungai ini juga telah dikenal dengan night life yang hidup, terutama karena waktu itu Sabtu malam, banyak sekali orang yang berjalan-jalan santai, hang out di cafe dan restoran (termasuk Hooters), atau party di beberapa club yang ada di area tersebut. Selesai mengisi perut di salah satu restoran Jepang, kami pun kembali ke hotel dengan perut kenyang dan beristirahat.

Laneway Team