Style Study: Textile & Leather 101 Workshop at Indoestri Makerspace

IndoestriDengan azas Self Made yang diusung Leonard Theosabrata dalam Indoestri Makerspace, Do-It-Yourself just got rephrased.

I love tote bags. I really do, terutama untuk daily activities karena sifatnya yang praktis dan simpel. Namun, siapa sangka jika di balik bentuknya yang terlihat simpel, there’s quite a process to make one. Hal itu yang saya pelajari sendiri ketika mengikuti one day workshop bertajuk Textile & Leather 101 di Indoestri Makerspace, sebuah makerspace pertama di Jakarta yang digagas oleh Leonard Theosabrata, seorang figur penting di dunia industri kreatif Indonesia saat ini berkat perannya sebagai salah satu founder Brightspot Market dan The Goods Dept. It’s been a long time since I actually make something with my own hand, so I’m more than excited.

Saya tiba sejam lebih awal dari jadwal jam 10 pagi yang ditentukan pada hari Sabtu tanggal 4 Oktober lalu dan memanfaatkannya untuk melihat-lihat warehouse di daerah industri Daan Mogot tersebut. Selain menjadi pabrik furniture Accupunto milik keluarga Theosabrata, lahan seluas satu hektar ini juga memiliki area khusus sekitar 2000m2 untuk Indoestri Makerspace. Di lantai pertama terdiri dari ruang meeting, ruang workshop sekaligus studio foto, dan juga beberapa virtual office yang bisa disewa oleh brand owner atau desainer independen untuk memamerkan produk mereka. Sementara di lantai atas terdapat area luas yang menjadi main attraction dari Indoestri ini sendiri, yaitu sebuah space di mana para anggota bisa berkreasi dengan berbagai alat dan material yang ada dan telah dibagi menjadi bagian-bagian khusus seperti woodwork, metalwork, paintwork, leatherwork, dan sebuah lounge untuk beristirahat atau bertukar ide. Absorbing all those industrial vibes, I’m ready for making something self-made.

indoestri2

Sebelum memulai workshop yang diikuti 20 orang ini, Leo yang juga menjadi tutor workshop kali ini terlebih dulu menjelaskan tentang kampanye SELF MADE yang ia buat. “The creation process is a journey that is irreplaceable even by the destination,” adalah filosofi utama di baliknya. Pria lulusan Art Center College of Design di Pasadena, California tersebut merasa gemas melihat perkembangan industri kreatif yang cenderung stagnan, terjebak hype, dan sustainability yang terasa kurang karena para desainer/pemilik brand yang tidak benar-benar memahami dan menggeluti proses produksi. Kampanye SELF MADE memiliki misi utama mengajak orang untuk mengenal proses berkarya dari tahap paling basic, mempertajam skill, membangun network, dan mengembangkan skema bisnis startup mereka, salah satunya dalam bentuk berbagai workshop yang digelar di Indoestri dalam open house month mereka sepanjang bulan Oktober ini.

indoestri3

Now, off to the actual process. Saya mendapat materi workshop berupa modul, pensil, penggaris, gunting, dan bahan kanvas. Setelah mengguntingnya dalam ukuran yang sudah ditentukan (100 x 50 cm), bahan tersebut dilipat dua sama rata, menyisakan 1 cm di pinggir untuk diobras dan dijahit. Saya belum pernah memakai mesin obras dan it’s been forever since the last time I use sewing machine on middle school, jadi rasanya lumayan menegangkan saat menginjak pedal untuk mengatur kecepatan jarum. Some of the stitches are out of the lines, but hey, that’s the part of learning, right?

Selesai mengobras bagian pinggir, saya melipat bagian pinggir atas tas ke dalam sekitar 3 cm, menandainya dengan jarum pentul, lalu menjahitnya kembali dengan mesin jahit. Kali ini saya sudah agak terbiasa dan mulai bisa mengatur tempo dengan lebih baik. Langkah keempat adalah membentuk bagian dasar tas. Saya melipat kedua bagian pinggir bawah tas sekitar 8 cm dan menjahit garis lurus lalu membalik bagian dalam ke luar, voila, tas pun sudah terbentuk dan tinggal ditambahkan straps. Namun sebelum itu, tas ini dibubuhi logo SELF MADE yang memakai teknik silkscreen terlebih dahulu. Tas kemudian dijemur menghadap sinar matahari langsung agar tintanya cepat kering. Sambil menunggu, saya dan para peserta workshop lain saling berbincang and getting to know each other. Para pesertanya kebetulan memang berasal dari berbagai background, mulai dari mahasiswa seni, fotografer, pemilik brand, ibu-ibu, hingga ayah dan anak yang kompak mengikuti workshop ini. Suasananya sangat menyenangkan dan santai.

InstagramCapture_c078ad86-c16a-474d-bedc-085441ae92e6

Setelah mengambil tas yang sudah kering, last step adalah memasang straps dari bahan kulit. Menurut modul saya harus mengukur sepanjang 65 cm dan lebar 3 cm, namun saya menambahkan 5 cm lebih panjang (70 cm) agar lebih nyaman personally. Straps tersebut dijahit sekitar 3 cm dari bagian atas tas dalam bentuk 2,5 square box. Hal ini bisa dilakukan dengan mesin jahit bila kamu sudah cukup terbiasa, atau dengan jahit tangan yang lebih lama namun lebih presisi kalau kamu belum yakin dengan mesin jahit. Straps are attached, then it’s done! My first ever self-made tote bag which I quite proud of mengingat tas ini dibuat dengan tangan dan hanya dimiliki secara eksklusif oleh peserta workshop. So next time you saw someone carrying this bag, you know that they’re making this bag by themselves.

Selain workshop tekstil, Indoestri juga telah menggelar berbagai workshop menarik lainnya mulai dari ceramic, leather works, dan lecture tentang memulai brand dengan dipandu oleh para praktisi professional di bidangnya masing-masing dan terbuka untuk siapa saja. You should check out their Instagram (@indoestri) to keep yourself updated and be ready to be the part of the SELF MADE movement!

photo 5

http://www.indoestri.com/

Amazing A, An Interview With Andien

    NYLON Indonesia

Melalui empat belas tahun dengan lima buah album, puluhan penghargaan, dan ratusan cerita, Andien tak pernah pergi dan tetap menjadi seorang biduanita muda teristimewa. But make no mistake; she keeps getting stronger than ever.

Jika harus memilih edisi NYLON apa yang selalu saya tunggu setiap tahunnya, tanpa harus berpikir pun saya akan langsung menjawab music issue as my personal favorite. Dan menginjak kali keempat NYLON Indonesia merilis music issue, our excitement bertambah karena untuk pertama kalinya kami memutuskan memakai cover lokal di edisi spesial musik ini. Well, Indonesia mungkin memiliki banyak sekali penyanyi perempuan yang cover worthy, namun menentukan yang bisa selaras dengan DNA majalah ini tentu bukan perkara mudah. Dari beberapa pilihan yang semakin mengerucut, akhirnya kami sepakat jika Andienie Aisyah Haryadi adalah sosok paling tepat untuk menjadi cover music issue tahun ini. Lewat album debut bertajuk Bisikan Hati di tahun 2000, Andien yang waktu itu masih berusia 15 tahun seketika melesat menjadi penyanyi pendatang baru terbaik dan yang lebih menakjubkan lagi adalah fakta jika ia muncul dengan image yang mature dan membawakan musik jazz, genre yang masih jarang ditempuh oleh penyanyi sebayanya ketika itu.

Always stay true to her music, empat belas tahun berikut dalam kariernya diwarnai oleh so many ups and downs. Nama Andien pun terbilang cukup adem ayem saja di ranah musik Indonesia, dalam arti ia tidak pernah benar-benar meledak gila-gilaan secara popularitas atau albumnya laris jutaan kopi, namun ketika banyak penyanyi perempuan yang bisa tiba-tiba melejit namun kemudian hilang begitu saja, Andien dengan stabil terus menghasilkan album-album berkualitas dan tetap bertahan di industri entertainment yang keras. Dalam setiap album yang ia rilis, gadis kelahiran Jakarta 25 Agustus 1985 silam ini menjelma sebagai pribadi yang senantiasa berkembang. Tak hanya soal menyanyi, Andien kini juga dikenal karena gaya hidup sehat serta statusnya sebagai salah satu style icon.
Setelah mencocokkan jadwal dengan Andien, di suatu pagi pertengahan April lalu, kami pun bertemu di studio foto daerah Kemang untuk interview dan photo shoot. Ini adalah interview kedua saya bersama Andien setelah di NYLON edisi Desember 2011 saya juga sempat mewawancarainya. Sama seperti perjumpaan pertama kami, setelah ice breaking sejenak dan bertukar kabar, saya mewawancarainya di depan meja rias ketika ia bersiap dirias dan ditata rambutnya. Bila di interview kami dua tahun lalu, Andien dengan cekatan mendandani wajahnya sendiri sebelum perform di sebuah jazz club, kali ini ia memilih duduk manis untuk dirias oleh penata rias dari tim Jed Root Filipina dan penata rambut andalannya. Sebelum menjawab pertanyaan pertama saya mengenai kesibukannya saat ini, ia meminta pendapat apakah rambut bob pendeknya akan terlihat bagus jika ditata wet look dengan gaya ikal ke belakang. We all agree, it will look good on her. Salah satu fakta yang menurut saya unik dari Andien adalah ia terbiasa bertanggung jawab penuh pada image dirinya sendiri sebagai public figure. Ia tak pernah punya personal stylist dan terbiasa memakai makeup sendiri sebelum perform. “Gue nggak pernah belajar yang serius, kaya makeup school gitu, karena mungkin dari dulu gue terbiasa ngeliat caranya karena sering di-makeup orang-orang, menurut gue naluriah ya perempuan pasti ada sisi seninya untuk mendandani diri sendiri, jadi gue tinggal kaya berkreasi aja,” ujarnya sambil tersenyum.

Andien3
Sembari membiarkan wajahnya mulai dirias, Andien lantas bercerita tentang kesibukannya saat ini yang masih dipenuhi undangan nyanyi dan menyiapkan album baru, kabar yang cukup mengejutkan, mengingat baru tahun lalu ia merilis album kelima dengan judul #Andien. “Iya nih gue ngejar target soalnya sebentar lagi udah umur 30, kayanya pengen bikin album ini album itu. Sebenarnya bukan momok juga sih umur 30 tahun, cuma kayanya, once udah di usia itu, kemudian planning-nya kan banyak tuh, kaya harus nikah, harus segala macem, pastinya ada sesuatu yang akan berubah dari gue, pastinya akan lebih dewasa, punya image yang lebih mature,” jelasnya. Ia menargetkan album keenam itu untuk selesai akhir tahun ini dan dengan senang hati membocorkan beberapa hal tentang album ini. “Ada 10 lagu, tadi rencananya lagu cover semua dari lagu-lagu Indonesia era 90’s karena konsepnya tadinya Andien Sings Indonesian 90’s. Kita udah nyusun list tapi belakangan kaya Mbak Melly (Goeslaw) bikinin lagu baru bagus banget dan gue pikir sayang aja kalau nggak dimasukkin. Jadi, mungkin bakal ada dua atau tiga lagu baru, sisanya lagu cover.”

Menyanyikan ulang sebuah lagu dengan sentuhan sendiri tentu bukan hal baru bagi Andien. Di akun Soundcloud miliknya pun, kamu bisa mendengar rekaman live saat dia membawakan lagu-lagu dari Janet Jackson, Foster the People, hingga Daft Punk. Tapi yang terasa spesial di album baru ini adalah ia akan menyanyikan lagu-lagu dalam negeri favoritnya. Apa saja? “Gue suka banget lagunya Iwa K, ‘Selama mentari bersinar, hari-hari sepi tanpa dirimu,’” nyanyinya spontan dengan agak nge-rap sebelum melanjutkan, “Haha itu satu. Terus semua lagunya Slank, khususnya lagu ‘Terbunuh Sepi’ yang gue cinta banget lagu itu, lagunya Naif yang ‘Mobil Balap’, terus lagunya Dewa. Sebenarnya gue suka banget lagunya Ahmad Band yang ‘Sudah’ tapi ternyata nggak boleh di-cover karena Mas Dhani udah cover lagu itu untuk dibawain lagi. Itu keren banget, terus lagunya Oppie Andaresta ‘Ingat-Ingat Pesan Mama’, Rida Sita Dewi, ‘Kiranya’ Protonema, Sheila on 7, aduh banyak banget deh!” ungkapnya antusias.
Sama seperti dua album terakhir, album terbaru ini juga akan diproduseri oleh bandnya sendiri yang dipimpin oleh Nikita Dompas. “Dua album terakhir sangat berkesan buat gue karena jarang banget ada penyanyi yang albumnya diproduseri oleh anak-anak bandnya sendiri. Waktu pertama kali gue bawa band sendiri, itu belum ada penyanyi perempuan di sini yang punya band sendiri, yang bawa band sendiri biasanya penyanyi cowok kaya Glenn atau Rio Febrian. Jadi gue berusaha banget ngedepankan band gue dan musik gue karena kalau tanpa band gue, musik gue nggak bakal tergambarkan di panggung dan orang nggak bakal liat message gue,” imbuhnya.

Sehari sebelumnya ia baru pulang dari Kuching, Malaysia untuk undangan menyanyi. Bukan kabar baru sebetulnya bila kamu termasuk dari 156 ribu follower di Instagramnya di mana ia sempat posting beberapa foto dirinya yang sedang berjalan-jalan di kota itu. “Iya, gue selalu menyempatkan diri untuk sightseeing gitu, nggak usah di luar negeri, di luar kota juga sama sih sebenarnya kecuali kalau yang udah sering didatengin, gue selalu ngeliat kayanya itu kesempatan untuk eksplor. Kalau kaya Kuching kemarin gue seneng banget, karena gue pikir tadinya daerahnya kaya terbelakang gitu, terus gue ngobrol sama orang di pesawat yang bilang kalau Kuching itu developing city banget, mungkin kalau di Indonesia kaya Bandung. Terus pas landing, emang bagus banget dan lucu gitu kotanya, nggak ada gedung tinggi, semua vintage buliding yang dijaga sama pemerintahnya, jadi semua restoran atau hotel dari vintage building gitu, ada gaya Cina, Melayu, Timur Tengah. Dan ternyata orang-orang di sana juga nggak Melayu konservatif, orang-orangnya pake bajunya Supreme atau apa gitu, terus gue nanya, mereka kalau belanja di mana? Mereka jawab online shop, hmm… okay… haha,” ceritanya sambil tertawa.
Setelah menyesap air mineral, Andien pun melanjutkan ceritanya dengan nada excited khasnya. “Nggak semua orang punya pekerjaan yang bisa menggabungkan sisi pekerjaannya dengan pleasure, leisure, dan hobinya. Gue punya kesempatan itu, jadi gue pasti selalu gue manfaatin untuk eksplor tempat yang wajib dilihat,” ceritanya sambil tersenyum. Ucapannya tersebut mengingatkan saya saat tahun lalu ia diundang menghadiri New York Fashion Week setelah sebelumnya meraih gelar sebagai The Most Stylish Celebrity of the Year dari Fashion Nation. Tak hanya menghadiri beberapa fashion show, Andien juga membuat video untuk single “Teristimewa” yang memperlihatkan dirinya strolling around the Big Apple dalam balutan batik rancangan Edward Hutabarat yang sangat chic.

Andien4
Gelar the most stylish celebrity sendiri jatuh padanya bukan tanpa alasan. Di social media, Andien kerap mengunggah foto gaya pakaiannya yang memang keren. Di atas panggung, Andien terlihat glamor dengan headpiece dan gaya Roaring Twenties, sementara sehari-hari ia terlihat stylish dengan memadukan label luar negeri dan label lokal yang kebanyakan adalah rancangan teman-teman Andien sendiri. “Dari SMP kali ya?” jawabnya ketika ditanya kapan ia mulai tertarik fashion. “Dulu gue punya butik namanya Debut Pret a Porter, waktu itu gue udah agak melek sama fashion, tapi dulu gue lebih sering dibilang aneh sih daripada keren, soalnya gue sangat look up ke majalah-majalah Jepang kaya Nonno gitu. Jadi misal gue bisa pake eyeliner putih atau ijo, tapi makin ke sini makin terekspos mungkin karena social media aja. Dulu-dulu gue nggak berkesempatan foto baju-bajunya. Justru sekarang gue jauh lebih mainstream dibanding dulu, karena dulu apalagi waktu kuliah gue sangat menikmati pake baju ini baju itu, bisa ngarang sebebas-bebasnya,” ungkapnya.
Meskipun sering dibilang stylish, Andien mengaku soal personal style sebenarnya ia sangat cuek dan memakai yang menurutnya nyaman saja. Hari itu ia datang dengan memakai tank top hitam, jeans, dan sneakers yang terlihat effortlessly cool di badannya yang tergolong mungil namun terlihat kencang dan sehat. Selain musik dan fashion, topik lain yang akan memancing Andien untuk bercerita panjang lebar dengan antusias adalah soal menjaga kebugaran tubuh. Morning routine seorang Andien dimulai dengan olahraga, minum manukah honey dan makan buah untuk menjaga kekebalan tubuh. Ia mengaku tak pernah diet dan tubuh ramping sehatnya murni hasil banyak olahraga yang ia geluti.

Sebelum melanjutkan cerita, ia minta izin sejenak untuk membalas teks yang masuk di iPhone-nya. Dengan sigap dan penuh konsentrasi ia menekan-nekan touchscreen selama beberapa menit sambil menjelaskan jika ia sedang meminta bantuan untuk mencari kado. Setelah kurang lebih 3 menit berkutat dengan iPhone, ia meletakkan iPhone dan dengan tersenyum menatap saya lagi dan mulai menyebutkan list olahraga yang sedang ia jalani. “Gym, pilates, Muay Thai terus ada freeletics juga, banyak banget olahraga gue. Karena badan kita nggak bisa ngelakuin satu olahraga constantly, misalnya lo suka pilates terus lo pilates dengan gerakan yang sama selama berapa tahun itu nggak mungkin karena badan kita adaptasi sama gerakan. Bisa jadi badan lo keren dalam tiga bulan pertama, tapi di bulan keempat gerakan itu nggak ada pengaruhnya ke badan lo terus lo mikir ‘Kok sama aja ya?’ Justru itu badan lo udah adaptasi, jadi harus coba yang lain lagi,” jelasnya.
Recently gue bikin gym, namanya 20 Fit di Cipete dan gym ini bentuknya micro gym, cuma ada dua alat namanya miha. Miha itu electro muscular stimulation. Gue recently lagi pake itu terus karena keren banget alatnya, mau liat nggak?” tawarnya sebelum memperlihatkan video di iPhone-nya yang memperlihatkan dirinya sedang melakukan gerakan work out dalam balutan body suit hitam dengan beberapa kabel yang tersambung dengan sebuah mesin. It looks hi-tech dan belum pernah saya lihat sebelumnya.

Andien2
Dengan semangat Andien lantas menjelaskan pada saya apa itu miha yang merupakan sebuah teknologi muscle stimulator asal Jerman yang memberi rangsangan elektrik di tubuh kita. “Awalnya gue nyobain miha punya temen gue yang beli di Jerman dan pas gue cobain, gue kaya ‘wow, magic!’ soalnya alat ini cuma boleh dipakai latihan 20 menit, katanya twenty minutes itu equals with two hours, jadi nggak boleh lebih dari 20 menit. Waktu itu gue pikir, ‘ah nggak mungkin,’ gue udah sering olahraga, bisa kali sampai 40 menit, tapi baru lima menit pertama aja itu rasanya kaya Muay Thai 2 jam! Wah oke banget nih. Di Jakarta belum ada yang punya gym-nya. Mengingat ini olahraganya keren banget menurut gue, banyak yang bilang ini shortcut, tapi menurut gue bukan shortcut karena waktunya aja sebentar, tapi pas olahraganya capek banget kaya lo abis nge-gym campur Muay Thai. The good thing is semuanya rata, kalau lo nge-gym misalnya angkat berat pasti entah bagian kiri sama kanan lo ada yang lebih kuat, akhirnya hasil ototnya juga nggak simetris. Tapi kalau di miha ini kan dipakainya rata di badan kita, jadi hasilnya juga bagus banget,” ujarnya tanpa bermaksud promosi.
“Gue pikir gue harus punya usaha lain di luar nyanyi, banyak orang mengharapkan gue bikin fashion line atau apa, cuma menurut gue yang lebih berguna buat orang ya yang ada hubungannya sama olahraga, dulu gue pengen bikin tempat pilates tapi waktu itu masih keribetan mikir space-nya segala macem, tapi karena miha ini cuma butuh space yang lebih kecil dan udah lebih jelas jadi gue buka ini dulu. Alatnya emang bakal cuma dua, karena alat ini nggak bisa dipake sendiri, harus ada trainer-nya dan sesi one on one gitu dan cuma 20 menit. Gue sih udah ngajak banyak orang kaya Raisa atau Luna (Maya) udah cobain. Raisa malah udah jadi member, hehe,” tandasnya.

Melihat Andien dengan gayanya yang segar dan aura yang youthful, rasanya lumayan sulit percaya jika tahun ini Andien akan menginjak usia 29 tahun. Masih jelas dalam ingatan ketika Andien pertama kali muncul di layar kaca lewat video klip “My Funny Valentine” di mana ia mengenakan lipstick dan tube dress yang terlihat sangat matang untuk anak umur 15 tahun. Berbeda dari sindrom artis cilik yang kesulitan mengubah image saat mereka beranjak dewasa, Andien justru makin ke sini makin terlihat muda. “Karena makin ke sini makin tua, jadi gue harus terlihat makin muda, haha!” cetusnya santai. Bukan hal mudah untuk bertahan selama lebih dari satu dekade dalam industri hiburan yang terobsesi pada sesuatu yang baru. Dari sekian banyak promising talents yang muncul di dekade lalu, Andien menjadi salah satu dari segelintir yang masih bertahan. Ia jelas merasa sangat bersyukur akan hal tersebut, walaupun dengan rendah hati ia mengaku hanya menjalani semampunya saja.
“Nggak tau, sumpah gue nggak punya rumusnya, gue nggak punya formulanya, gue udah ngalamin titik paling nol di karier gue, sampai yang kayanya gue udah di tengah jalan tapi gue jatuh sejatuh-jatuhnya, dimusuhin semua orang, dimusuhin semua band player sampai akhirnya gue bangkit lagi. Itu hari-hari yang berat, tapi sampai bisa bangkit lagi kalau bukan karena Tuhan, itu nonsense menurut gue. Aduh gue nggak ngerti sih, tapi sampai detik ini beberapa tahun terakhir, apa ya gue ngeliat kerja tim gue bener-bener maksimal, dari manajer, tim manajemen, dan akhirnya gue pun masih bisa bertahan sampai sekarang. Bayangin aja, gila lo, dulu gue dipasangin nyanyinya sama Syaharani terus sampai sekarang sama yang seangkatan Raisa, buat gue sendiri gue udah kaya Highlander banget nggak sih? Haha,” ujarnya.

Titik terendah dalam kariernya merujuk pada sebuah kasus yang cukup heboh di infotainment sekitar tahun 2008 lalu. “Gue dulu pernah pacaran sama, seorang cowok yang akhirnya jadi manajer gue, kalau lo pernah denger kasusnya yang semua uang gue diambil dan gue dimusuhi sama semua event organizer, gue dimusuhin semua player dan tim manajemen gue keluar semua nggak ada satu pun, itu gue untuk bangkitnya lagi dengan duit yang nol dari yang gue kumpulin dari awal gue nyanyi sampai detik itu, gue nggak minta bantuan nyokap bokap sama sekali. Gue nelponin EO satu-satu minta maaf ngejelasin kalau itu kerjaannya mantan gue. Itu worst banget rasanya tau nggak? Gue udah pernah nyanyi di acara-acara bergengsi tapi tiba-tiba gue harus mau ikutan acara-acara kaya reality show, kaya… gue inget banget waktu itu sebenernya gue nangis banget dalam hati cuma kalau gue nggak ngambil hati orang TV gue bakal susah lagi untuk ngebangun link sama mereka,” ungkapnya serius. Kejadian itu mungkin sudah berapa tahun berlalu, namun masih ada kegetiran yang terasa saat ia melanjutkan ceritanya dengan pelan. “Jadi kaya ada reality show di mana gue harus pura-pura jadi pengamen di metro mini, syutingnya di Pulo Gadung jam setengah 6 sore yang lagi rame-ramenya. Karena itu reality show, kameranya candid disembunyiin di tas jadi gue kaya bener-bener sendirian jadi pengamen pake celana pendek di metro mini. Itu gue nangisnya gila-gilaan sebenernya, karena gue inget di titik itu setahun sebelumnya gue masih nyanyi di acara Tiga Diva, nggak nyangka aja setahun kemudian bisa kaya gitu keadaannya,” imbuhnya.

Jelas tidak semudah membalik telapak tangan untuk mengembalikan reputasi yang sudah tercoreng, namun dengan kegigihan dan passion yang ia punya, Andien bisa struggling dan bangkit membangun kariernya kembali. “Itu berjalan sangat natural buat gue, gue akuin sih gue nggak pernah ‘jeder!’ kaya Agnes Monica segala macem, tapi emang penggemar gue mungkin setia ada di situ. Nggak ada banyak juga yang tau cerita gue, kaya cerita yang tadi nih, itu gue baru cerita ke elo aja, gue belom pernah cerita ke media mana pun sebenernya. Gue bersyukur karena orang-orang ngeliat usaha gue, gue minta maaf ke band player yang udah nge-blacklist gue, kan dikira gue semua yang bawa kabur uang, gue menjalin hubungan baik sama orang, manajer gue balik lagi, terus semua orang bisa berbaik hati lagi… They put their trust on me, itu yang harus gue keep sampai sekarang.”
Toxic relationship di masa lalu untungnya tak membuatnya patah semangat dalam menjalin hubungan khusus dengan pria. Senyum sumringah terpancar di wajahnya ketika berbicara soal relationship yang sudah dijalaninya selama satu setengah tahun terakhir dengan low profile.“Iya karena dulu gue kebiasaan ekspos di media nggak taunya putus, karena nggak ada enak-enaknya sebenernya terekspos di media, too much pressure. Sekarang gue juga udah di titik yang nggak menggebu-gebu, gue pengen nikah udah dari umur 24 tahun, tapi dulu kaya suka nanti kita nikah kaya gini ya, kaya gitu… Terus putus. Cuma sekarang gue udah dalam relationship di mana gue sayang sama dia, dia sayang sama gue, dia juga umurnya udah 38 tahun sekarang. Jadi kayanya gue nggak harus mikirin, dia yang harus mikirin karena udah mau 40 tahun, haha! Jadi gue udah lebih santai aja.”

Menikah mungkin bukan menjadi top priority Andien tahun ini, karena selain album keenam dan gym, Andien masih memiliki banyak project yang akan ia lakukan. Salah satunya adalah launching toko baru dari curated lifestyle shop bernama Cave and Cove di Bali yang ia gagas bersama temannya. Yang jelas, Andien sedang menikmati hari-hari yang ia jalani sekarang. “Filosofi hidup… Just enjoy your life, kalau gue sebenernya sekarang berusaha mempersembahkan apa yang terbaik yang bisa gue lakukan buat gue, buat orang-orang sekitar gue, buat hidup gue pokoknya. Jadi lo nggak perlu mikir panjang mikirin result-nya bakal seperti apa hari ini, besok, dua minggu lagi, empat minggu lagi, pokoknya lo lakukan yang terbaik untuk segala hal yang lo lakuin karena dulu gue kebiasaan banget, ‘Ndien gini’, terus gue kaya ‘nanti gue dapet apa? Gimana? Atau bisa ini gak gue?’ gue selalu ngeliat kedepannya. Tapi sekarang untuk urusan apapun gue kaya berusaha maksimal dulu aja. Dan itu bukan hal yang gampang, tapi kalau bukan karena pengalaman, agak susah ngelakuin hal itu, itu berlaku buat apapun ya buat karier, pacaran, keluarga, atau gym, diet, jadi kaya gitu-gitu, jadi banyak banget orang yang kaya ‘ya udah deh gue mau diet tapi dua minggu lagi gue bisa gini nggak ya?’ jadi lo nggak perlu nimbang badan setiap hari, kalau lo melakukan yang terbaik yang bisa lo lakuin dulu aja,” simpulnya dengan senyuman hangat.

Andien1Fotografi oleh: Mark Nicdao of At East Jed Root.

Stylist: Patricia Annash.

Makeup Artist: Xeng Zulueta of At East Jed Root.

Hairstylist: Cats Del Rosario of At East Jed Root

As published in NYLON Indonesia May 2014

Book Club: Gelombang, Kepingan Terbaru Saga Supernova

Gelombang

Dewi Lestari menyeretmu lebih dalam lagi ke dunia Supernova lewat kepingan terbarunya, Gelombang.

Sebagai natural-born bookworm (or at least self-proclaimed) yang tak pernah absen membaca sejak bisa mulai merangkai huruf menjadi kalimat, buku fiksi bagi saya adalah sebuah hiburan, guru, dan terutama eskapisme. Walau sejujurnya, saya hanya punya dua serial fiksi yang benar-benar meninggalkan jejak dalam hidup saya. Yang pertama adalah serial Harry Potter karya J. K. Rowling dan yang kedua adalah serial Supernova karya Dewi “Dee” Lestari. Keduanya adalah serial yang seakan ikut “tumbuh” menemani proses saya beranjak dewasa sampai sekarang. Kali ini saya ingin berbicara tentang Supernova yang masih saya akui sebagai buku berbahasa Indonesia terfavorit saya. Tidak hanya karena saya belajar banyak hal darinya, setiap buku Supernova entah kenapa selalu datang di saat yang tepat dan beresonansi pada titik kehidupan yang sedang saya jalani.

Awal perkenalan saya dengan Supernova dimulai dari buku pertama, Supernova: Ksatria, Puteri, Bintang Jatuh (KPBJ) yang dirilis tahun 2001 ketika saya masih duduk di bangku SMP. Teman sekelas saya membawanya ke sekolah lalu saya iseng meminjamnya dan baru mengetahui jika Dee sang penulis ternyata Dewi Lestari dari trio pop Rida Sita Dewi yang terkenal di medio 90-an. Sampulnya sekilas mengingatkan saya pada buku pelajaran fisika dan melihat isinya saya tercengang dengan banyaknya footnotes berisi istilah-istilah ilmiah dan teori antah berantah yang belum pernah saya baca sebelumnya. Its a little bit off-putting awalnya karena saya lumayan alergi pada pelajaran IPA tapi toh saya bosan di kelas dan mulai membacanya. Di rumah, saya menuntaskan buku pinjaman itu. Jujur, saat itu saya beberapa kali saya melewatkan bagian perdebatan intelektual Dimas-Reuben dan lebih fokus pada cerita Diva-Ferre-Rana. KPBJ keluar di tengah berkembangnya computer culture di Indonesia, ketika internet sudah semakin umum, termasuk hal-hal seperti bulletin board, hacker, The Matrix, chat room dan sebagainya yang menjadi obsesi baru remaja Indonesia, termasuk saya. Satu hal lagi yang membuat novel ini berkesan adalah penggambaran same-sex relationship di antara Reuben-Dimas yang tidak terjebak pada dinamika cliche dan stereotyping. Satu hal yang cukup personal bagi saya saat itu.

Tak lama KPBJ keluar, muncul sekuelnya yang bertajuk Akar di tahun 2001, namun waktu itu saya sama sekali tidak aware dengan kehadiran buku kedua ini sebelum menonton infotainment yang mengabarkan kontroversi yang menyelimuti kelahirannya. Waktu itu saya sama sekali tidak tergerak untuk membaca, apalagi datang ke toko buku untuk membelinya. Tapi lagi-lagi, universe seperti sengaja menyuguhkannya di depan mata saya begitu saja. Saya membacanya dua tahun kemudian, tepatnya tahun 2004. Saat itu saya sedang libur semester kelas tiga SMA dan menginap di rumah ipar saya. Bosan main game, saya mulai mengecek lemari buku di lantai atas. Ada beberapa novel dan banyak komik Marvel, tapi mata saya tertumbuk pada Akar edisi cetakan pertama dengan simbol ohm masih tertera di sampul. Lagi-lagi out of boredom, saya mengambilnya dan mulai membaca. Di halaman-halaman awal saya masih merasa buku ini murni lanjutan buku pertama, sebelum tiba-tiba saya diperkenalkan dengan tokoh Bodhi dengan segala keunikan dikotomi dan perjalanan lintas negaranya. Narasi di buku ini berjalan lebih linear dan tidak ada timbunan istilah rumit sehingga saya menghabiskan buku ini dalam sekali duduk. Saya terpesona dan menemukan impian baru untuk backpacking (yang belum juga dilakukan sampai saat ini) and basically keinginan untuk keluar dari zona nyaman saya.

Seperti sudah direncanakan, hanya beberapa hari sejak membaca Akar, saya menemukan review tentang Petir, buku ketiga Supernova di sebuah majalah. Hari pertama kembali ke sekolah, saya mampir ke toko buku untuk membeli Petir. Dan lagi-lagi saya tersengat oleh keandalan Dee dalam bercerita. Jika KPBJ adalah perkenalan pertama yang berlangsung acuh tak acuh, maka Akar adalah pertemuan kedua yang memesona, namun baru di Petir akhirnya saya menyadari telah jatuh cinta seutuhnya dengan serial ini. Petir memiliki formula yang sama dengan Akar. Dibuka oleh bab (kepingan) yang berkaitan langsung dengan KPBJ sebelum kita berfokus pada satu karakter baru, yaitu Elektra, gadis dengan obsesi pada petir dan memiliki kemampuan menyembuhkan lewat energi listrik alami pada tubuhnya. Yang menarik, gaya bahasa di Petir bahkan jauh lebih ringan lagi, penuh humor, dan terasa santai seperti atmosfer Bandung yang menjadi latar cerita di buku ini. Di titik ini saya pun baru mengetahui masih akan ada dua buku Supernova lagi yang akan berjudul Partikel dan Gelombang yang memiliki satu tokoh sentral utama, serta Intelegensi Embun Pagi yang akan mempertemukan mereka semua dan menjadi pamungkas cerita.

Selepas Petir, para penggemar Supernova dihadapkan pada penantian panjang yang seakan tanpa akhir untuk menikmati sekuelnya, Partikel. Saya baca Petir ketika sedang belajar serius untuk SPMB, tapi bahkan sampai saya lulus kuliah dan mulai bekerja, Partikel tidak kunjung datang. Penantian itu terjawab di tahun 2012. Delapan tahun lamanya. Bayangkan bagaimana riuhnya respons para penikmat Supernova, terutama karena Partikel hadir di era social media, khususnya Twitter. Antisipasi untuk buku keempat ini hampir tidak bisa dibendung hingga akhirnya 13 April 2012, jam 4:44 sore, Partikel muncul di toko buku dan hal yang saya pikirkan hari itu adalah secepat mungkin ke toko buku untuk membelinya. It was almost emotional dan saya ingat betul rasanya merinding melihat buku itu langsung di depan mata. Partikel mengisahkan Zahra, gadis keluarga Muslim dari Bogor dengan mata jeli yang menangkap hal-hal yang sering luput dari orang awam, secara literal oleh profesinya sebagai fotografer wild life, maupun hal-hal yang lebih bersifat transcendental. Partikel adalah buku yang membuat saya bertanya-tanya tentang alam semesta, konsep agama, dan melihat hal-hal sekitar dengan cara yang berbeda, baik dengan bantuan enteogen maupun tidak. Personally, Partikel adalah buku Supernova yang paling relate untuk saya, so far.

Dalam sebuah email interview yang saya lakukan bersama Dee tentang Partikel, beliau memberi tahu saya jika fokus berikutnya adalah menyelesaikan Gelombang. Dan karena itu tak mengherankan jika Gelombang bisa hadir dalam waktu yang tak terlalu lama dari Partikel. Buku kelima ini hadir tanggal 17 Oktober lalu, namun saya baru membelinya dua hari lalu dan selesai membacanya kemarin. Entah kenapa saya merasa tak ingin terburu-buru membelinya, namun seperti arus pasang, saya terseret Gelombang sejak halaman-halaman awal. Saya tahu jika tokoh utama buku ini adalah Alfa dan selalu membayangkannya sebagai seorang geek yang mungkin ada kaitannya dengan fisika dan beragama Hindu (totally random bet, karena merasa setiap tokoh akan memiliki agama yang berbeda). Saya tak tahu bagaimana setting cerita buku ini karena saya menghindari spoiler di socmed dan bahkan sengaja tidak membaca sinopsis di balik sampulnya saat akhirnya membeli buku ini. Saya ingin mengenal Alfa tanpa pretensi. Tapi, sejak pertama saya tahu jika Alfa ternyata berdarah Batak tulen, langsung terbersit pikiran “Oh wait…. jangan bilang kalau namanya sebenarnya Thomas Alfa Edison…” dan saya secara spontan terkekeh sendirian karena intuisi saya benar.

Yup, Alfa adalah Thomas Alfa Edison Sagala yang lebih akrab dipanggil “Ichon”, anak bungsu keluarga Sagala dari Sianjur Mula-Mula, sebuah kampung di Samosir, Sumatera Utara yang dipercaya sebagai asal muasal lahirnya suku Batak dan masih menganut agama tradisional yang disebut Parmalim. Bermula dari sebuah upacara pemanggilan roh leluhur, kehidupan Ichon si bocah penggemar serial Kho Ping Hoo berubah dengan hadirnya mimpi yang sama berulang-ulang dan kehadiran makhluk gaib misterius bernama Si Jaga Portibi yang seakan mengintainya. Keanehan tersebut ditangkap oleh dua orang dukun yang ingin memperebutkan Ichon sebagai murid, menyisakan Ichon di persimpangan keputusan dan hampir kehilangan nyawanya untuk itu. Insiden yang membuat keluarga mereka memutuskan merantau ke Jakarta, walau tak lama setelahnya Ichon pun pergi lebih jauh lagi ke belahan dunia lain sebagai imigran gelap di Amerika Serikat. Dihantui mimpi buruk yang sama setiap harinya, Ichon alias Alfa alias Alfie belajar mempertahankan diri dengan menahan tidur. Dan dengan kecerdasan alami, keuletan, serta waktu belajar ekstra dari teman-teman sebayanya, ia berhasil mendapat beasiswa penuh di kampus Ivy League sekaligus selamat dari kehidupan imigran gelap yang penuh risiko deportasi dan lingkungan yang dikuasai gang kriminal. Nasib menghempaskan Alfa pada Wall Street, salah satu surga dan neraka dunia dalam arti sesungguhnya, di mana ia meraih sukses sebagai hot-shot trader, gitaris berbakat, sekaligus full-blown insomniac di saat yang sama. Tertidur lelap sama artinya dengan meregang nyawa baginya, karena secara tak sadar ia memiliki suicide program ketika tertidur. Pertemuan dengan seorang gadis luar biasa cantik di sebuah klub rahasia yang membuatnya terbablas tidur dan nyaris mati, mempertemukannya dengan Dr. Nicky dan Dr. Colin dari Somniverse, sebuah pusat kajian yang berfokus pada masalah tidur, mulai dari insomnia, gangguan tidur, mimpi, hingga lucid dream. Perlahan tabir mulai terbuka dengan sendirinya, mengantarkan Alfa ke Tibet untuk menemukan jawaban dari segala mimpinya dan belajar memercayai instingnya sekali lagi.

Selalu ada pengetahuan baru yang saya dapat dari buku-buku Supernova, dalam Gelombang, hal itu adalah mekanisme mimpi, lucid dream, dan kosmologi Batak yang mengagumkan. Gaya penulisan Dee sendiri dalam buku ini terasa sangat fokus dan seakan tak menyisakan ruang untuk bernafas. Klimaks terus terbangun dengan intens hingga buku sudah mencapai ¼ akhir. Bayangkan Inception bertemu dengan Bourne Identity dan Jumper. Unsur fast-paced action itu yang memaksa saya untuk tidak berhenti membaca sampai larut malam, bahkan ketika mata ini sudah lelah dan rasa ngantuk mulai menyerang. Seakan saya bisa merasakan perjuangan Alfa untuk bisa tetap terbangun dan menghindari tidur. Saking cepatnya, entah kenapa ada sensasi fast-forward yang saya rasakan dalam Gelombang, yang membedakannya dari buku-buku sebelumnya yang mengajak kita menikmati perkembangan tokoh utamanya dengan lebih personal. Ada sesuatu yang membuat saya merasa tidak pernah benar-benar mengenal sosok Alfa ketika ia dewasa karena ia hanya terfokus pada mimpinya dan emosinya yang naik-turun. Tidak ada keterikatan dalam level emosional seperti yang saya alami dengan Elektra dan Zahra.

Gelombang terasa seperti paradoks alfa dan omega. Di satu sisi, secara kronologis Gelombang adalah buku terakhir yang berfokus pada satu tokoh (avatar?) utama dan menjadi kepingan terbesar puzzle yang menjawab banyak pertanyaan tentang universe yang dibangun Dee. Di buku ini kita diperkenalkan dengan istilah-istilah seperti Asko, Infiltran, Peretas, dan Sarvara sekaligus beberapa clue yang membuat kita mulai meraba alur cerita sebetulnya dari saga ini. Di sisi lain, Gelombang pun justru terasa seperti babak awal dari buku-buku sebelumnya. Akar, Petir, Partikel adalah cerita yang sebetulnya bisa berdiri sendiri tanpa adanya bab yang berkaitan dengan KPBJ, namun rasanya sulit untuk benar-benar menikmati Gelombang tanpa pernah membaca buku-buku sebelumnya, terutama mungkin Akar, karena dua tokoh penting dalam Akar kembali muncul dalam Gelombang dalam porsi singkat namun sangat menohok bagi siapa pun yang membaca Supernova dengan khidmat. Gelombang seakan ingin menghempas kita untuk kembali membaca ulang buku-buku sebelumnya demi mengumpulkan remah-remah clue yang tercecer.

Terlepas dari beberapa hal yang mungkin terasa ganjil dan menimbulkan beberapa pertanyaan baru, kita semua tahu jika Gelombang adalah awal dari sesuatu yang lebih besar. And I can’t hardly wait for it.

Through The Lens: Amanda Kusai

Amanda Kusai

Among of countless Instagram feeds laden with VSCO Cam and the over-stylized pictures, there’s always some users with their own distinct charms that makes us instantly hit the follow button, endlessly scrolling, and spending a nice few minutes to like every single photos in our screen. Surabaya born and Jakarta based Amanda Kusai is one of them. This young visual artist’s Instagram feeds is nothing but visual feast for the eyes with her signature sense of clean simplicity, subtle twist, irony, and a touch of plants here and there. Recently, she was participating on special project with hashtag #GeographyofYouth where she interviewing and taking photos of the millennial kids.

Works1

 Hi Amanda, how are you? Where are you right now and what were you doing before answering this email?

Hello! I am better than ever, thank you! Right now I’m sitting in my new empty room that’s been mistakenly painted purple and pink instead of white. Before this color tragedy I was underwater swimming like a human dolphin with all the other exotic fishes and saw the most wonderful array of colors reflected and refracted from the corals and sunlight, but then I woke up.

Could you tell me a bit of yourself and your occupation?

In short, people know me by Amanda Kusai instead of Amanda Sutiono. Kusai was a name of a pink swirly poo looking toy I liked and was given, not long after, I retrieved the name thanks to a lovely bunch of people I call my best friends. Well at least it’s a pretty catchy name (I once burst out laughing when a company I applied work for, addressed me as Kusai when I clearly wrote my formal name on my CV and cover letter). I moved quite a lot in the 20 or so years that I’ve lived it’s always exciting but I dream to settle down one day. I am self employed with my best buddy Axel Oswith, we partnered up to run a creative culture hub called The Taable, specializing in art direction + photography, we’ve only just started less than a year ago so wish us luck!

Amanda_Kusai_Instagram_15
What attracted you to photography?

To be completely honest I don’t really classify myself as being too serious, I believe it’s important to be flexible but stubborn in what you believe in. I grew up getting used to photography as a medium to express, explore and to document like a visual diary, and photography has been one of the tool to realize these ideas into actual visual forms that I can share with others to enjoy. Throughout high school I took business and art as my majors and now I already graduated.

What kind of camera you usually use? 

I like going light so I just use my iPhone it does the job simply and seamlessly, unless of course it’s for work I use a full-frame DSLR so that I can have more control over post-production. Leisurely, I use my film cameras, the canon ae1 and rolleiflex.

Amanda_Kusai_Instagram_09
Could you tell me about this #geographyofyouth project?

Geography of youth is an art project (founded by Alan and Morrigan) exploring the millennial generation and how we can relate to each other as youths around the world. I actually have no idea why they pick me but one day I got an email request to be one of the contributors for this project, I’m just grateful for this chance to contribute along with other photographers from Kenya, England, South Korea and Turkey (I have not personally met them). I am also especially grateful that my friend Axel Oswith is supporting me with this project.

Is there any certain quality you looking for from the subject of your photos?

Quirkiness and personality.

Works2

What does its mean for yourself to be the part of the millennial?

I believe being a part of the millennial generation is a step of transition from old customs to new; we are the generation that believes in no limitation to our dreams in search for the best.

What else you’re doing beside photography?

Surviving life in general and helping my mother with her floral business.

Next or other projects?

Planning to formally launch our company: The Taable by the end of this year, and perhaps a visual project that has something to do with moving images.

Amanda_Kusai_Instagram_21Follow her on Instagram: @amandakusai

On The Records: Jonathan Kusuma

Lewat berbagai project yang ia geluti, Jonathan Kusuma berusaha menghidupkan denyut lain dari skena musik Jakarta yang terluput oleh orang banyak.

Tanpa adanya plang bertuliskan Rossi Musik, mungkin orang akan sedikit kesulitan saat mencari gedung di Jalan Fatmawati Raya nomor 30 tersebut. Hanya dinding penuh graffiti dan serakan gig flyers di parkiran yang meyakinkanmu jika kamu telah sampai di Rossi Musik, salah satu hot spot bagi skena musik underground Jakarta beberapa tahun terakhir ini. Dari luar, bangunan ruko tersebut tampak sunyi, padahal di dalamnya bercokol sekolah musik, studio rekaman, dan venue musik yang sering dipakai untuk gig berbagai macam genre; mulai dari metal, grunge, hardcore, hingga elektronik dari band-band domestik maupun luar negeri. Seiring waktu, Rossi Musik pun berkembang menjadi salah satu simpul budaya musik sidestream ibukota dan melahirkan satu skena musik tersendiri yang terdiri dari para musisi eksperimentalis dengan warna musik yang berbeda. Menaiki sebuah elevator tua yang berderit cukup mengkhawatirkan, saya sampai di lantai 3 gedung tersebut untuk menemui Jonathan Kusuma yang merupakan salah satu tokoh kunci di skena yang sedang berkembang ini.

Biasa dipanggil Ojon, pria kelahiran Jakarta 13 Juli 1983 tersebut adalah seorang komposer, multi-instrumentalis, DJ, dan desainer grafis yang dikenal sebagai separuh nyawa dari Space System, sebuah duo electronic garda depan yang ia bentuk bersama rekannya Aryo Adhianto. Tak berhenti dengan membuat musik di Space System maupun solo project atas namanya sendiri, passion musikalnya juga diwujudkan dengan menjadi co-founder dari Space Records, sebuah label independen yang menampung musisi cutting edge lokal dari berbagai genre, serta Akamady Online Music Store yang bisa dibilang online record store pertama di Jakarta. Di ruang kantornya yang dipenuhi tumpukan plat,saya pun berbincang tentang bagaimana ia memandang project yang ia tekuni dan kaitannya dengan skena musik Jakarta saat ini.

Boleh cerita dari kapan mulai terjun ke musik? Dan kenapa memilih elektronik?
Dari SD sebetulnya udah mulai ngeband, tapi baru nyadar kalau ini yang pengen gue lakukan baru sekitar 7 tahun terakhir. Kalau akhirnya mulai bikin musik elektronik, dulu waktu SMP gue pernah dipinjemin alat namanya Groovebox sama temen gue. Tapi waktu itu belum ngerti kalau ini musik elektronik atau apa, masih buyar lah, belum paham klasifikasi musik. Baru beneran mulai pas ketemu partner gue di Space System sekarang, Aryo. Dia yang paling banyak ngajarin gue musik. Kenapa elektronik, soalnya gue lahir di zaman yang apa aja yang lo temuin di kehidupan sehari-hari itu berhubungan sama elektronik. Lo bisa bikin suara pake handphone atau apalah. Jadi kebetulan aja gue besarnya di abad segini dan rasanya cocok.

So, which came first: Space System or Space Records?
Space System. Jadi Space Rec itu awalnya ada untuk merilis materi Space System, sesimpel itu. Kita waktu itu bertiga, yaitu gue, Aryo, sama sahabat SMA gue namanya Pattra Pangestu, dia yang jadi manajer Space System sekarang dan running Space Rec secara total. Dari yang awalnya untuk merilis Space System aja, terus Space Rec jadi nyari teman-temannya Space System yang lagunya mirip dan berpotensi. Awal-awal yang gabung juga teman-teman kita sendiri kaya Voyagers of Icarie atau Svarghi yang kebetulan roommate-nya Aryo di Bandung. Abis itu ada Curah Melodia Mandiri alias Abim, dia kebetulan yang mengelola gedung ini (Rossi-red). Kita ketemu Abim karena dikenalin Gerhan Ferdinal yang studionya di sebelah kita. Gerhan yang bikin Akamady juga.

Apa misi utama dari Space Rec?
Awalnya cuma buat rilis lagu-lagu lokal dan untuk bisa wadah atau inspirasi. Kalau misi utamanya, bukan klise ya, tapi sejujurnya pengen majuin musik Indonesia. Mungkin emang susah banget, tapi harus ada yang mulai.

Banyak yang bilang kalau musik-musik Space Rec cenderung eksperimental dan susah dimengerti orang awam.
Itu susah menjelaskannya sih kenapa kita milih musik-musik ini, gue pribadi masih susah merumuskannya. Kadang kalau dari struktur lagunya sih agak nggak mirip, tapi ada satu benang merah dan rasa connect yang susah dijelasin sama kata-kata. Kalau dibilang eksperimental, bermusik itu sendiri menurut gue udah bereksperimen. Yang paling menjelaskan mungkin ada karakteristik dari musisi-musisinya, maksudnya sikap mereka sebagai musisi itu gimana, itu yang biasanya jadi penilaian. Jadi dia beneran serius di musik nggak atau ngeliat musik kaya apa, lebih ke situ sih kaitannya. Gue sering nemu orang sini bikin musik bagus di Soundcloud atau apa tapi ya udah gitu aja. Nggak ada pertanggungjawaban dia atas karyanya. Dirilis kek, reply ke orang kek, kasih ke record label gitu, haha. Jadi kurang konsisten sih. Tapi emang susah, balik lagi bermusik di Jakarta saat ini susah, apalagi bermusik tanpa mau dengerin kata publik.

Records

Menurut lo sendiri, gimana sih scene musik Jakarta sekarang?
Bisa dibilang banyak sih. Banyak yang bikin ini itu tapi kurangnya menurut gue masih kurang bergabung, itu klise juga, tapi kaya ada semacam barrier yang misahin scene A, B, dan C. Kurang integrated, soalnya kalau dilihat masing-masing scene sama-sama berpotensi cuma kaya nggak gabung aja. Kita jadi nggak bisa saling introspeksi atau kasih feedback di musik. Orang luar negeri juga akan mengenali music scene Jakarta kalau rame-rame. Kalau kecil gitu nggak akan dibilang scene. Makanya harus join, bedanya itu. Kalau orang luar kan kaya integrated gitu ya musik, art, visual, dance, semua jadi satu. Makanya penyebaran dan promosinya bisa booming.

Bagaimana dengan tanggapan kalau Rossi Musik dan Space Record disebut sebagai bikin scene sendiri?
Itu kebetulan terjadinya gitu, kita nggak merencanakan apa-apa. Kaya gue sama Gerhan kenalannya waktu manggung bareng. Gue suka banget lagu-lagunya dia dan ngajak kenalan. Kebetulan kita orangnya sama-sama bisa dibilang ansos, jadi scene-nya sebenarnya kita-kita aja, tapi kalau misalnya ada yang wah kayanya orangnya bisa diajak ngobrol nih, kita terbuka-terbuka aja. Kita pengennya juga terbuka. Kalau mungkin kita keliatannya tertutup, kita nggak bermaksud gitu. Kita tetap pengen saling interaksi.

Okay moving on, boleh cerita soal Akamady?
Akamady inisiasinya dari Gerhan. Dia sebenarnya DJ yang lama di San Francisco. Pas dia di sana, scene dance-nya SF lagi booming banget, ketika pulang dia bawa culture record collecting yang di sini saat itu gue sama Aryo kalau nyari lagu itu kayanya susah banget. Kita suka dengerin mixtape orang yang lagunya bagus-bagus banget, sampai hafal lagunya tapi nggak ada yang tau itu lagu apa. Gerhan dateng, dia sharing tentang musik, bawa plat dan akhirnya pengen buka record store. Awalnya seperti itu, tapi kita nggak mau kalau musik terbatas harus plat. Mulai dari CD, kaset, atau lo burn CD di rumah terus dihargain berapa, itu bisa kita jual. Sampai alat musik, kabel, dan kebetulan tahun ini kita baru rilis record-nya Gerhan. Jadi Akamady akhirnya punya sub sendiri, Akamady Records yang tahun ini dijadwalin sekitar 5 rilisan, plat semua.

Jadi apa bedanya antara musik yang dirilis Space Rec dan Akamady Records?
Bedanya? Kalau yang gue liat secara pribadi, kalau Space Rec musiknya lebih serius, dalam arti ada karakteristik eksperimentalnya dan pendalaman teknis atau yang komposisinya lebih nggak biasa. Kalau Akamady gue liat komposisinya lebih 4/4 atau lagu-lagu yang dance. Kita kantornya juga barengan, jadi bisa saling interact. Misal Space Rec ada artis yang kira-kira cocok buat Akamady, kita bisa kasih referensi atau sebaliknya. Jadi udah punya perannya masing-masing. Menurut gue perlu lebih banyak record label yang saling integrated.

Akamady

Menurut lo masih penting nggak sih bentuk fisik album di era digital sekarang?
Penting tapi nggak harus. Penting dalam arti kadang musik yang berbentuk itu lebih ada rasanya. Kalau gue nge-DJ, gue lebih suka masukin CD karena gue bisa lebih hafal lagunya, gue jadi lebih bisa mendekatkan diri ke materi lagunya.

Bagaimana Akamady melihat kultur record collecting lokal?
Menurut gue masih terpaku vinyl. Bukan collecting music tapi lebih ke collecting records. Kalau gue lebih setuju collecting music, mau bentuknya kaset atau CD. Yang paling penting kan musiknya, bukan cover atau bukan vinyl-nya. Scene di sini jujur masih vinyl-oriented banget terus gue sering overheard kaya ada kesan kalau musik digital itu jelek. Gue setuju kalau musik digital yang pembajakan, itu memang nggak bagus tapi kalau buat orang yang emang beli musiknya di iTunes gimana? In the end, it’s about the music itself.

Apa tantangannya dengan memutuskan jualan record secara online?
Itu sampai sekarang masih perlu strategi sih. Kultur ini kan dari dulu udah ada aturannya kalau kita dateng ke record shop, liat-liat cover, cobain, terus ngobrol sama penjaganya, dapet rekomendasi. Itu yang masih susah karena kita nggak bisa kasih pengalaman itu secara digital, lewat internet apalagi. Susah banget ngajak orang buat digging music secara digital tapi untuk vinyl. Itu aja udah aneh karena udah ganti media berapa kali. Sekarang strategi kita dari Facebook page-nya kita coba post video tentang kulturnya. Kalau ada artikel tentang electronic kita share atau kalau kebetulan kita ada rilisan Kraftwerk misalnya, kita kasih brief sejarahnya Kraftwerk. Sebagai proses pembelajaran di musik juga.

Last, apa harapan lo untuk skena musik Jakarta?
Harapan gue music scene Jakarta selain maju, gue pengen kita punya karakter Indonesia. Karakter itu nggak harus batik atau wayang atau gamelan lah, itu bisa aja hanya simbol. Karakter Indonesia dalam arti sifat Indonesia yang sekarang, kaya budaya gotong-royong atau kesopanannya, karakter seperti itu yang udah di-translate ke art & music. Kita maju tapi tetap dengan karakter Indonesia. Jangan kita maju tapi cuma minjem karakter Barat. Kalau gitu kan jadi cuma copycat.

https://soundcloud.com/jonathan-kusuma

Foto oleh: Sanko Yannarotama

As published in Nylon Indonesia March 2014

Space. Recommended
Sejak dibentuk tahun 2006 silam, Space Records telah menjadi rumah bagi musisi-musisi seminal dalam negeri dari berbagai genre dengan karakter distinctive. Berikut adalah beberapa di antaranya:

pantai

Curah Melodia Mandiri
Curah Melodia Mandiri (CMM) adalah solo project dari Syafwin R. Bajumi yang menghasilkan bebunyian elektronik tidak biasa dengan instrumen utama sebuah Gameboy dan Nanoloop 1.3. Ia menjelaskan musik Chiptune yang ia ramu sebagai bunyi sintetis lo-fi berpadu dengan idenya akan musik tradisional kontemporer. Lewat beberapa rilisan seperti Pantai EP dan album debut Mashed yang kental akan elemen musik tradisional lokal, CMM merumuskan cetak biru dari musik Chiptune rasa Indonesia.

Duck Dive

Duck Dive
Bagi Muhammad Fahri alias Gonzo yang membuat musik dengan nama Duck Dive, kecintaannya pada bunyi lautan dan misteri di dalamnya menjadi inspirasi terbesar dalam musik ambient/electronic yang ia buat. Album debut yang dirilis tahun 2007 bertajuk Inner Projections yang berisi deburan repetitif melodi dan influens dari era awal munculnya genre electronic mengajak kita menyelami musik elektronik sebagai sebuah sesi eksperimen suara dan nalar.

https://soundcloud.com/duck-dive

SPACE SYSTEM
Space System
Merefleksikan diversitas budaya yang membentuk Jakarta hari ini, Space System menggabungkan berbagai elemen dan genre musik seperti electronic, jazz, krautrock, dance, psychedelic, hingga Gamelan menjadi racikan eklektik dari musik yang mereka sajikan. Terbentuk dari tahun 2005, Space System yang dibentuk oleh Aryo Adhianto dan Jonathan Kusuma yang pada perkembangannya turut diperkuat oleh Erlangga Utama dan Gerinov Medaimanto berhasil menempatkan nama Jakarta di peta musik dunia.

https://soundcloud.com/spacesystem

Suarasama

Suarasama
Diprakarsai oleh Irwansyah Harahap dan Rithaony Hutajulu yang keduanya merupakan dosen Etnomusikologi di Universitas Sumatra Utara, Suarasama merupakan kolektif musisi yang menghasilkan musik kontemporer dengan pendekatan world music serta elemen dari musik tradisional Sumatra Utara. Album Timeline yang dirilis tahun 2013 lalu adalah perayaan ulang tahun ke-18 mereka sekaligus bab baru dalam pembelajaran musik Indonesia.

http://www.last.fm/music/Suarasama

Komodo

Komodo
KOMODO merupakan dub disco house project dari Gerhan Ferdinal, seorang DJ Jakarta yang menyerap influens dari pergerakan kultur dance San Francisco di tahun 90-an. Telah mulai menjadi DJ di program Reggae Revolution di klub legendaris Jakarta bernama Parc, menjadi awak Quirk It! Sound System, hingga saat ini membentuk Akamady Online Music Store, Gerhan tak berhenti memajukan skena musik elektronik Jakarta.

https://soundcloud.com/space-rec/komodo-music-akamady

On The Records: Agustin Oendari

Agustin Oendari

Agustin Oendari merangkum esensi penuh rasa dari Jakarta kala malam.

“Oendari adalah gadis Virgo asal Jakarta, dari lahir sampai umur awal dua puluhan tinggal di kota yang sama, di lingkungan yang sama, dalam rumah yang sama, sampai akhirnya memutuskan untuk mandiri, pindah ke pinggir barat ibukota, ke sebuah kawasan mandiri bernama Karawaci. Gadis yang berkacamata sejak SD ini nggak suka panas tapi juga nggak bisa kedinginan, nggak suka pedes tapi doyan nasi padang, nggak suka bau durian tapi toleran sama aroma pepaya, nggak suka berantakan tapi mobilnya kayak kapal pecah, takut minum obat yang pahit tapi suka kopi hitam tanpa gula. Rumit ya. Iya, memang,” tandas Agustin Oendari dengan gamblang saat mendeskripsikan dirinya sendiri dari sudut pandang orang ketiga.
Nama singer-songwriter berusia 25 tahun ini mungkin masih asing bagi kalangan umum. Kariernya memang lebih banyak di belakang layar dengan menjadi manajer band, vokalis latar, mengurus kontrak kerja sama produksi atau men-direct program sebuah studio musik di bilangan Karawaci yang bernama Roemah Iponk. Namanya menarik perhatian saya semenjak saya menonton film Selamat Pagi, Malam garapan Lucky Kuswandi yang tayang pada bulan Juni lalu. Film tersebut menceritakan satu malam di hidup tiga orang perempuan Jakarta (Adinia Wirasti, Ina Panggabean, dan Dayu Wijanto) yang kerap bersinggungan satu sama lain tanpa mereka sadari. Diwarnai dengan berbagai scene Jakarta di malam hari yang ramai benderang tapi juga sepi dan muram serta dialog yang akan mengusik pikiran warga Jakarta, film ini diperkuat oleh lagu tema berjudul sama yang digarap oleh Oendari dan rekan bermusiknya, Ivan Gojaya.
Musik akustik yang tenang dengan vokal lirih Oendari yang seakan berbisik itu terlihat kontras saat melatari scene gedung-gedung perkantoran, jalanan padat, dan lalu-lalang penduduk Jakarta yang sibuk dengan urusan masing-masing, menciptakan jukstaposisi bagaimana Jakarta bisa membuat kita bisa merasa begitu kesepian di tengah keramaian. Bagaimana kita setengah mati mencari kedamaian di antara bising yang mengepung kita. Oendari menerjemahkan esensi Jakarta yang ingin diceritakan oleh sang sutradara ke dalam sebuah balada akustik dengan melodi dan lirik yang bittersweet. Saya pun tergerak untuk mengenalnya lebih jauh lewat sepucuk surat elektronik.

Hi Oendari! Apa kabar? Lagi apa sebelum balas email ini?
Hai, Alex. Aku baik-baik, sehat-sehat, bahagia. Sejujurnya, (walaupun udah siang) aku belum lama bangun, setelah semalaman begadang karena ada yang harus dikerjakan. Sebelum balas email ini, Aku baru sarapan: home-made scrambled egg with button mushroom, pakai selembar toast, dan beberapa butir cherry tomatoes; gak lupa kopi hitam (kalau gak pake kopi hitam, pasti hari ini rasanya malah jadi muram).
Oh ya, jangan tanya apa aku yang masak semua benda-benda itu, karena jelas bukan aku. Haha. Peranku di dapur sementara ini cuma sampai di tahap chef-assistant, sekadar doing the cooking preps. Tangannya belum cukup dingin untuk mengerjakan masakan-masakan, bahkan yang sesederhana sarapan tadi. Hihi.

Bermusik sendiri sejak kapan? Dan apa yang mendorongmu?
Dulu, waktu masih berumur kira-kira tiga tahun, aku suka banget ngomong sendiri, teriak-teriak, dan nyanyi-nyanyi di depan cermin. Melihat itu, Mama lah yang pertama punya inisiatif untuk memasukkan aku ke dalam komunitas paduan suara gereja, yang akhirnya menjadi semacam rumah kedua selama tujuh belas tahun berikutnya. Ketertarikanku terhadap menyanyi makin berkembang ketika aku mulai tergabung di dalam band, pada masa-masa SMP sampai kuliah. Di dalam komunitas-komunitas itu, aku menemukan bahwa aku betul-betul menikmati menyanyi, bahwa menyanyi bisa sewaktu-waktu melepaskan aku dari dunia nyata, bahwa menyanyi membuat aku tetap waras menghadapi hari-hari sulit.
Seiring dengan latihan vokal yang aku jalani sejak kecil, aku juga dimotivasi oleh Mama untuk belajar instrumen musik. Dua instrumen yang pernah aku kenal seumur hidupku adalah piano – instrumen yang aku pelajari selama kurang lebih tiga tahun melalui kursus privat, tapi kemudian aku berhenti di tengah jalan karena, berdasarkan yang aku ingat, di rumah guru lesnya ada anjing galak – dan gitar – instrumen yang sebetulnya aku nikmati selama kurang lebih lima tahun, tapi apa daya, sejak kuliah dengan jadwal sebegitu padat, instrumen ini sudah tidak aku kenal lagi sekarang –. Namun, setelah mengenal dua instrumen itu pun, aku tetap lebih tertarik menyanyi (walaupun sebetulnya membantu sekali lho, menyanyi plus juga bisa memainkan alat musik). Sekarang ini, aku menyentuh piano cuma kalau lagi bosen atau lagi membuat draft lagu. Itu pun jarang banget. Jadi, sementara ini, my instrument’s only in my mind, my body, my spirit: my voice. Hehehe.

Kalau influens bermusikmu siapa saja?
Soal influence, banyak banget dan multigenre sih, sebetulnya. Waktu kecil, ada beberapa musisi yang kasetnya harus banget ada di rumah dan didengerin hampir setiap hari, antara lain David Foster, Earth, Wind, & Fire, Chicago, The Carpenters apa lagi ya. Kadang-kadang, kalau Papa lagi pingin dengerin yang lebih lawas, berkumandang jugalah Jim Reeves, Elvis, Sinatra. Aduh. Apa lagi ya. Banyak sih. Bertumbuh remaja sampai dewasa, aku mulai mengenal Norah Jones, Cranberries, Nelly Furtado, Alanis Morissette, No Doubt, Eminem, Linkin Park, Evanescence, lalu muncul Keane, John Legend, John Mayer, Corinne Bailey Rae, Amy Winehouse, Mara Carlyle, Ingrid Michaelson, Sara Bareilles, Fleetfoxes, The Paper Kites, High Highs, Kimbra. Banyak dan multigenre kan.
Gak berarti aku gak suka musik Indonesia, justru beberapa tahun belakangan lagi kepincut banget dengerin Payung Teduh, Sore, dan White Shoes & The Couples Company. Tapi, yang gak pernah gagal memesona aku sampai sekarang adalah Eyang Titiek Puspa dan Alm. Chrisye.

Aku jujur saja baru dengar nama kamu pas di film Selamat Pagi, Malam ini, bagaimana ceritanya sampai bisa terlibat di project ini?
Nah, Selamat Pagi, Malam ini memang proyek film pertama yang aku kerjakan. Sebelumnya, aku lebih banyak di belakang layar: nyambi juga jadi manajer band, ngurusin kontrak kerja sama produksi atau direct program studio, semuncul-munculnya aku di depan khalayak paling sebagai background vocalist doang.
Jadi, sebetulnya, keterlibatan aku di dalam proyek film Selamat Pagi, Malam itu rasanya semacam kebetulan banget (meskipun gak ada yang kebetulan ya di dunia ini, hehe). Nah, kalau diceritain di sini, bakal jadi panjang banget. Kalau kamu berkenan, aku menyarankan kamu untuk membaca tulisan mengenai ini di petikanbulan.com, ada empat post yang nempel di halaman pertama mengenai ini. Sudah lengkap di situ semua, Lex.

What’s the inspiration untuk liriknya? Aku suka karena musiknya benar-benar mewakili rasa Jakarta di malam hari sepulang kantor.
Ketika menuliskan lirik “Selamat Pagi, Malam”, inspirasi terbesar datang dari filmnya sendiri. Toh, bagaimanapun, lirik lagu ini kan mesti erat hubungannya dengan si film. Jadi, memang, ketika itu, bahan diskusi-diskusi (dengan Ivan Gojaya, yang menciptakan musik untuk lagu ini) selama pra-produksi lebih banyak mengenai filmnya sendiri.
Buat aku, hal paling inspirasional dari filmnya sendiri adalah cara Lucky Kuswandi menampilkan bagaimana setiap aktor membuka topengnya masing-masing ketika satu malam turun di Jakarta: sangat jujur, sangat berani, dan sangat manusiawi. Ketika nonton filmnya, aku langsung berpikir, “Oh, betapa manusia Jakarta: hidup beramai-ramai dalam kesendirian masing-masing. Tapi, di film ini, peran-peran ini, hanya pada satu malam saja menemukan ruang kosong dan saling berbagi kesendirian di situ. Meski cuma buat satu malam itu aja. Besoknya, mungkin mereka kembali pada topeng-topeng sepinya masing-masing. Gak ada yang tahu.” Betapa, meskipun nyata, buat aku, itu rasanya sedih dan tragis. Nah. Rasa sedih dan tragis ini sebetulnya yang melandasi penulisan lirik “Selamat Pagi, Malam”.

Kalau Oendari sendiri melihat hidup di Jakarta itu seperti apa?
Hidup di Jakarta itu ibarat pacaran lama sama orang yang kita betul-betul cinta. Cinta sih, tapi karena terbiasa dan sudah lama bareng, jadi gak sungkan lagi saling menyakiti satu sama lain. Tapi, kalo yang satu pergi dari yang lain, rindu tetap ada.
Yang paling aku rindu dari Jakarta adalah memorinya. aku kurang lebih dua puluh tahun hidup di Jakarta, sebelum pindah ke pinggir kota. Banyak kenangan di berbagai sudut-sudut Jakarta: yang baik ataupun yang buruk, semuanya dari itu membentuk aku jadi aku yang sekarang. Kaya yang Anggia bilang di dalam film, ketika merenungkan masa-masa yang lewat di tempat-tempat yang pernah kita lalui di Jakarta, pada akhirnya Aku bisa bilang: life was so carefree – no heartbreak – no drama. Itu rasa yang ngangenin.

 Bicara soundtrack film, kamu paling suka OST film apa? What makes a good soundtrack?
What makes a good soundtrack. Hmmm. Good question. Hopefully, this won’t be a bad answer. Hahaha. Based on my first experience in SPM dan sebagai penikmat musik film aja yah, Lex. Buat aku, dalam membuat soundtrack, hal terpenting yang mesti aku ingat adalah: aku harus bertanggung jawab terhadap filmnya; aku harus bertanggung jawab (plus, super jujur) terhadap hatiku dan pikiranku sebagai penikmat filmnya; dan aku harus bertanggung jawab terhadap kata-kata dan melodi yang akan aku nyanyikan.
Soundtrack favorit yang keinget sampai sekarang: Landon Pigg & Lucy Schwartz – Darling, I Do. Kalau gak salah, itu soundtrack-nya Shrek, entah yang keberapa. Kenapa? Simply, it’s romantic.

Next project apa saja?
Hmmm. Next project. Setelah ini, sudah ada rencana rilis karya baru. Masih dengan format dan tema yang kurang lebih sama dengan karya untuk film Selamat Pagi, Malam. Doakan segera muncul titik-titik terang ya untuk ini.

http://petikanbulan.com/

Foto oleh Teddy Setiadjie

On The Records: Ramayana Soul

ramayana-soul-2

Memadukan bunyi musik tradisional India dengan musik rock Inggris mungkin sama sekali bukan hal yang asing seperti yang sudah lama dipopulerkan oleh The Beatles di akhir 60-an atau band Britpop Kula Shaker yang melejit di 90-an dengan single “Govinda” yang berbahasa Sanksrit, namun tetap saja rasanya selalu menyenangkan mendengar paduan sitar yang magis dengan sounds gitar yang modern. Adalah Ramayana Soul, band raga-rock/psychedelia gagasan Erlangga Ishanders yang sebelumnya dikenal sebagai gitaris band indie legendaris Jakarta bernama Pestolaer yang membawa formula tersebut ke ranah lokal. “Jujur awalnya nggak ada kepikiran, semua ngalir kaya air karena ada kesempatan. Singkat kata, semua berawal dari musik kamar seperti biasa. Yang pada akhirnya solid terbentuk sebagai band di 2010,” ungkap vokalis yang akrab disapa Angga tersebut. Melihat langsung penampilan live mereka yang membius di mana Angga dengan bertelanjang kaki akan bergantian memainkan sitar dan keyboard atau justru bernyanyi cuek sambil menari diiringi nyanyian chanting dari Ivon Destian dan aransemen padu dari 3 personel lainnya, its enough to take you to higher realm of sonic and stay grounded at the same time. “Kalau dibilang influens mungkin jadi rahasia dapur, tapi kalau yang membangkitkan adalah beberapa musisi yang notabene di luar sana kalau ngomongin agama sulit tapi mereka bisa. Kenapa kita yang di sini yang lebih beragam kok nggak bisa? Contoh kaya Ray Charles besar dari dunia gospel dan Enya yang segitu ribetnya dunia dia bisa lurus bikin sesuatu tanpa mandang bulu agama,” ungkap Angga tentang warna musik mereka. Setelah baru-baru ini merampungkan kolaborasi eksklusif dengan Studiorama Sessions dalam bentuk video musik, band ini pun dicanangkan tampil dalam gelaran Studiorama Live kelima pada tanggal 18 Oktober nanti di Rossi Musik Fatmawati.

WHO: Erlangga Ishanders (vokal, sitar, gitar, harmonium, tabla), Adhe Kurniawan (gitar), Ivon Destian (vokal), Kaisar Irfan Tirtamurti (bass) dan Sultan Bimo Kamil (drums, tabla).

WHERE: Jakarta.

INFLUENCES: The Stone Roses, Kula Shaker, George Harrison, Ian Brown, Ravi Shankar, Enya. “Yang paling nggak bisa munafik adalah psychedelic, itu akarnya. Cuma kita bukan hippies, kita bukan bohemian, kita nggak mencoba untuk jadi mereka,” cetus Angga.

BEHIND THE NAME: “Itu sebetulnya ‘kepeleset’ aja nggak tau kenapa, jadi waktu dianjurin temen buat main di acara ditanya ‘nama band lo apa?’ nah Ramayana Soul ini yang keluar. Nggak ada arti yang spesifk, cuma terbersit seketika.”

LISTEN THIS: “Jaya Raga Jiwa” yang menenangkan seperti mantra, “Mawar Batu” yang dari judulnya seakan terinspirasi dari The Stone Roses dan “Aluminium Foil” dengan aransemen psych rock dan peralihan vokal mencengangkan dari berbisik hingga lantang berteriak. “Lagu itu bercerita tentang beberapa kaum yang menjauhi fitnah sebagai loyalitas terhadap Penciptanya. Dan beberapa cerita tentang kaum yang nggak bisa lepas dari madat,” ungkap Angga.

LOCAL MUSIC HEROES: “Udah jelas Rhoma Irama. Kalau dibilang suka musiknya sih nggak, tapi kok dia bisa berpikir segitu jauhnya. Pas banget waktu musik India dateng, teknologi rekaman di Indonesia lagi maju-majunya sampai Rhoma Irama juga dapat serapan dari Deep Purple hingga akhirnya dangdut terlihat kaya gitu, nggak yang Melayu atau terlalu stagnan.”

HOMETOWN GLORY: “Kita ngeliat scene sekarang udah beragam dan lebih berani dari sisi positif tentunya.”

BEST GIG: “Semua gigs berkesan, tapi sejauh ini yang lebih berkesan kita main di acara Polpang vol. 1 pemutaran acara film Amuk, karena menurut kita sangat menyenangkan dan apresiasif.”

NEXT PLAN: “Sejauh ini kita nggak pasang target sebagai hal yang idealis. Yang penting jalan aja. Album adalah next target. Kita akan mengeluarkan full album bekerjasama dengan Wasted Rockers Records berisi 8 materi yang rampung dan juga dibantu beberapa kawan kita dari Sineping yang membantu pembuatan video klip single kita nantinya.”

https://soundcloud.com/ramayanasoul

Art Talk: The Britpop Sensibility of Danu Labda

Danu Labda

It’s kinda hard to imagine if you never have at least one favorite Britpop song, terutama kalau kamu termasuk generasi 90-an yang beranjak remaja ketika genre asal Inggris tersebut tengah mendominasi tangga lagu di seluruh dunia. Dengan aksen Inggris yang kental, lirik yang mencerminkan kehidupan anak muda marginal, dan terutama karena aransemen yang catchy, band-band Inggris Raya seperti Oasis, Blur, Radiohead, Suede berhasil menjadi fenomena kultur pop tersendiri yang melawan dominasi budaya pop Amerika. Tak hanya di negara asalnya, Britpop pun menjadi bagian dari gerakan Cool Britannia di seluruh dunia, ketika apapun yang berbau Inggris dianggap cool, termasuk di kalangan remaja Indonesia di akhir 90-an di mana musik Britpop menjadi populer dan banyak band indie lokal saat itu yang secara langsung maupun tak langsung terinfluens Britpop. Rasanya, siapa saja yang sudah menginjak usia sekolah ketika di akhir 90-an dan awal 2000-an akan dengan mudah menyebut lagu atau band Britpop favorit mereka, which at some point represent our younger days. Danu Labda adalah salah satunya. Desainer grafis, ilustrator, dan art director di salah satu advertising agency Jakarta ini menuangkan kecintaannya pada Britpop dalam bentuk ilustrasi digital yang menampilkan sosok-sosok ikonik Britpop dalam gaya line art yang terlihat seperti goresan cat air. Thom Yorke, Jarvis Cocker, Morrissey, dan dua bersaudara Gallagher yang digambarnya dengan mencantumkan biografi singkat masing-masing terasa sebagai sebuah tribute yang menyenangkan dan membuatmu ingin membuka lagi playlist musik Britpop di iPod-mu.

Thom Yorke

Apa yang pertama kali mendorongmu untuk menjadi ilustrator?
Pertama kali banget waktu gue kecil gue selalu suka sama film-film superhero masa-masa generasi 90-an kaya Kamen Rider Black, Saint Seiya, dll. Gue nggak pernah ketinggalan ngikutin film mereka, kalau ketinggalan bisa nangis. Sampai suatu saat gue dibeliin kaos jagoan-jagoan masa kecil gue, di situ gue coba bikin gambar mereka di kertas pake referensi yang ada di kaos. Dari situ jadi suka gambar-gambar tokoh-tokoh kesukaan gue, setelahnya gue mulai banyak gambar macem-macem, nggak cuma tokoh-tokoh fiksi kesukaan aja tapi gue mulai mencoba gambar keadaan di sekitar gue dan musisi kesukaan gue.

Apa yang menjadi influens kamu dalam berkarya?
Dalam mendesain, influens gue adalah manusia itu sendiri karena desain yang sukses itu adalah desain yang berhasil mengomunikasikan pesannya kepada audiens. Sedangkan dalam ilustrasi kebanyakan karya gue terinfluens oleh beberapa seniman kontemporer dan surealis seperti Conrad Roset, Florian Nicolle & Salvador Dali.

Dari sekian banyak genre musik, kenapa Britpop? What’s your personal story about it?
Sebenarnya gue suka eksplorasi musik-musik yang gue denger. Gua coba dengerin ini, gue coba dengerin itu, coba dengerin lagu dari ranah Eropa & Amerika. Tapi kalau ditanya kenapa Britpop jadi yang paling favorit mungkin lirik-lirik dari lagu-lagu band asal British ini yang paling merefleksikan beberapa kejadian di kehidupan gue. Oasis “Stand By Me” itu lagu pertama yang gue denger yang bikin gue jatuh hati sama lagu-lagu mereka sampai sekarang. Lagu lainnya yang bisa bikin emosi gue naik-turun di setiap lirik-lirik juga iramanya dan bersinggungan dengan kehidupan dan orang-orang terdekat gue.

Noel GallagherJarvis Cocker Liam Gallagher

Dari Britpop series ini, karya mana yang pertama dibuat dan apa ceritanya sampai tercetus ide project ini?
Ilustrasi yang pertama kali dibuat itu yang Thom Yorke, kadang kalau gue lagi suka sama sebuah lagu gue suka ekspresiin apa yang gue suka, waktu itu lagi suka-sukanya album solo Noel Gallagher yang Noel Gallagher’s High Flying Birds dan kebetulan Noel Gallagher akan berulang tahun, jadi gue iseng-iseng bikin ilustrasi buat Noel, eh tanpa disadarin kok kayanya asik ya bikin full series legenda-legenda British pop ini. Tapi nggak sempet jadinya yang kesampean baru 4 orang, haha.

Sejauh ini project paling berkesan yang pernah kamu kerjakan apa saja?
Wah semuanya berkesan tapi dengan cara yang berbeda-beda, mungkin yang baru-baru ini gue kerjain ya, bikin 50 ilustrasi tentang Hari Kartini, dikerjain dengan deadline yang cuma 6 hari, selama 6 hari itu jam tidur gue nggak beres dan hampir sakit-sakitan, haha. Klien gue di sini sebuah graphic house dari Jakarta dan gambar gue ini bakal dipake oleh 50 anak yatim piatu dalam bentuk t-shirt.

Oh ya, kamu juga punya dua project yang disebut Kojay dan Ikidolanan, boleh diceritakan?
Haha ini sebenarnya 2 projek itu projek alterego gue aja sih, gue suka koleksi action figure dan gue suka komik. Kalau kojay (komikjayus) karena gue suka komik dan gue pengen bikin komik, tapi nggak punya terlalu banyak waktu buat merealisasikan komik yang serius gitu makanya gue bikin komik yang becanda aja. Ini juga projek gue sama temen-temen gue yang lain yaitu Amer Risnadi, Nino Aditya, Afda Trihatma. Kalau Ikidolanan itu projek web series gue sama Amer Risnadi & Adri Putra, isinya ngomongin dan ngebahas action figure di YouTube.

What’s your dream project?
Membuat sebuah ilustrasi raksasa dan berkolaborasi dengan Konrad Roset mungkin haha, who knows?

Apa project lain baru-baru ini?
Lagi ngejalanin ilustrasi untuk Jazz Goes To Campus 2014 & beberapa ilustrasi untuk brand Monstore.

JGTC 2014

Danu’s favorite Britpop songs:
Oasis – Stand By Me
Pulp – Like a Friend
Beady Eye – Blue Moon/The Beat Goes On
Jarvis Cocker – Don’t Let Him Waste Your Time
Morrissey – The First of the Gang To Die
The Beatles – I’ll Follow the Sun
Suede – The Beautiful Ones
Radiohead – No Surprises

http://danulabda.com/

On The Records: LP1 by FKA twigs

FKA Twigs

LP1, full album pertama dari avatar pop masa depan bernama FKA twigs.

Jauh sebelum namanya masuk tabloid gosip sebagai pacar baru aktor Robert Pattinson, Tahliah Barnett alias FKA twigs telah lebih dulu membangun popularitas sebagai backdancer untuk artis-artis seperti Kylie Minogue, Taio Cruz, dan Jessie J, sebelum akhirnya ia siap untuk meraih spotlight sendiri sebagai singer-songwriter paling menarik asal Inggris saat ini. Video single pertamanya, “Water Me” dirilis Agustus tahun lalu dan menampilkan gadis berdarah Jamaika, Spanyol, dan Inggris tersebut secara close up. Dengan mata besar yang semakin besar berkat efek digital, gap tooth, braided corn row, dan bibir merah semungil boneka, ia menyanyikan ode patah hati dengan ketukan synth a la trip hop yang ganjil dan menghipnotis. It was an instant hook. Berturut-turut ia lalu merilis dua album mini, EP1 dan EP2 yang menjadi wadah bagi musik uniknya yang sulit untuk didefinisikan: Bayangkan seorang peri luar angkasa yang terdampar di MTV era 90-an, ketika elemen sultry khas R&B bertemu dengan trip hop, dub, dan garage. It is very futuristic and twisted.

Bicara tentang FKA twigs, bicara tentang visual strike yang kuat. Sebelum merilis materi apapun ia telah menjadi cover di i-D magazine dan selalu membuat video untuk setiap lagu di EP-nya. Namun, di full album pertamanya yang bertajuk LP1 dan dirilis oleh label Young Turks (the xx, SBTRKT, Koreless), ia membuktikan jika ia bukan salah satu dari style over substance musicians yang mendominasi chart musik saat ini. 
Dibuka oleh “Preface” yang menjadi cue bagi kita untuk memasuki dunianya yang ganjil, di mana bisikan vokal ethereal menjadi instrumen vital yang dengan cair menyelisip di antara produksi electronic glitch dan esensi R&B yang sultry dan slick, album berisi 10 track ini turut menampilkan para produser andal seperti Arca, Dev Hynes, Sampha, dan Emile Haynie serta arahan visual dari longtime collaborator, Jessie Kanda. Dalam video “Two Weeks” yang menjadi single utama album ini, ia menjelma sebagai perwujudan seorang ratu dari peradaban kuno, duduk di singgasana dan dengan penuh kendali menampilkan gerakan tangan yang subtle, mengingatkan akan image Aaliyah sebagai Akasha di film Queen of the Damned, sembari menyanyi dengan sensual lirik-lirik empowering yang sangat direct seperti “high as motherfucker” dan “I can fuck you better than her” yang entah disengaja atau tidak terasa pas dengan kondisi percintaannya dengan Robert Pattinson yang masih kerap dikaitkan dengan bekas kekasihnya, Kristen Stewart.

Track kelima, “Pendulum”, adalah titik sentral album ini yang mengekspos dirinya dalam keadaan paling telanjang dengan emosi patah hati yang sama membirunya dengan “Water Me”, it was beautifully fragile and soothing at the same time. Sementara di “Video Girl” ia membicarakan pengalamannya sebagai “that girl on that video” dan seakan menegaskan jika sekarang inilah dirinya yang sebenarnya, bukan sebagai penari latar untuk musisi lain.
Momen menarik lainnya di album ini adalah “Closer” yang berisi paduan choir seindah himne surgawi dan “Give Up” dengan beat yang membuatnya menari Vogue di sebuah live performance. Lewat album yang menjadi salah satu album terbaik tahun ini, FKA twigs menegaskan statusnya sebagai avatar pop masa depan. Eat your heart out, K-Stew.

Track List:

1. Preface
2. Lights On
3. Two Weeks
4. Hours
5. Pendulum
6. Video Girl
7. Numbers
8. Closer
9. Give Up
10. Kicks

Film Strip: Drupadi, Sebuah Penantian Yang Terjawab

Drupadi Poster

Tak hanya dendam dan rindu, keinginan untuk menyaksikan sebuah film pun harus dibayar tuntas, tak peduli selama apa harus menunggu.

Full disclosure: ini adalah review yang terlambat hampir enam tahun. Disutradarai oleh Riri Riza dan diproduksi oleh SinemArt Pictures, Drupadi sejatinya adalah film yang dirilis pada bulan Desember 2008 silam. Bergenre Art House serta kental elemen visual dan musikal, film ini ibarat sebuah mitos tersendiri bagi kalangan penikmat film lokal sejak pertama kali ditayangkan di Jiffest 2008. Ramai dibicarakan, namun di saat yang sama sulit untuk diakses khalayak yang lebih luas karena tak pernah ditayangkan di bioskop umum dan seakan menjadi film khusus festival dan special screening saja. Saya termasuk orang yang belum pernah menonton film ini dan mencatatnya ke dalam daftar must watch movies pribadi saya, dan akhirnya keinginan tersebut tertebus kemarin (05/10) di sebuah screening yang diadakan oleh Muvila.com di Galeri Indonesia Kaya, di mana film ini menjadi film penutup dalam rangkaian pemutaran film garapan Miles Production seperti Gie dan Ada Apa Dengan Cinta? selama dua hari sebelumnya.

Bicara tentang Drupadi, berarti bicara tentang Dian Sastrowardoyo. Namanya lekat menempel dalam screen title film ini dan memang poros utama Drupadi terletak pada sosok aktris sejuta pesona tersebut yang menjadi salah satu produser bersama dua produser lainnya, yaitu Mira Lesmana dan Wisnu Darmawan, sekaligus peran utama sebagai the eponymous Drupadi dari epos Mahabharata.
Bila hikayat klasik yang berasal dari India tersebut umumnya berfokus pada konflik antara keluarga Pandawa melawan keluarga Kurawa, maka adaptasi ini dibesut dari sudut pandang Drupadi, seorang putri Kerajaan Panchala yang terlahir dari api, menjadi istri para Pandawa dan secara tak langsung menjadi penyebab Perang Bharatayuddha. Dibagi dalam beberapa babak layaknya pertunjukan wayang, kita diperkenalkan bagaimana Drupadi menjadi sebuah hadiah dalam sebuah sayembara untuk mencari pendamping hidup untuknya.

D1-drupadi-25-c

Dalam sayembara memanah yang diikuti oleh para ksatria terbaik tersebut, terselip Arjuna (Nicholas Saputra), salah seorang Pandawa yang menyamar dalam balutan jubah Brahmana. Anak panahnya tepat sasaran mengenai bunga lotus di atas permukaan kolam yang menyebabkan kelopaknya pecah menjadi lima. Seolah mewakili jika Pandawa sesungguhnya adalah lima kakak beradik dan menepati janji kepada ibunda mereka, Dewi Kunti, apapun yang dimiliki seorang Pandawa otomatis menjad milik empat Pandawa lainnya, tak terkecuali Drupadi yang kemudian menjadi istri bagi kelima Pandawa sekaligus: Yudhistira (Dwi Sasono) putra sulung yang ditakdirkan menjadi raja di antara raja, Bhima (Ario Bayu) yang kuat dan emosional seperti raksasa namun memiliki hati yang lembut, Arjuna yang luar biasa tampan dan menjadi cinta sejati Drupadi, dan si kembar Nakula dan Sadewa (Aditya Bagus Santosa dan Aditya Bagus Sambada). Drupadi menjalani perannya sebagai istri untuk lima pria sekaligus dengan penuh khidmat dan semua baik-baik saja sampai akhirnya datang undangan oleh keluarga Kurawa, sepupu sedarah yang selalu dengki pada para Pandawa.

Yudhistira sebagai pemimpin memutuskan untuk menyambut undangan tersebut walau sudah diperingati oleh adik-adiknya dan Drupadi. Maka, berangkatlah rombongan Pandawa ke istana kediaman Kurawa demi menanggapi permainan dadu penuh muslihat yang dipimpin oleh Sakuni (Butet Kertaradjasa), paman mereka yang licik dan licin. Dadu yang terbuat dari tulang manusia tersebut menjadi petaka. Satu per satu milik Yudhistira dipertaruhkan di atas meja judi. Harta, tahta, dan bahkan jiwa adik-adiknya serta dirinya sendiri. Semua jatuh menjadi milik Suyudana (Whani Darmawan), hingga akhirnya Yudhistira hanya punya satu pertaruhan terakhir: Drupadi. Its all or nothing, and he gains nothing.

drupadi021
Drupadi pun diseret secara kasar oleh Dursasana (Djarot Dharsana) bagai seekor kuda dan dipermalukan di istana yang terhormat tersebut, sementara kelima suaminya serta para tetua yang ia hormati hanya bisa terdiam. Di antara rasa malu, marah, dan frustrasi, Drupadi berontak dan berteriak lantang memperjuangkan harkatnya sendiri sebagai seorang wanita yang dipertaruhkan oleh suaminya sendiri di meja judi. Ia mempertanyakan apakah Yudhistira yang bahkan sudah menggadaikan dirinya sendiri masih mempunyai hak atas Drupadi. Lolongan Drupadi memecah malam dan di tengah kegentingan saat hendak ditelanjangi oleh para Kurawa, keajaiban muncul. Kain yang membelit tubuhnya secara ajaib seakan tak pernah habis hingga akhirnya para Kurawa kelelahan.
Drupadi terhindar dari noda, namun ia masih memendam dendam seperti api. Ia bersumpah, ia tidak akan mengikat rambutnya sampai bisa membilas rambutnya dengan darah dari para orang yang telah menginjak kehormatannya. Film pun ditutup dengan visualisasi pertempuran penuh darah selama 18 hari antara para Pandawa dan Kurawa.

Drup
Setelah 6 tahun menunggu, is it worth the wait? Jawabannya adalah iya. Durasi film ini hanya 40 menit, yang cukup “nanggung” karena terlalu panjang untuk disebut film pendek, pun terasa terlalu singkat untuk menjadi film feature. Namun saya menikmati sekali setiap momen dalam film ini. Baik dari visual, cerita, maupun musik. Tim yang terlibat dalam film ini bisa dibilang sebagai dream team. Riri Riza di bangku sutradara dan penata kamera Gunnar Nimpuno menyajikan bahasa visual dan directing yang luar biasa indah yang diperkuat costume design dan styling jenius oleh Chitra Subijakto serta musik gamelan yang ditata oleh Djaduk Ferianto. Sementara Leila Chudori sebagai penulis naskah berhasil mengadaptasi hikayat kuno ini dalam konteks perempuan lintas zaman. Drupadi adalah sosok perempuan yang terjebak dalam konstelasi politik yang didominasi para pria dan di masa perempuan seringkali dianggap hanya sebagai komoditas dan objek. Ia berani bersuara menyerukan protes kepada suami dan tetua adat, dan ia mungkin salah satu dari sedikit sosok wanita berpoliandri yang dicatat sejarah. Semua cast tampil gemilang, tak terkecuali para ekstra di keluarga Kurawa yang semuanya merupakan penari dari padepokan seni Bagong Kussudiardja.

Dian Sastro yang turut hadir menonton dalam screening kemarin pun mengaku sangat antusias dan jauh lebih menikmati film ini dengan kapasitas seorang penonton. Jauh berbeda saat ia merilis film ini 6 tahun lalu dengan beban tersendiri sebagai produser dan pertarungannya dengan para “kurawa” di dunia nyata seperti FPI dan konflik antara FFI dan MFI. Film ini sendiri juga sempat kena cekal oleh World Hindu Youth Organization (WHYO) yang membuat film ini sulit diputar secara umum pada waktu itu. Dalam diskusi mini setelah screening, Dian yang sudah menjadi ibu dari dua orang anak dengan gaya berbicaranya yang penuh semangat menceritakan bagaimana ide film ini muncul setelah ia terlibat syuting film epik Putri Gunung Ledang garapan Malaysia dan merasa terbakar semangatnya untuk mengangkat cerita legenda Indonesia yang sebetulnya jauh lebih beragam. Dalam behind the scenes film ini yang juga ditayangkan kita bisa melihat bagaimana Dian 6 tahun lalu adalah gadis jurusan Filsafat yang sangat kritis dan dengan berapi-api mengajak para perempuan untuk berpikir cerdas dan membela diri mereka sendiri. Mungkin melihat dirinya yang dulu di video tersebut, Dian yang sekarang pun mengaku timbul semangat baru dalam dirinya. Ia membocorkan rencana merilis Drupadi dalam bentuk DVD dan dengan setengah bercanda menyampaikan harapannya untuk kembali menjadi produser. Bagaimanapun, dunia film adalah dunia yang membesarkan namanya, dan selalu ada tempat tersendiri bagi Dian di hati penikmat film Indonesia, entah sebagai aktris maupun produser.

Dilihat dari banyaknya review positif dan orang-orang yang menulis tentang film ini setelah menyaksikannya kemarin, Drupadi seolah bangkit kembali dari tidur panjang. Seperti api, ia berkobar kembali. Dan kita pun berharap, ambisi produser dalam diri Dian juga akan segera kembali terbakar.

On The Records: Paperwhite

PaperwhiteLike it or not, Brooklyn is still the Mecca of eclectic musicians in States. Following the foot step of interesting upcoming musicians from Brooklyn is Paperwhite, a dream pop duo that consisted of siblings Katie and Ben Marshall. Mixing a lush production of synth-based melodies and beautiful vocal, the duo are succeeded to bring shimmering sounds of modern pop with slight hint of nostalgic retro and a warm feeling of Summer days.

Hi Katie & Ben, how are you? Where are you right now and what were you guys doing before answering this email?
Katie: Hey! We are currently at Ben’s apartment in Brooklyn. We just had a great rehearsal down the street where we were preparing some of our new music for our live set! It’s finally feeling like summer over here, so we took the long way home, got some ice cream and enjoyed the sun!

As siblings, do you always know you’re gonna make music together? And what really prompt you to finally do it?
Ben: We have always known that we would work on music together because we have been collaborating for years but the exciting part is that we had no idea that we would find a style of music in which we could both take a lead. While writing some of the first Paperwhite’s songs, it finally felt like we had a path for our collaborations to take off. Once we felt that synchronization, we knew we had to stick with it!

Where were you guys grew up? What were you listening to back then and how do you think its influence your music in Paperwhite?
Katie: We grew up in Pennsylvania, outside of Philadelphia. There is a three and a half year age difference between us (Ben is older), so at times we were listening to different types of music but we both have drawn a lot of inspiration from bands through different decades. Some include bands like Tears for Fears and Wilson Philips to Motown artists and even more modern bands like The Postal Service.

I know that previously Ben is also with Savoir Adore, how about you Katie? What were you doing before Paperwhite?
Katie: Before Paperwhite, I was a student at Berklee College of Music, which is also Ben’s alma mater. At the time, I was focusing on songwriting and performance. Once I graduated in 2013, it allowed Ben and I to focus on Paperwhite. The ideas and music have been blossoming ever since!

What’s the story behind the name?
Ben: Well, this is kind of a two part story. During Katie’s senior year at Berklee, she wrote a song called “Paperwhites.” She was working at a flower shop and was inspired by the paperwhite flower. So when we were coming up with a name for the band, it was already kind of in the back of our heads. One day we posted a clip of the song on Instagram and hashtagged it #paperwhite and a friend of Katie’s commented that he liked our new band name. So even though it was just an accident, we decided it was a sign and went for it!

How was the creative process for two of you?
Katie: Ben typically takes on the role as the producer/arranger and I typically focus on more songwriter duties like melody, chords, and lyrics. It has worked out well because our weaknesses are each other’s strengths. Our goal is to make well-structured songs that create a certain mood whether it’s to dance or to feel a particular emotion.

What is the story for your latest single “Magic” and how do you feel about the response so far?
Ben: The idea for “Magic” came to us on Jan 1, 2014. Looking back now, it feels like such an indicator for the year. We started off strong which is inspiring to us. We are very grateful and thrilled with the response from “Magic”. It has shown us that we are heading in the right direction!

How was your first live show? Do you have any challenge to bring you music in live perform?
The live show is always evolving. So yes, the first show was an experiment, but it was a successful one. There are definitely some tricky things to figure out in terms of getting the recordings into a live set, but it just gets better and better each time we play out.

Could you spill some info about upcoming release? Is it gonna be EP, single, or maybe an LP?
For now we are sticking with singles… but there just may be an EP sooner than later.

How do you think about Brooklyn’s music scene nowadays?
We are very excited to be a part of the Brooklyn music scene. Our peers and mentors are all in the same area and are doing amazing things and releasing awesome music. The sense of community and comradely here is wonderful. We feel that Brooklyn has a lot more talent coming its way!

What’s next for Paperwhite?
The next goal is to bring our listeners more music and hopefully with that start playing outside of NYC. We would love to tour sometime in the near future!

Film Strip: Tabula Rasa

“Makanan adalah iktikad baik untuk bertemu.”

Rasanya memang cukup mengherankan jika Indonesia yang terkenal dengan kekayaan kulinernya yang sangat beragam dari Sabang sampai Merauke ternyata belum memiliki film yang benar-benar mengangkat kuliner lokal sebagai menu utamanya, terutama ketika rendang sebagai salah satu menu ikonik Indonesia dinobatkan menjadi santapan terenak di dunia versi CNN. Berangkat dari kesadaran itu, LifeLike Pictures memproduksi film ketiganya yang bertajuk Tabula Rasa.

Disutradarai oleh Adriyanto Dewo dan naskah oleh Tumpal Tampubolon, film ini bercerita tentang Hans (Jimmy Kobogau), seorang bintang sepakbola muda di Serui, Papua yang berangkat ke Jakarta hanya untuk mengalami nasib yang tak secemerlang bakatnya. Dengan kaki patah dan mimpi yang remuk, ia terdampar menjadi gelandangan dan dihantui keinginan bunuh diri sebelum akhirnya bertemu dengan Mak (Dewi Irawan), seorang pemilik rumah makan (lapau) Padang sederhana. Tak tega melihat Hans terkapar dengan kepala terluka di atas jembatan, Mak dan anak buahnya, Natsir (Ozzol Ramdan) membawa Hans ke lapaunya dan menyuguhkannya semangkuk gulai kepala kakap dan nasi hangat yang membangkitkan kenangan akan rumah dan semangat hidup di diri Hans. Selang beberapa hari dan interaksi, Hans menjadi sebuah fixture tersendiri di rumah makan tersebut. Ia membantu Mak apa saja yang bisa ia lakukan dan mulai membuka dirinya.

Kehadiran Hans mendapat tentangan dari Parmanto (Yayu Unru) yang tidak setuju untuk menambah pengeluaran di saat rumah makan mereka sedang dalam kondisi sepi pengunjung, belum lagi ketika sebuah franchise restoran Padang besar membuka cabangnya tepat di seberang mereka. Konflik pun memanas dan berakhir dengan keputusan Parmanto untuk meninggalkan rumah makan itu, meninggalkan Mak kebingungan sebelum akhirnya mengajak Hans ikut turun tangan membantu di dapur. Interaksi keduanya terjalin hangat di antara bumbu rempah dan kebulan asap dapur. Faktanya, keduanya sama-sama perantau. Bila Hans datang untuk mengadu nasib sebagai pemain sepakbola, Mak mengungsi ke Jawa setelah kampungnya hancur dilibas gempa yang juga menewaskan putra semata wayangnya. Keduanya seolah menemukan sisi yang hilang dalam hidup. Gulai kepala kakap di awal cerita yang merupakan menu favorit almarhum putranya menjadi kunci memori tersendiri. Bagi Mak, memasak gulai kepala kakap adalah sebuah ziarah, namun pada akhirnya ia tergerak untuk mewariskan resep gulai kepala kakap terhadap Hans dan menu itu pula yang menjadi instrumen vital untuk meluruskan segala konflik di film ini.

kepala kakap
Disajikan dengan alur sederhana, permasalahan yang manusiawi, dan pemain inti hanya berjumlah 4 orang yang tampil dengan sangat baik, film ini terasa intim dan relatable bagi siapa saja yang pernah jauh dari rumah. Ada satu adegan yang membuat saya sampai ikut menitikkan air mata karena teringat nasi hangat dan menu sederhana buatan ibu di rumah, but don’t get me wrong, tak ada drama yang dibuat berlebihan dalam film ini. Begitu pun dengan interaksi antara Mak dan Hans di mana keduanya berasal dari dua kultur dengan stereotype masing-masing, ucapan Mak tentang tak butuh alasan untuk menolong orang lain dan makanan hangat sebagai salah satu bentuk perhatian yang paling primal, film ini berhasil menyinggung isu Bhinneka Tunggal Ika tanpa kesan menggurui dan mencerminkan judul film ini sendiri yang dalam bahasa Latin mengacu pada “Kesempatan untuk memulai sesuatu yang baru tanpa prasangka.”

Hal menarik lain dari film ini adalah pemakaian kamera ARRI Alexa XT Plus yang juga dipakai dalam film Life of Pi dan Guardians of the Galaxy yang secara sangat jernih menangkap warna-warni menarik dari lanskap Indonesia Timur dan adegan memasak di dapur di mana merahnya cabai, kepulan asap, dan daging-daging yang dimasak terasa begitu vivid dan membuat saya terpaksa menelan ludah dan mengidamkan masakan Padang sepanjang film ini. Keindahan visual itu dilengkapi music score yang dengan jenial memadukan lagu-lagu Indonesia klasik dari Ernie Djohan dan Orkes Tropicana Medan, lagu kontemporer dari Dialog Dini Hari, dan original score yang memakai instrumen tradisional seperti talempong, saluang, dan tifa yang menegaskan rasa otentik film ini.

Terlepas dari beberapa plot holes dan kekurangan yang mungkin ada, (contohnya: saya berharap ada adegan Mak menjelaskan sekelumit cerita di balik menu masakan Padang dan kultur tersendiri dalam sebuah rumah makan Padang), Tabula Rasa adalah sebuah film yang dibuat dengan hati dan disajikan dengan hangat.

tabulaa

Tabula Rasa dirilis di bioskop tanggal 25 September 2014.

And All That Jess, An Interview With Jessie Setiono

Jessie Setiono

Jessie Setiono meredefinisi arti brain, beauty, behavior dengan cara yang effortless dan tanpa pretensi apapun.

Due to increasing tendency of insomnia, saya sejujurnya lupa kapan terakhir kali bangun sebelum jarum jam menyentuh angka delapan pagi, except when I have important appointment of course. Hari Rabu di akhir bulan Juni lalu menjadi salah satu pengecualian tersebut. It’s not even eight o’clock yet, namun saya sudah di jalan menuju daerah Pondok Indah untuk sesi pemotretan dan interview cover edisi ini. I must admit though, it was nice to feel the morning sun again, dan cahaya matahari memang menjadi alasan utama pemotretan harus dilakukan sepagi ini. Begitu tiba di sebuah rumah yang dituju, saya dan fashion editor Anindya Devy langsung disambut hangat oleh sang pemilik rumah, the lady of this chic house, Jessie Setiono herself. Dengan senyuman manis, ia mengajak kami masuk dan langsung ke lantai atas, tepatnya ke sebuah ruang kerja yang dipenuhi berbagai buku dengan topik hukum dan balkon yang menghadap kolam renang.

As one of the Indonesian top models, wajah Jessie memang sama sekali tidak asing bagi siapapun yang tertarik atau berkecimpung di dunia mode. Wajahnya muncul dalam berbagai cover dan fashion spread di semua majalah fashion ternama sama seringnya dengan sosoknya berjalan di atas runway desainer papan atas Indonesia. Kami telah saling follow di Instagram, but it’s actually our first time to meet each other. Pagi itu wajahnya terlihat segar walau tanpa riasan apapun, ia mengikat rambutnya menjadi ponytail dan memakai jersey hitam-putih serta matching pants, she looks as fresh as morning dew. Kasual dan bersemangat, the real life Jessie ternyata lumayan berbeda dari image yang saya tangkap dalam foto-foto spread yang umumnya menegaskan sisi elegan dan refined dari dirinya. With high cheekbones, feline eyes, dan preferensinya berbicara dalam Bahasa Inggris, saya selalu menyangka model berumur 26 tahun ini memiliki darah Kaukasia dalam dirinya. Satu hal yang ditepisnya halus. “Saya Chinese-Indonesian, that’s an Asian me, I look very Asian in that picture, right?” ujarnya sambil menunjuk sebuah foto berpigura di atas meja kerjanya yang menampilkan Jessie kecil dan kedua orangtuanya. “But as I grew up, I have no idea why I just turn into crazy mixture of Asian and Caucasian,” sambungnya seraya tersenyum.

Ketika semua tim sudah tiba, kami pun segera bersiap. Pemotretan kali ini berkonsep natural lighting, jadi kami harus agak bergegas sebelum matahari terlalu terik atau malah mendung. Jessie memekik gemas melihat baju-baju dengan desain fun dari This Is A Love Song dan Alex[a]lexa. Sambil memasang lagu-lagu dari Banks yang merupakan penyanyi favoritnya saat ini, ia membiarkan wajahnya dirias dengan makeup ringan. We want to keep everything as natural and relaxed as possible. Melakukan photo shoot di rumahnya sendiri, Jessie terlihat sangat nyaman. Frame demi frame ditangkap oleh fotografer Dylan Sada tanpa kesulitan berarti. Matahari yang terus beranjak naik membuat udara semakin panas, namun Jessie tanpa mengeluh terus bermain hide and seek dengan bayangan dan cahaya, walau ketika akhirnya pemotretan dirampungkan, wajahnya terlihat agak memerah dan dengan senang hati menyetujui permintaan saya untuk interview sambil makan siang di ruang kerjanya yang nyaman.

jess1
Tepat seminggu sebelumnya ia baru saja mengikuti graduation ceremony dan mendapat gelar Master in International Trade, Investment and Competition Law dari Universitas Pelita Harapan. Terjawab sudah jika koleksi buku hukum di ruangan ini memang miliknya. It’s not her first academical achievement, obviously. Sebelumnya ia juga telah menyandang gelar Bachelor of Business Law dari universitas yang sama dan Bachelor of Commerce dari Curtin University di Perth, kota tempatnya beranjak dewasa sejak berumur 10 tahun, where she still consider as her home town. Semasa di Perth ia menjalani kehidupan senormal anak lainnya yang naik bus ke universitas, bekerja part-time dan hang out bersama teman saat weekend. Karier modelingnya sendiri bermula dari gagasan sang ayah yang menginginkan Jessie yang cuek dan agak tomboy agar lebih feminin dengan mendaftarkannya masuk ke sebuah sekolah model. The modeling school saw potentials in her dan mulai memberikan beberapa pekerjaan modeling, dan karier Jessie pun beranjak dengan mulus. Tak hanya di dalam negeri, tapi juga di regional Asia seperti Bangkok, Hong Kong, Singapura, dan lainnya.
Ia masih mengingat jelas saat-saat awal terjun di dunia modeling tersebut. “Waktu mulai modeling, yang ditekankan adalah ‘a girl has to be very glamorous, you must stand up straight, you can’t slouch, you have to wear nice heels, nice dresses,’ it was so hard for me. Sampai sekarang saya masih merasa jauh dari image glamorous looking girl, I’m very casual and relax… to me it does add character,” ungkapnya. Jessie pun mengaku senang dengan konsep pemotretan kali ini yang lebih laid back dari yang biasa ia lakukan. “I think Nylon is one of my favorite magazines, because its very me, I’m very casual person. People say I slouch, and I do slouch, not because I’m not confident person but it’s just the way I am. Saat berbicara dengan orang lain, when I’m talking with someone like you, I want them to feel relaxed too, I don’t have to be uptight,” ujarnya sambil berpura-pura menegakkan duduknya dan menyilangkan tangannya di atas meja yang membuat kami berdua tertawa.

I like modeling. I really like modeling very much because it has giving me opportunities to travel and meet talented people, tapi modeling juga punya tantangannya sendiri. People think it’s easy, all you have to do is just have pretty face, tapi mereka nggak tau hal yang harus kita hadapi sebagai model. We all have to go through a lot of rejections. They never thought how those rejections could impact our self-confidence or ego. Menjadi model juga dihadapkan dengan standar tertentu orang selalu mengharapkan model untuk skinny, tall, and they scrutinize you up close and personal like ‘your eyes are wide apart’, ‘your hair is too short’, ‘you’re slouching’, things like that… but I personally find beauty in imperfection, so yeah, that’s just my two cents,” ujar Jessie. “So what’s your imperfection?” Tembak saya langsung. “I have many imperfections, there’s a lot that I can’t mention, but I think my imperfections define who I am. For example I think I’m very anxious person, I have to keep on moving, but I think it’s just definition of me and i embrace that. I embrace all my imperfections,” jawabnya santai.

Modeling mungkin lebih seperti satu hal dalam dirinya yang muncul secara natural dalam dirinya, namun Jessie menyimpan passion lain yang lebih besar untuk hidupnya. The law itself. “Saya selalu menyukai tantangan yang dihadapi lawyer. But I think law’s changes one’s perspective about life, mengajarkan orang untuk berpikir lebih filosofis dan dalam. Why does the law exist, what’s the impact for the society, I think law is also the way that you can help the society. And I always want to help people. Maybe through law, one day I could make a change. I would eventually use my degree as a lawyer,” terang Jessie tentang pilihan akademisnya.

jess2
Untuk siapapun yang besar di akhir tahun 90-an pasti pernah mengenal serial Ally McBeal yang menceritakan sosok pengacara cantik yang diperankan oleh Calista Flockhart. Saat disinggung tentang itu, ia meresponsnya dengan tawa. “I don’t know why people associates me with Ally McBeal, but she’s pretty hot! Haha. But no, she didn’t inspire me. There’s such a cliché about being a model and do lawyer, like people ask ‘what are you trying to do? Are you trying to prove yourself?’ I was like, ‘No, I’m not trying to prove myself, it’s a self-accomplishment, it’s just something that I always passionate about, even before I start modeling. I want this career path,” ungkapnya. “My parents are very westernized, mereka selalu mengajari saya untuk punya ambisi dan goal dalam hidup. They do think that as women we shouldn’t just being comfortable in our comfort zone, we have to keep improving ourselves, bagaimana membuat kita menjadi pribadi yang lebih baik dan berguna untuk orang lain instead of just living comfortably, married and having kids, you know? It’s a standard of what women should do, but women could do more than just stay at home,” ucap Jessie menyoal upbringing yang ia dapat dari keluarganya.

Talk about the marriage itself, Jessie sendiri telah menikah sejak berumur 22 tahun dengan Christian Rijanto, the entrepreneur mogul di balik Ismaya Group yang merupakan figur penting dalam perkembangan gaya hidup urban Indonesia selama satu dekade terakhir ini. Dalam pernikahan yang telah berjalan selama 4 tahun ini, Jessie mengaku tak ada perubahan drastis dalam dirinya. “I’m still do the things that I do before I got married, I go travel, I go out, pursuing my own career and things. The good thing is that Christian… He’s not at all obstructive. Dia tidak menghalangi saya melakukan apa yang saya inginkan, that’s what I like about Christian,” simpulnya.

Membagi waktu antara karier modeling, marriage life, dan mengejar gelar akademis, Jessie memilih traveling sebagai resep anti stress. Saya pun bertanya, tipe traveler seperti apa dirinya. “I’m a light traveler, I do my research before I travel, I need to know where to shop, to eat or go for party, bars. Tapi tergantung dengan siapa perginya, kalau bersama teman-teman, I like to go to the cities, but if I’m traveling on my own or with my significant others, with my husband, I like to go to more relaxed places like mountain or island. Ia bercerita tentang kunjungannya ke Bhutan yang masih meninggalkan kesan manis baginya. “Bhutan is like amazing, its full of culture, everything there is so simple and down to earth,” kenangnya. Dengan alasan yang sama, ia memilih Jogjakarta sebagai destinasi domestik favoritnya. “I like Jogjakarta, its beautiful and very cultural. Bali is also nice, but these days Bali is a little too crowded, but its still very nice quick weekend escape,” imbuhnya. Saat ditanya tentang destinasi selanjutnya, tanpa berpikir lama Jessie menyebut kawasan Australia. “Last time we went to New Zealand for bungee jumping, I’m a thrill-seeker and adrenaline junkie. Next I want to do skydiving, or rock climbing… Uhm not rock climbing, but mountain biking,” ujarnya sambil tertawa.
In term of next goal and future plan, dengan gelar dalam bidang bisnis dan hukum serta suami yang memiliki kerajaan bisnisnya sendiri, orang mungkin menyangka cepat atau lambat Jessie akan bergabung dalam Ismaya. Namun dengan tegas ia mengungkapkan keinginannya untuk membangun kariernya sendiri, walau untuk saat ini ia ingin memanfaatkan waktunya to simply step back and enjoy life. “You know what? I’ve been in school for such a long time that I feel like after I finish my degree, I’m planning to just take a break and maximize my modeling career before I become corporate slave, haha,“ serunya antusias sebelum menambahkan, “But of course I eventually want to have my own business or law firm, but for now I like what I’m doing now. Modeling, traveling… It’s definitely a luxury that I don’t get to have for a very long time.”

jess3

Photography by Dylan Sada

Styling by Anindya Devy

Make-up & Hairdo by Ryan Ogilvy

As published in NYLON Indonesia June-July 2014

Best Served Cold: The Rising of Scandinavian Songstresses

What happens in Northern European’s music scene, never just stay in there. Tampaknya memang ada semacam sihir tersendiri dalam udara dingin dan lanskap pegunungan hijau di Eropa Utara yang menghasilkan inspirasi tersendiri bagi penduduknya dan membuat wilayah ini sebagai salah satu music capital dunia. Eropa Utara seakan tak pernah kehabisan musisi perempuan bertalenta dengan quirkiness masing-masing seperti Björk, Oh Land, Lykke Li, Robyn, dan nama-nama berkarakter lainnya. Meneruskan tradisi tersebut, berikut adalah deretan nama musisi perempuan Eropa Utara yang memadukan produksi musik progresif dengan bakat songwriting yang murni, and of course, a little bit of magic here and there.

Seinabo Sey
Seinabo Sey
Dengan latar belakang keluarga musisi asal Gambia, Seinabo Sundqvist Sey yang berasal dari Stockholm, Swedia menarik perhatian blog-blog musik terkenal lewat single bertajuk “Younger” yang menampilkan vokal soulful miliknya yang powerful dalam balutan produksi strings, dentuman perkusif, dan elemen synth yang euphoric. Terlebih ketika single tersebut di-remix oleh seorang producer/remixer Norwegia terkenal bernama Kygo yang berhasil menembus chart Hot Dance Club di Billboard Amerika dan kemudian memicu puluhan remix lainnya untuk lagu yang sama. Tak menunggu momentum lewat begitu saja, penyanyi berusia 23 tahun ini pun merilis single terbaru, “Hard Time” yang masih memadukan akar budaya musik Afrika Barat dengan Swedish-pop yang undeniably charming.
https://soundcloud.com/seinabosey

Sumie Nagano

Sumie
Terlahir dengan nama Sandra Sumie Nagano, singer-songwriter asal Gothenburg Swedia ini mungkin belum sepopuler kakak perempuannya, yaitu Yukimi Nagano yang merupakan vokalis band Swedia terkenal, Little Dragon. Bila Yukimi dikenal dengan musik electro-rock eksperimentalnya, maka Sumie lebih nyaman bermusik dengan bebunyian gitar akustik dan vokal dreamy yang mengawang lembut. Debut self-titled Sumie yang dirilis akhir tahun lalu berisi lagu-lagu akustik sentimental dengan keintiman yang subtle seperti “Spells You”, “Show Talked Windows” dan single “Never Wanted To Be” dengan video berkonsep animasi yang dibuat oleh ayahnya sendiri, Yasuke Nagano, yang menampilkan imaji salju, air, pepohonan, dan piramid yang akan menerbangkanmu ke dunia fiksi seperti dalam novel Haruki Murakami. Sederhana namun magis, her songs will keep you yearning for more.
http://www.sumienagano.com/

Tove Lo
Tove Lo
Sebelum merilis debut EP berjudul Truth Serum bulan Maret lalu dengan lagu-lagu electro-pop adiktif seperti “Habits” dan “Out of Mind”, Ebba Tove Elsa Nilsson atau yang lebih dikenal dengan nama Tove Lo telah berkarier sebagai penulis lagu dalam tim produser musik legendaris Max Martin untuk musisi-musisi seperti Girls Aloud, Lea Michele, dan duo Icona Pop yang juga sama-sama berasal dari Swedia. Gadis Stockholm berusia 26 tahun ini dijuluki sebagai Janis Joplin dari genre Swedish Pop and it doesn’t hard to see the resemblances. Keduanya memiliki rambut blonde ikal, senyuman yang lebih pas disebut dengan smirk, dan keberanian keduanya dalam menuangkan emosi personal dalam lagu secara brutally honest. Lulusan sekolah musik Rytmus Musikergymnasiet tersebut memadukan sensibilitas musik pop Swedia dengan balutan synth production yang magnetic dan berhasil menarik perhatian banyak fans dari seluruh dunia, termasuk Lorde yang mengungkapkan kekagumannya di Twitter. A future collaboration? Fingers crossed.
https://soundcloud.com/tovelo

Frida Sundemo
Frida Sundemo
Butuh keberanian khusus untuk tetap berpegang pada passion yang kamu punya, dan Frida Sundemo adalah salah satu yang berani. Gadis asal Gothenburg, Swedia ini memutuskan cuti dari kuliah kedokteran untuk mewujudkan impiannya merilis musik. Hasilnya adalah sebuah debut EP berjudul Indigo di akhir tahun lalu. Dengan vokal khas Skandinavia yang icy dan racikan melodi synth yang jernih dalam lagu “Indigo” dan “Snow”, Frida membuktikan jika ia tak hanya bermodal nekat dalam bermusik, she also got big talent to back it up. Pertengahan tahun ini, Frida kembali dengan EP terbaru berjudul Lit Up By Neon yang masih mengedepankan racikan Scandinavian pop seperti “Neon” dan “Hanging By A Thread” yang elegan, dingin, namun tetap terdengar organik. Not to mention, saat ini dia juga akan berakting dalam film adaptasi novel karya John Niven yang berjudul Kill Your Friends yang juga akan dibintangi oleh Nicholas Hoult dan Georgia King.
https://soundcloud.com/fridasundemo

Mercedes
Mercedes
I don’t need no visa cause I came through the speaker,” cetus rapper asal Denmark bernama lengkap Mercedes Seecoomar ini dalam debut single berjudul “Live in the Speaker”, sebuah lagu old school hip hop dengan electro vibes bombastis yang ia tulis dalam keadaan mabuk. Tipsy details aside, gadis Copenhagen yang kini menetap di Inggris tersebut mulai membuat musik sendiri setelah sebuah sesi rekaman bersama Alex James dari Blur dan menyebut Salt n Peppa, Roxanne Shante, Beastie Boys, dan Neneh Cherry sebagai idolanya. Walau belum merilis album, gadis berambut afro dan gaya 80’s swag ini dihujani pujian dari fans, tawaran kolaborasi dengan produser seperti MNEK, Si Hulbert, dan Tim Powell serta tampil sepanggung bersama Azealia Banks dan Zebra Katz. Consider that as her visa, I think she’s ready to fly off.
twitter.com/mercedesmyname

Farao
Farao
Farao yang bernama asli Kari Jahnsen adalah singer-songwriter asal Norwegia yang kerap disebut sebagai garda depan dari revolusi musik Eropa Utara saat ini yang didominasi musisi perempuan. Multi-instrumentalist berusia 26 tahun ini menarik perhatian blog musik ketika merilis cover balada akustik dari “Go With The Flow” milik Queens of the Stone Age dalam format unduh gratis. Namun, materi-materi original ciptaannya seperti “The Hours” dan “Skin” lah yang kemudian melambungkan namanya. Its a Scandipop meets folk meets ambient electronic yang direkam di Reykjavík bersama produser Mike Lindsay dari band folktronica Inggris, Tunng. Berisi haunting vocal, minimalist synth dan lirik bernuansa apocalypse, debut album Farao akan membuatmu membayangkan semilir dinginnya perairan Skandinavia.
https://soundcloud.com/faraomusic

MO

Menyebut Mø (dibaca “Muuh” yang berarti “virgin” dalam bahasa Denmark) hanya sebagai Grimes dari Denmark adalah sebuah understatement. Karena terlepas dari kemiripan musik keduanya yang sama-sama berfokus pada bebunyian elektronik eksperimental, gadis bernama asli Karen Marie Ørsted ini memiliki pesonanya tersendiri dalam musik maupun kepribadiannya. Terobsesi dengan Spice Girls, Sonic Youth, dan musik hip-hop, ia merilis EP bertajuk Bikini Daze yang berisi produksi elektronika futuristis yang sleek serta catchy hooks dan tak butuh waktu lama sampai ia menarik perhatian musisi elektronik kawakan seperti Diplo dan Avicii untuk berkolaborasi. No Mythologies To Follow yang menjadi judul full album pertamanya berisi 12 lagu electronic yang membius seperti “Waste of Time”, “Slow Love”, dan “Maiden”. Baru-baru ini juga, she pays tribute to Spice Girls dengan menyanyikan ulang “Say You’ll Be There” versinya sendiri. Girl power, indeed.
https://soundcloud.com/momomoyouth

As published on NYLON Indonesia June/July 2014

Artwork by Diah Pratiwi

On The Records: Francis Lung

FrancisLung
In an era when bands have moments rather than life-long careers, it’s seems easier to dub some new band as your “favorite band of the day” or “the next big thing” tags on your social media apps and just go with the flow like the rest of blogosphere and enjoy the hype surrounding the new band. And prepare your heart for the eventual break up after one, two LPs or even a handful of singles and EP. WU LYF (World Unite Lucifer Youth Foundation), the four-piece from Manchester England is one of those bands that decides to break up after releasing one awesome album that better than most music out there. It takes only one year after the critically acclaimed  debut album Tell Fire to the Mountain been released on 2011 for the band to called it quits. Its not a full stop for the former members, though. Ellery James Roberts the vocalist has been releasing some singles with his guttural and raw voices that’s not that far from WU LYF original materials while drummer Joe Manning and guitarist Evans Kati reunited with bassist Tom McClung last year to create the pop-centric trio Los Porcos. Not long after that, McClung emerging as solo artist under Francis Lung moniker and releasing indie rock singles like “Age Limits”, “A Selfish Man”, and “Tsunami Blues” that’s quite different with his former works. The songs are dancey and infectious with pop sensibilities amidst the darker lyrics like natural disasters and loneliness. Now, the singer-songwriter ready for his own path.
Hello Tom, how are you? Where are you right now and what were you doing before answering this email?
I’m really good thanks, I’m in my flat in Manchester and I was just restringing my acoustic with D’addario 13 gauge phosphor bronze series strings. do I get an endorsement now?
I just wonder if people usually call you Tom or Francis nowadays? What’s the story behind the moniker?
People usually call me Tom, or Lung, maybe even Francis for a joke. Francis is my confirmation name (Catholic). I needed a name for the new project I was starting, so I thought I’d work with what I already had.
When I’m listening to your songs, I can’t help but think they’re sounds very different than WU LYF’s songs. Do you think you kinda held back you own musicality before?  And what’s going solo means for you personally and creatively?
I don’t think I held back my own musicality in the band, I only learnt more about it. I learnt a lot about playing less, about so called ‘economy of notes’, and how to rock. just because somebody finds themselves behind a bass one day doesn’t mean their musicality is compromised, just altered. I guess now I’m ‘solo’ I am free to play more instruments and pursue my own musical ambitions, but the ethos is the same. using your notes and words to best effect.
Looking back, WU LYF gains some big recognition, but how you do really feel about that?
I’m really grateful and honoured that people feel like we made something worthwhile.
What were you doing after you guys decide to break up? How’s the relationship towards your former band mates?
What was I doing? Apart from drugs? Only joking. I guess after we split I had to reassess things in my life. A huge part of that was deciding to pursue my solo project full time and to finish recording a batch of songs I had never got around to finishing. my relationship with my friends is different, but its not bad. Its certainly better than it was.
Well, enough talking about yesterday. Please share some stories about your upcoming records, what’s the main theme of it?
I’m gonna be releasing the first volume of a collection of music entitled “Faeher’s Son” this spring, hopefully. The story is; I recorded these songs by myself in my bedroom and tried to get signed. the plot is ongoing and I don’t know how it will end. Themes include – frustration, desperation, fear, dissatisfaction and stale smoke.
Who are some singer songwriters that really influence your works?
Paul Westerberg, Alex Chilton, Stephin Merritt, Neil Young, Cass McCombs and Neil McClung.
You said you want to continue as one-man band, and recently you’re supporting Kishi Bashi who pretty much doing anything himself, how was it?
He’s certainly a unique performer.
“A Selfish Man” and “Tsunami Blues” were telling about tsunami disaster, what inspires you to write songs about it?
I wanted to tell a story within a song that wasn’t based on anything I’d experienced before. It originally was about some god-like force destroying the earth in a ’10 plagues’ sort of way. Then I thought if it could be relatable to something recent that happened, like the tsunami, it could become relatable.
What’s next from you?
A shiny black Fender Stratocaster.

Eat, Play, Loud!: Blogwalking for Soundrenaline Medan 2014

Menjelajahi Kota Medan dan berkeringat di festival musik rock terbesar di Indonesia dalam waktu 48 jam? Challenge accepted.

As a self-proclaimed avid concert goer dan jurnalis, saya beruntung memiliki kesempatan untuk mendatangi berbagai konser dan festival musik dari berbagai genre di Indonesia maupun di luar negeri. But, if I could confess one thing, ada satu festival musik terkenal yang belum pernah saya datangi sekalipun. Coachella? Summersonic? Glastonbury? They’re all in my checklist for sure, tapi yang akan saya bicarakan adalah festival dalam negeri sendiri dulu, which is Soundrenaline. Yup, Soundrenaline yang telah digelar sejak tahun 2003 silam merupakan festival musik rock yang bisa dibilang terbesar di Indonesia, khususnya berkat komitmen mereka untuk membawa band-band papan atas negeri sendiri untuk menghibur penggemar mereka di berbagai kota di luar Jakarta. Untuk pagelaran tahun ini, Soundrenaline diadakan di Surabaya (10 Mei) dan Medan (7 Juni). Dari dulu sebetulnya saya ingin sekali datang ke Soundrenaline di luar kota sekaligus berlibur dan mengeksplorasi kota lain di Indonesia. Lucky for me, kesempatan itu datang saat saya dihubungi oleh pihak Maverick Indonesia sebagai satu dari lima blogger yang diundang untuk merasakan pengalaman menonton Soundrenaline di Medan. Well, saya belum pernah datang ke Soundrenaline maupun pergi ke Medan, so without any thinking, of course its a big yes for me!

                Seminggu kemudian, tepatnya Jumat 6 Juni, jam lima pagi saya sudah menuju Bandara Soekarno-Hatta untuk berkumpul dengan tim Maverick dan empat blogger lainnya yang terdiri dari Dimas Ario (@dimasario), Intan Anggita (@badutromantis), Agung @Hartamurti, dan Kang @Motulz. Setelah perjalanan sekitar dua jam dengan maskapai Garuda Indonesia, kami tiba di Bandara Internasional Kualanamu Medan sekitar jam 9 pagi. Bandara Kualanamu sendiri termasuk bandara Indonesia yang tertata dengan sangat baik. Bandara ini juga bandara pertama di Indonesia yang terintegrasi dengan kereta Airport Railink Service. Maka dengan menaiki kereta bandara yang nyaman tersebut, kami pun sampai di pusat kota Medan hanya dengan memakan waktu sekitar 45 menit.

Bandara Kualanamu Medan
Bandara Kualanamu Medan
Airport Railink Service
Airport Railink Service

                Sebelumnya saya selalu membayangkan Medan adalah kota yang panas, bising, dan sesak. Well, memang selayaknya kota besar, pasti ada saja traffic di setiap titik jalan, namun ibukota Sumatera Utara ini ternyata jauh lebih menarik dari bayangan saya. Kota ini mengingatkan saya akan perpaduan Surabaya dan Bandung dengan bangunan-bangunan art deco zaman kolonial yang masih dipertahankan. Tujuan pertama kami tentu saja mengisi perut. Kami memutuskan sarapan soto di RM Sinar Pagi di Jalan Sei Deli. Saat sampai, rumah makan ini sudah lumayan padat, untungnya service di sini terbilang cepat. Begitu sampai kita tinggal pesan mau soto apa, duduk, dan tak berapa lama, soto hangat dan nasi putih pun tersaji di hadapan kita. Kuah rempah, perkedel kentang dan sambal kecap yang mantap, membuat soto Medan habis tersantap secepat kedatangannya. Sudah kenyang, kami pun siap mengeksplorasi Kota Medan dengan hashtag #GoAheadChoice dan Shri Mariamman Temple terpilih menjadi destinasi selanjutnya. Kuil ini merupakan kuil Hindu tertua di Medan dan terletak di Kampung Keling alias Little India. Dari luar pun, arsitektur kuil ini sudah terlihat menarik dengan pintu gerbang yang dihiasi gopuram yang merupakan semacam gapura yang biasa dilihat di kuil-kuil Hindu kaum Tamil di India Selatan. Untuk masuk ke kuil ini tidak dikenakan biaya, namun kami tidak memasuki ruang utama karena bagaimanapun, tempat ini merupakan tempat ibadah yang harus dihormati. Untuk sejenak, saya seperti berada di Bombay karena banyaknya warga keturunan India di sekeliling kuil ini, mulai dari ibu-ibu dengan kain sari sampai seorang pria India yang terlihat sangat chic dengan turban, jenggot panjang, kemeja putih, yang menaiki sepeda klasik. Tak jauh dari situ mata saya juga menangkap mesjid, gereja, dan kelenteng. Keragaman etnis dan agama di Medan cukup mengingatkan saya pada Kuala Lumpur.

Shri Mariamman Temple
Shri Mariamman Temple

                Destinasi selanjutnya adalah Tjong A Fie Mansion, sebuah rumah mewah bekas kediaman Tjong A Fie yang merupakan seorang significant figure beretnis Tionghoa dalam sejarah kota Medan. Dengan perpaduan gaya Cina, Melayu, dan Victorian, mansion dengan pintu masuk berupa gerbang besar seperti yang biasa kita lihat di film Mandarin ini seperti relik masa lalu yang membeku di antara bangunan ruko modern di sekelilingnya. Its gallant, regal, and more likely, haunted. Dalam museum sekaligus cagar budaya yang terletak di Jalan Ahmad Yani ini, selain mengagumi harta benda dan kekayaan keluarga saudagar Tjong A Fie, kita pun bisa belajar tentang sejarah Kota Medan. Dengan koleksi benda bersejarah (including some very old vinyls!), harga tiket yang terjangkau dan sudah termasuk guide yang akan menjelaskan setiap sudut rumah (kecuali beberapa bagian yang belum direstorasi), tidak heran jika mansion ini menjadi salah satu tujuan wisata favorit di Medan.

Tjong A Fie Mansion
Tjong A Fie Mansion

Tidak terasa hari sudah menuju sore, dan keinginan untuk jajan-jajan sore pun muncul. Setelah menjemput Agung yang sempat ketinggalan di Tjong A Fie Mansion karena terlalu asik memotret, kami pergi ke Jalan Karo untuk  mengunjungi gerai kopi Macehat, yang kabarnya sedang hits di Medan. Melewati ruangan indoor yang tidak terlalu luas dan bangku yang terisi penuh, kami memutuskan untuk minum dan bersantai di outdoor area. Macehat terkenal dengan kopi Luwak dan Avocado Coffee, namun karena saya bukan peminum kopi saya memesan pancake cokelat dan affogato yang merupakan campuran es krim dan espresso. Puas mengobrol, sekitar jam lima sore kami menuju Grand Swiss-Belhotel tempat kami menginap untuk check in dan beristirahat. Kegiatan selanjutnya yang sudah ditunggu adalah makan malam. Medan punya banyak sekali tempat kuliner yang menarik, namun belum lengkap ke Medan kalau belum ke Restoran Tip Top. Bila Malang punya Toko Oen, maka Medan punya Tip Top yang menawarkan menu dan ambience klasik zaman kolonial. Letaknya di Jalan Ahmad Yani yang juga disebut Jalan Kesawan, tak jauh dari Tjong A Fie Mansion. Berdiri sejak tahun 1934, restoran ini menawarkan menu Western, Indonesia, juga Chinese dan semuanya enak luar biasa. Bahkan saat menulis artikel ini pun, saya sempat menelan ludah ketika mengingat lagi lezatnya berbagai menu yang saya nikmati di Tip Top, terutama Bistik Lidah yang sangat juara. Tak hanya menu besarnya, Tip Top juga dikenal dengan kue-kue pastry yang lezat dan es krim Moorkop khas Belanda. Pulang ke hotel. saya mencatat Tip Top sebagai tujuan wajib jika saya kembali ke Medan.

Dari kiri: Soto RM Sinar Pagi, Affogato Macehat, Bistik Lidah Tip Top
Dari kiri: Soto RM Sinar Pagi, Affogato Macehat, Bistik Lidah Tip Top

Sabtu, 7 Juni menjadi hari kedua saya di Medan sekaligus menjadi hari Soundrenaline digelar. Rasanya sudah tidak sabar untuk menuju Bandara Polonia yang menjadi venue Soundrenaline Medan, namun sebelumnya, kami menyempatkan diri untuk mengeksplorasi Kota Medan lagi. Setelah breakfast di hotel, kami menuju Istana Maimoon yang juga menjadi ikon kota Medan. Dibangun oleh Sultan Deli dan berarsitektur khas Melayu, Istana Maimoon adalah titik sejarah Medan dari sudut Melayu. Namun, berbeda dari Tjong A Fie Mansion, Istana Maimoon tampak kurang dimaksimalkan. Dari 30 ruangan yang ada, pengunjung hanya bisa masuk ke ruang utama yang juga diisi oleh pedagang souvenir sehingga estetikanya jadi lumayan terganggu. Dan hanya sedikit sekali yang bisa kita lihat selain singgasana bernuansa emas, desain interior yang rumit memukau dari lantai, tembok hingga langit-langit, dan beberapa benda sejarah. Kami tak menghabiskan banyak waktu di istana ini dan memutuskan untuk membeli oleh-oleh khas Medan yang apalagi kalau bukan Bolu Gulung Meranti, pancake durian, dan bika Ambon di Jalan Sisingamangaraja. Belum puas belanja, kami juga pergi ke Durian Ucok untuk mencicipi durian Medan yang terkenal.

Istana Maimoon
Istana Maimoon

Puas makan dan belanja, agenda selanjutnya adalah agenda utama kami datang ke Medan, which is the Soundrenaline itself! Diadakan di Lapangan Bandar Udara Polonia, Soundrenaline Medan dibuka oleh trio punk rock Jogja, Endank Soekamti yang membawakan sekitar 11 lagu untuk memanaskan festival ini yang memang sudah panas, literally. Ini pertama kalinya saya datang ke festival yang diadakan di bekas bandara tanpa pepohonan untuk berlindung dari matahari yang menyengat. Penonton yang mayoritas memang anak muda Medan terlihat sudah terbiasa dengan panasnya Medan yang menyengat, but I need to step back dan akhirnya ngumpet ke Media Tent yang dilengkapi pendingin udara dan minuman dingin untuk menghindari heat stroke, haha! Di Media Tent pun diadakan semacam mini talkshow bagi para performer yang akan tampil. Shaggy Dog, The S.I.G.I.T, Kotak, J-Rocks, Burger Kill hadir di talkshow sebelum mereka menampilkan aksi mereka di Soundrenaline yang terbagi menjadi dua stage (A Stage dan Go Ahead Stage).

Endank Soekamti at the A Stage
Endank Soekamti at the A Stage
The S.I.G.I.T at mini talk show.
The S.I.G.I.T at mini talk show.

Makin sore, cuaca semakin nyaman dan penonton semakin ramai berdatangan. Setelah jeda Maghrib, Soundrenaline dilanjutkan oleh Judika, Andra & The Backbone dan Sheila On 7. Dengan berbekal Backstage ID khusus, saya dan blogger lain mendapat akses untuk menonton Sheila On 7 dari bibir panggung. Full disclosure: Sheila On 7 is one of my favorite Indonesian bands ever karena saya tumbuh remaja dengan mendengarkan lagu-lagu mereka, tapi saya belum pernah menonton live performance mereka. Menyaksikan Duta, Eross dan personel lainnya tampil atraktif membawakan lagu-lagu hits mereka, saya seperti terlempar ke masa SMP dan ikut menyanyikan lantang lirik lagu-lagu mereka. It was amazing! Ketika Sheila On 7 turun panggung dan menuju Media Tent untuk mini talkshow, saya mengikuti mereka seperti some giddy teenagers dan akhirnya minta foto bareng dengan Duta, haha! Jujur saja, dalam karier saya sebagai jurnalis saya sangat jarang meminta foto bareng dengan band-band atau musisi lokal. Namun, kali ini saya datang bukan sebagai jurnalis, saya datang sebagai fans Sheila On 7 sejak SMP and I just feel happy to finally saw them again.

Eross SO7 mengomandoi koor penonton.
Eross SO7 mengomandoi koor penonton.
Me as happy fans with Duta SO7
Me as happy fans with Duta SO7

 Khusus tahun ini, Soundrenaline mengusung konsep baru berupa sistem pemilihan suara bernama “Voice of Choice” yang dilakukan melalui situs GoAheadPeople.com. Para pemilih diwajibkan untuk memilih salah satu dari tiga album milik lima band yang terdaftar, yaitu Slank, GIGI, J-Rocks, Andra and The Backbone dan /rif. Album mana yang menang itulah yang akan dinyanyikan secara penuh oleh band tersebut. /rif misalnya, membawakan utuh album pertama mereka Radja yang dirilis tahun 1997,dari track pertama sampai terakhir. Selesai star struck dengan Sheila On 7, saya menonton penampilan Seringai di Go Ahead Stage sementara A Stage sedang dimeriahkan oleh Jamrud. Arian dan kawan-kawannya di Seringai seperti biasa berhasil membakar semangat penonton dan menyulut moshing dengan lagu-lagu anthemic mereka sampai-sampai aparat yang berjaga di bibir panggung harus menahan pagar batas penonton yang hampir ambruk. PAS Band dan GIGI yang menjadi penampil selanjutnya juga mendapat respons antusias dari puluhan ribu penonton yang memadati Polonia. I can feel the adrenaline rush just by seeing the performers and the crowds! Soundrenaline Medan yang dimulai dari jam 12 siang akhirnya dituntaskan oleh Slank sebagai pamungkas acara dan ditutup oleh lagu “Kamu Harus Pulang” sebagai lagu penutup Soundrenaline Medan yang berhasil mendatangkan sekitar 60 ribu penonton. Jarum jam memang sudah menunjukkan pukul 12 lewat, namun saya belum mau pulang ke hotel. Saya lapar. Kami pun menyempatkan diri makan malam di daerah Elizabeth, sebuah tempat nongkrong mahasiswa Universitas Sumatera Utara dengan warung-warung tenda yang mengingatkan daerah Blok S di Jakarta, setelah itu baru pulang ke hotel.

Seringai before the show.
Seringai before the show.

Hari Minggu 8 Juni menjadi hari terakhir saya di Medan. Setelah breakfast dan check out dari hotel, saya dan para blogger lainnya menuju Kualanamu untuk pulang ke Jakarta. Thanks to Sampoerna dan Maverick Indonesia, kini saya sudah bisa mencoret Soundrenaline dari daftar festival musik yang harus saya datangi. Just have a chance to finally watching Soundrenaline is already a blast for me, terlebih berkesempatan menyaksikannya bersama teman-teman baru dan menjelajahi kota Medan. I’m planning to visit Medan again in near future, dan untuk Soundrenaline tahun depan? Well, just see and fingers crossed.

See you on next Soundrenaline.
See you on next Soundrenaline.

Film Strip: Geliat Tiga Film Festival Indonesia

Baru-baru ini saya berkesempatan untuk menonton tiga film kelas festival Indonesia yang berjaya di festival-festival film luar negeri namun masih minim rekognisi dari negeri sendiri. Here’s my two cents about those three movies.

SWONSHB

SOMEONE’S WIFE IN THE BOAT OF SOMEONE’S HUSBAND
Sutradara: Edwin

Berbicara film-film Edwin, berarti bicara tentang film sebagai medium berpuisi. Puisi berbahasa visual yang membuai mata penonton sekaligus memberi kesempatan bagi setiap orang untuk mengartikannya sesuai nalar masing-masing. Dalam film panjang terbarunya, Someone’s Wives In The Boat of Someone’s Husband, Edwin menggunakan insting sebagai instrumen utamanya bernarasi di samping kejelian matanya untuk menangkap visual-visual cantik sarat makna.
Tanpa naskah, tanpa survei lokasi pra-syuting, tanpa apapun selain niat bikin film, Edwin dan tim kecilnya yang meliputi Nicholas Saputra dan Mariana Renata datang ke Desa Sawai di Pulau Seram, Maluku, dengan berbekal sekelumit ide cerita hasil interpretasi dari cerpen Seno Gumira Ajidarma yang berjudul Cinta di Atas Perahu Cadik. Di film ini, Mariana adalah seorang perempuan yang datang ke Sawai untuk melacak sebuah legenda tentang kisah cinta terlarang Sukab dan Halimah. Sukab adalah seorang pelaut. Dia juga suami orang. Halimah pun istri orang. Namun, keduanya nekat pergi naik perahu bersama dan tidak pernah terdengar lagi kabarnya. Dengan gigih, Mariana bertanya soal kebenaran legenda itu kepada para penduduk lokal Sawai yang tentu saja tidak pernah mendengar legenda yang sebetulnya memang tidak pernah benar-benar terjadi di daerah itu.
Di sudut lain pulau tersebut, ada seorang pria muda yang diperankan Nico yang juga gemar mendengarkan hikayat para penduduk lokal. Sama seperti sang perempuan, pria ini juga seorang pendatang. Jelas hanya masalah waktu sebelum keduanya berpapasan. Ketika itu terjadi dalam suatu pagi yang canggung, terungkap jika sang pria bernama Sukab, persis seperti legenda yang dibawa oleh sang perempuan yang tidak pernah kita kenal namanya. Sukab yang tertarik pada cerita yang dibawa sang perempuan akhirnya ikut menemaninya mencari jejak-jejak imajiner Sukab dan Halimah dalam rentetan dialog tentang pencarian dan gambar-gambar cantik panorama Sawai yang membingkai film berdurasi 55 menit ini.
Banyak adegan dalam film minim skenario ini terjadi secara spontan dengan mengandalkan stimulasi dari percakapan dengan penduduk lokal dan alam Sawai yang memang menginspirasi sehingga Edwin bisa dibilang sedang melakukan pertaruhan kepada isi cerita film ini sendiri. Sebagai film panjang, film ini pada akhirnya memang lebih terasa seperti kolase adegan-adegan puitis yang membiarkan interpretasi kita terombang-ambing dengan bebas. Namun, dengan panorama Indonesia Timur yang masih murni dan aura Mariana Renata yang begitu memesona membuat film ini cantik secara literal. Di bulan April ini, film ini beserta film produksi babibutafilm lainnya seperti Rocket Rain, Postcards From The Zoo, dan Babi Buta Yang Ingin Terbang akan diputar di Kineforum secara berkala. Follow @Kineforum dan @babibutafilm untuk infonya.

Something in the Way
Something in the Way
Sutradara: Teddy Soeriaatmadja

Kehidupan malam di jalanan Jakarta yang gritty belum berhenti menginspirasi sutradara Teddy Soeriaatmadja. Setelah di film sebelumnya, Lovely Man, ia mengangkat kisah seorang transgender, kali ini Teddy kembali turun ke jalan untuk membuat film ketujuhnya, Something in the Way.
Terbagi menjadi tiga chapter, chapter pertama berjudul “Ahmad” mengenalkan kita pada seorang supir taksi bernama Ahmad (Reza Rahadian) yang hidup dalam dua ekstrem. Di satu sisi ia adalah seorang muslim taat, namun, di sisi lain ia juga seorang pria muda yang frustrasi secara seksual dan menyalurkan kegelisahannya dengan bermasturbasi di segala kesempatan, entah itu di taksi ketika ia menunggu penumpang ataupun di unit rumah susun miliknya sambil menonton DVD porno yang berserakan di lantai kamarnya, di lantai yang sama dengan tempat ia menggelar sajadahnya.
Chapter kedua, “Change”, mempertemukannya dengan seorang PSK bernama Kinar (Ratu Felisha) yang ternyata tinggal berseberangan di rumah susun yang sama dengan Ahmad. Pertemanan yang terjalin berujung pada one nite stand, dan Ahmad pun merasa menemukan cinta yang ia cari. He’s simply smitten by the prospect of love dan menjadi pahlawan bagi sang damsel in distress. Semuanya bermuara di chapter ketiga “Righteousness” ketika Ahmad setelah mendengarkan ceramah ustadz tentang jihad, menemui Pinem (Verdi Solaiman), mucikari tempat Kinar bernaung, hanya untuk tertampar pada kenyataan dan terbangun dengan mata gelap dan simbah darah.
Dari nuansa yang dibangun sejak awal film, jelas kita cukup tahu diri untuk tidak berharap banyak adanya happy ending. Namun, akhir cerita yang seperti dipaksakan tragis dalam iringan simfoni “Air on the G String” karya Bach tetap terasa pahit, whether you already anticipate it or not.

Jalanan

Jalanan
Sutradara: Daniel Ziv

Sebagai founder dari majalah Djakarta! yang kerap mengupas ibukota kita dengan cara yang witty, tidak mengherankan jika Daniel Ziv yang sejatinya adalah seorang ekspat asal Kanada bisa melihat Jakarta dengan kacamata yang mungkin luput dari penduduk Jakarta itu sendiri. Dalam film dokumenter ini, Ziv mengajak kita berkenalan dengan tiga orang pengamen sembari menelusuri jalanan Jakarta yang berdebu dan naik kopaja tua yang sumpek oleh penumpang yang berjejalan.
Pengamen pertama bernama Boni tinggal di kolong jembatan, tidak bisa menulis, namun tetap happy go lucky mengamen menyanyikan lagu ciptaannya sendiri. Pengamen kedua, Ho, di balik rambut gimbal dan penampilan lusuhnya ternyata adalah seorang filsuf jalanan yang berorasi lewat lirik lagu satir namun romantis terhadap pujaan hatinya. Sementara Titi adalah seorang istri dan ibu muda yang menafkahi keluarga dengan mengamen sambil berjuang mendapat penyetaraan ijazah SMA untuk mencari kehidupan yang lebih layak bagi keluarganya.
Ziv menghabiskan empat setengah tahun untuk mengikuti ketiga pengamen tersebut. Yang kita lihat adalah gambaran nyata tentang susahnya struggling untuk hidup dari hari ke hari bagi kelas ekonomi bawah yang diwakili oleh Boni, Ho, dan Titi. Sebelum diputar di bioskop bulan ini, Jalanan telah melakukan premiere di Busan Film Festival tahun lalu dan menyabet best documentary award, sementara saya sendiri menontonnya dalam gelaran Ubud Writers & Readers Festival, Oktober lalu. Saya masih ingat bagaimana penonton, baik lokal maupun internasional, silih berganti dibuat tertawa, merenung, dan pada beberapa momen menahan air mata. Untungnya, air mata yang menggantung di ujung mata saya waktu itu bukan akibat adegan sentimenal yang dibuat-buat, melainkan karena film ini secara jujur mengingatkan saya jika kebahagiaan itu bukan dari yang apa kita punya, tapi lebih ke bagaimana cara kita memandang sesuatu dan bersyukur. Jalanan sendiri akhirnya akan diputar di beberapa bioskop bulan ini dan sayang untuk dilewatkan begitu saja. Follow @JalananMovie untuk info.