Shoot Tight, Monica. An Interview with Monica Vanesa Tedja.

Berawal dari video-video family trip masa kecil, Monica Vanesa Tedja menuangkan imajinasinya lewat medium film. 

 “For me, being a filmmaker means being able to freely express your feelings through some kind of statements. It’s a very interesting medium, which allows you to share stories and even get a whole bunch of new yet different perspectives,” ungkap Monica Vanesa Tedja soal kariernya sebagai sutradara dan penulis film. Bermula dari mengamati kebiasaan sang ayah yang gemar merekam video di setiap holiday trip keluarganya, timbul rasa penasaran dalam diri Monic yang saat itu masih berusia 10 tahun untuk mencoba merekam videonya sendiri dengan handycam yang sama. Seiring waktu, ketertarikannya semakin berkembang dengan belajar menyunting video sendiri, mengikuti workshop film dan lomba, sampai akhirnya mendaftarkan diri di jurusan Digital Cinematography. Dari yang awalnya sekadar menulis dan menyutradarai film-film pendek untuk tugas kuliah, karya Monic yang kental rasa quirky dan witty pun terus terasah dengan baik lewat beberapa film pendeknya seperti How To Make A Perfect Xmas Eve dan Konseptor Kamuflase yang berjaya di berbagai festival film dalam negeri hingga Tokyo, di samping pekerjaan komersialnya seperti video musik, viral campaign, web series, dan TV series.

Di tahun 2015 kemarin, Monic telah merilis dua film pendek yang juga mendapat apresiasi positif dan kian mencuatkan namanya sebagai sutradara muda yang patut disimak. Yang pertama adalah Sleep Tight, Maria yang dibintangi oleh Karina Salim dan Rain Chudori. Menceritakan soal dua siswi sekolah Katolik yang sama-sama bernama Maria dengan fantasi seksual masing-masing, film ini secara menggelitik berbicara soal masturbasi yang dianggap tabu bagi kaum perempuan, let alone in religious environment. Film pendek selanjutnya yang bertajuk The Flower and the Bee juga bermain dengan isu seksualitas yang sebetulnya bersifat sehari-hari. Kali ini lewat kacamata seorang gadis cilik berumur 10 tahun bernama Callie yang rasa ingin tahu khas anak-anaknya membuatnya penasaran dengan gestur jari yang dilihatnya dilakukan oleh dua anak SMP di mobil jemputan sekolahnya. Gestur yang dimaksud adalah menyelipkan jempol di antara telunjuk dan jari tengah yang bagi mereka yang lebih dewasa tentu paham jika gestur tersebut merujuk pada kegiatan seks.

Belum puas menuntut ilmu dan mempertajam talentanya, saat ini gadis 24 tahun yang mengagumi karya Michel Gondry, Woody Allen, Sofia Coppola, Wes Anderson, dan Spike Jonze tersebut sedang merantau ke Berlin, Jerman untuk mengincar Master Degree di bidang Penyutradaraan. Meskipun tahun ini ia mengaku akan memfokuskan diri dalam dunia akademis dahulu, saya tidak sabar untuk mengenal sosoknya lebih jauh sambil menantikan karya-karya segar darinya.

film "Sleep Tight Maria"(Kalyana Shira Foundation)
Film “Sleep Tight Maria” (Kalyana Shira Foundation)

Dari beberapa film pendek yang pernah Monic buat, ada tema imajinasi dan surrealism yang kental, terutama di Konseptor Kamuflase. Apa yang biasanya menjadi inspirasi bagimu? Menurutku, dunia film merupakan dunia imajinasi. Kita bisa membebaskan imajinasi kita bermain dengan seliar-liarnya, selama tentu masih masuk ke dalam konteks yang ingin kita bicarakan. Aku selalu menganggapnya sebagai salah satu bentuk escaping from reality. A “what-if“ condition. Dan seringkali hal-hal yang menginspirasiku itu berasal dari keresahanku akan sesuatu, mostly dari hal-hal yang juga terjadi di sekelilingku. Jadi biasanya aku akan mulai membayangkan, bagaimana kalau hal ini yang terjadi instead of hal itu?

Aku juga merasa ada unsur religi yang kerap muncul, seperti gereja, lagu rohani, dan natal misalnya. Apakah ada kesengajaan yang ingin diangkat dari situ? Sebenarnya aku nggak pernah menentukan kalau di setiap filmku itu harus ada unsur religinya. Bahkan belum lama ini aku baru sadar akan hal itu, haha. Aku nggak pernah menentukan karena memang nggak ada intensi khusus untuk menjadikan unsur religi tersebut sebagai, katakanlah “trademark” aku sebagai filmmaker. Karena aku nggak mau dikotak-kotakkan. Aku ingin membuat film berdasarkan apa yang memang aku rasakan, berdasarkan keresahanku sendiri. Jadi unsur apapun itu yang kamu dapati di filmku, pure karena memang berkaitan dengan cerita, karakter maupun statement-ku sebagai filmmaker, hehe.

So far, apa pengalaman syuting paling memorable/sulit? Apa yang menjadi turning point bagimu dalam menemukan gaya directing seperti sekarang? Sejujurnya, sampai detik ini pun kalau ditanya soal gaya directing aku masih belum bisa jawab. Karena buatku, yang menentukan itu adalah para penonton. Mereka yang bisa kasih penilaian ketika mereka menonton karya-karyaku. Tapi buatku, yang paling penting adalah jujur. Ketika kita mengerjakan sesuatu dengan hati, pasti hasilnya kelak akan lebih bermakna. Dari setiap karya yang telah kubuat, aku selalu mendapatkan pelajaran tersendiri yang cukup siginifikan. Dulu, aku tipe orang yang lebih mementingkan hasil ketimbang proses. Tapi sekarang, setelah melewati berbagai pengalaman membuat film, aku jadi benar-benar menghargai sebuah proses. Justru di tahap itulah aku, sebagai seorang filmmaker, bisa belajar banyak. Terutama belajar untuk mengesampingkan ego serta tahu kapan harus kompromi.

the-flower-and-the-bee_hlgh-640x360

The Flower and the Bee memiliki tokoh utama seorang anak kecil, is it hard to direct kids? Dan bagaimana caramu menjelaskan arti gestur jari tersebut kepadanya? Believe me, I thought it was going to be extremely hard. When it comes to handling kids, I’m the worst person ever. I didn’t even know why I was doing that film! Kidding. Anyway, it was surprisingly easy. Well, not that easy. Tapi karena bayanganku udah bakal rusuh banget, dan ternyata nggak separah itu, jadi aku anggap itu mudah, haha. Mostly karena aku dapet talents yang pintar dan sangat kooperatif. Mereka nurut, baik dan lucu banget! Dari proses pre-production sampai shooting, aku sengaja nggak mau kasih tau arti dari gerakan tangan tersebut ke tokoh utamaku, supaya dia semakin penasaran. Jadi seakan itu bener-bener journey-nya dia untuk mencari tahu arti dari gerakan-gerakan tangan tersebut. Ketika proses shooting selesai, aku melepaskan ke pihak orang tuanya masing-masing. Karena memang itu hak mereka, apakah mereka mau memberitahu anak-anaknya sendiri atau tidak. Sebenarnya aku lebih nervous ketika dealing with the parents, ketimbang anak-anaknya, haha.

Boleh cerita soal keterlibatan Monic di Soda Machine Films? Aku mulai secara resmi tergabung ke dalam Soda Machine Films sejak Juli 2013. Awalnya aku ditawari oleh Lucky Kuswandi, sang empunya yang juga dosenku sendiri di UMN, untuk magang di situ dan langsung melanjutkan kerja sebagai freelance writer and director.

Apa project selanjutnya di tahun 2016? Apakah sudah ada rencana untuk membuat feature filmUntuk project di tahun 2016, jujur belum ada rencana pasti. Karena sekarang aku masih fokus untuk menyelesaikan kursus bahasa Jerman serta pendidikan Master-ku kelak. Tapi kalau untuk feature film, memang sudah sempat terpikir sebuah ide untuk membuatnya. It’s a process. Aku gak mau buru-buru sih, yang pasti. Didoain aja, ya! 😉

Bagaimana soal Traveling Richie? It looks so interestingWah. It’s a really long story. Bisa dibilang ini project ambisiusku dengan teman baikku sendiri. He’s an animator. Suatu ketika kita memutuskan untuk kolaborasi bareng dan singkat cerita lahirlah Traveling Richie. Tapi sekarang sedang kita postpone karena keterbatasan dana. Cliché, I know. lol!

Pertanyaan klise tapi penting: Kalau Monic sendiri melihat film Indonesia sekarang seperti apa? Apakah isu indie tidaknya sebuah film masih relevan buat Monic? Banyak orang yang sering mengaitkan indie film dengan masalah budget. Kalau minim, berarti masuk kategori indie. Jadi tergantung bagaimana kita melihat pengertian istilah itu sendiri. Buatku sih, yang paling penting intensi di balik membuat film itu sendiri. Kalau yang tujuannya komersil tentu berbeda dengan yang tujuannya mengedepankan idealisme. Tapi nggak ada yang benar dan nggak ada yang salah. Selama masih sesuai dengan konteksnya masing-masing. Dan aku selalu mencoba optimis dengan dunia perfilman Indonesia. Aku percaya kalau kita punya banyak sekali orang-orang berbakat. Yang masih kurang apresiasi dan dukungannya aja mungkin, haha.

Dengan banyaknya anak muda yang tertarik menjadi filmmaker, apa saran terbaik yang pernah Monic sendiri dapatkan dan bisa di-share untuk mereka? As cliché as it sounds: just be yourself. Don’t be scared to share your own opinions. It does matter. And most importantly, it’s always good to get out of your comfort zones. You can always learn something by keep challenging yourself.

Terakhir, boleh rekomendasikan lima film dari sutradara perempuan favoritmu?

Me and You and Everyone We Know  – Miranda July

The Virgin Suicides  – Sofia Coppola

Tiny Furniture  – Lena Dunham

Palo Alto  – Gia Coppola

Short Term 12  – Destin Daniel Cretton (I know that the last one’s not directed by a woman director, but it’s just so good, I can’t help but mention it.)

 

 

A Copy of Her Mind, An Interview With Tara Basro

REX_6694

It takes more than luck to stay in the highly competitive movie biz, dan dengan kematangan skill serta repertoire peran yang kian membubung, Tara Basro telah menemukan spotlight tersendiri baginya dalam industri ini, and it’s getting brighter all the time

Disclaimer: Artikel ini diambil dari NYLON Indonesia November 2015 tanpa proses penyesuaian dengan keterangan waktu yang telah lewat.

Tara Basro always have a special spot in my heart. There, I said it. Tidak hanya karena sosoknya yang terus mencuri perhatian dalam setiap project yang ia kerjakan, tapi juga karena pribadi di balik layarnya yang tetap down to earth dan apa adanya, tak peduli sejauh apapun ia telah melangkah. Di hari Jumat menjelang akhir Oktober lalu, sama seperti pertemuan-pertemuan sebelumnya, Tara datang seorang diri ke lokasi pemotretan tanpa ditemani manajer, asisten, atau entourage lain seperti artis pada umumnya. Mengenakan jumpsuit berpadu sneakers, aktris cantik bernama lengkap Andi Mutiara Pertiwi Basro ini terlihat effortlessly chic dan santai. Wajahnya yang tersenyum ramah dibingkai oleh rambut hitam yang baru dipotong pendek dengan model bob yang fresh dan mempertegas feature wajahnya: high cheekbones, mata sayu nan sensual, dan kulit sawo matang yang glowing. Semua hal yang membuat dirinya terlihat stand out dan kerap membuat “eksotis” sebagai adjektiva yang melekat padanya, sesuatu yang membuatnya berjengit, as we will talk about it later.

REX_6907

“Lagi sibuk istirahat,” ujar Tara membuka interview ini. “Soalnya dari awal tahun ini aku sibuk dari mulai promosi film terus lanjut syuting film lainnya, traveling, dan kebanyakan di luar kota, jadi sekarang lagi beristirahat akhirnya,” sambungnya sambil membiarkan wajahnya mulai dirias. Well, jika ada orang yang berhak memiliki time out untuk beristirahat setelah bekerja keras sepanjang tahun, Tara adalah orangnya. 2015 memang telah menjadi tahun yang exceptionally busy untuk dara satu ini. Tak lama setelah aksinya sebagai pendekar wanita di Pendekar Tongkat Emas akhir tahun lalu, kita telah melihatnya di Filosofi Kopi sebagai sexy assistant yang walaupun bukan termasuk peran utama tapi berhasil membuat hati penonton berdegup kencang dalam setiap scene-nya. Setelah menyelesaikan film surealis garapan Ismail Basbeth berjudul Another Trip to the Moon yang masuk ke International Film Festival Rotterdam, ia pun langsung terjun dalam syuting A Copy of My Mind, film terbaru Joko Anwar di mana ia dan Chicco Jerikho bersanding sebagai pemeran utama.

ACOMM

            Dengan teaser poster yang menampilkan Tara dan Chicco sebagai pasangan yang dimabuk cinta, gampang bagi orang untuk mengiranya sebagai film drama romantis. But we’re talking about Joko Anwar’s work here, so basically, walaupun film ini memang mengedepankan relationship antara sepasang anak muda Jakarta, namun dengan adanya plot twist dan grand scheme tentang sisi gelap dunia politik dan industri pembajakan film, A Copy of My Mind jelas bukan cerita cinta biasa.“Yes, there’s a little bit about politics. Tapi Bang Joko mau film ini bisa dinikmati semua orang, bukan orang Indonesia doang dan akhirnya di-package dalam romantic film. It’s like a time capsule, kalau orang mau lihat Jakarta di tahun 2015 seperti apa ya seperti di film ini, walau orang nggak tinggal di Jakarta dan nggak tau what’s going on di Jakarta pun masih bisa relate,” tutur Tara.

            Sambil mulai melahap pisang yang ia bawa sendiri dari rumah, Tara pun menceritakan lebih lanjut soal perannya sebagai seorang pekerja salon bernama Sari di film ini. “She’s very… Orangnya sangat cuek. Karakter Sari dan Alek, mereka menggambarkan karakter anak-anak muda di Jakarta yang sebenarnya tidak peduli dengan politik sama sekali, they don’t care what’s going on outside, tapi bagaimanapun juga, walau dua karakter ini tidak peduli dengan politik, hidup mereka tetap terpengaruh. Jadi gue rasa banyak anak muda yang masih seperti itu, I think gue bisa merasa dekat dengan karakter Sari ini karena bisa dibilang tahun-tahun sebelumnya I’m also like that, gue yang sangat pesimis and I don’t wanna get involved with politics at all, karena rasanya kaya lo menggebu tapi percuma, but now I think sekecil apapun input kita pasti akan berguna,” paparnya. Lantas, apakah setelah film ini ia menjadi antusias soal politik? “Not really, I’m chillin’,” tampik Tara dengan senyuman kecil, “Tapi misalkan dari hal-hal kecil kaya yang lo lihat di sekitar lo misalkan dengan sesimpel buang sampah pada tempatnya, I know it has nothing to do with building your country tapi mulai dari self-awareness seperti itu dulu deh,” tandasnya.

            Dengan waktu syuting hanya 9 hari dengan cast yang bisa dihitung dengan jari, skill akting Tara jelas dituntut secara maksimal di film ini, terutama ketika harus syuting secara diam-diam di sebuah tempat pembajakan DVD di Glodok. “I never see so much DVD in my life, DVD bajakan semua, mereka bikin packaging-nya and everything. Tadinya kita minta izin tapi nggak dikasih, akhirnya kita diam-diam, itu rasanya kaya lo bisa aja tiba-tiba dikarungin, terus diculik nggak balik-balik, serem banget kaya suicide mission. Yang megang kamera gantian Bang Joko sama DOP-nya, jadi kita sok-sok lihat DVD tapi kalau dilihat footage yang nggak dipakai, kebanyakan muka gue udah pucat banget dan kaku,” ceritanya sambil menunjukkan ekspresi pura-pura takut. Undercover shoot aside, yang tak kalah menantang adalah membangun chemistry dan beradegan intim dengan lawan main.“Chicco is great,I love working with him, karena dari awalnya kita juga teman dan sering ngobrol jadi ketika harus bangun chemistry dengan Chicco pun everybody can relate about feeling love, find someone that you love dan melihat sesuatu bisa diperjuangin untuk orang ini,” tukasnya sebelum melanjutkan, “Yang gue suka dari kerja dengan Bang Joko adalah dia memang membangun karakternya sangat matang, he would do interviews dengan gue sebagai Sari. Misalkan dia akan pura-pura jadi polisi terus Sari ditilang, kira-kira Sari akan ngomong apa di kondisi itu? Jadi mau nggak mau ya rasanya udah kaya jadi karakternya, jadi begitu kita syuting, its more like capturing moment.”

Kerja keras mereka terganjar dengan terpilihnya A Copy Of My Mind menjadi official selection di kategori Orrizonti di 72nd Venice International Film Festival tahun ini. Bulan September lalu, Tara pun bertandang ke Italia untuk mempromosikan dan gala premiere film tersebut di mana ia berjalan di red carpet dengan memakai rancangan Jeffry Tan. “Aneh aja dengar orang Itali manggil-manggil nama gue, haha!” kenangnya terbahak.“Tapi seru sih, deg-degan juga karena belum pernah jalan di red carpet segede itu kan, apalagi orang-orang tau soal film lo. Senang banget pas di sana orang-orang sangat antusias nonton filmnya, tadinya gue nggak menduga orang akan sesenang itu sama filmnya, terharu aja rasanya, kaya pas lagi jalan ada orang yang nyamperin dan bilang ‘I’ve seen your film! It’s so good, thank you so much for making it!’ jadi rasanya pasti senang lah, dari awal bikin filmnya juga karena suka dan yang bikin juga memang senang sama karyanya sendiri, jadi gue sangat berterimakasih banget sama yang nonton karena bisa appreciate dengan apa yang kita kasih. Itu jadi humbling experience juga karena orang-orang di sana sangat passionate dengan film dan pekerjaan mereka, jadi gue merasa kaya I wanna do something bigger, I wanna do more. Malah kaya ah gila, I’ve done nothing rasanya,” ungkapnya bersemangat.

Selain di Venice, film ini juga telah ditayangkan di festival film internasional di Toronto dan Busan. Publik Indonesia sendiri masih harus bersabar karena film ini direncanakan baru tayang di dalam negeri sekitar Februari tahun depan. Meanwhile, sembari menunggu, kita juga bisa melihat aksi Tara di proyek Joko Anwar lainnya, yaitu serial televisi Halfworlds yang diproduksi HBO Asia. Dalam serial action thriller berbumbu mitologi Indonesia ini, Tara menjadi bagian ensemble cast dari aktor-aktris Indonesia paling menarik saat ini. “Halfworlds sangat seru soalnya cast-nya banyak dan isinya banyol semua jadi proses syuting sangat menyenangkan and I think its a fun story juga. Yang seru,it was the first time for me to working in the studio karena sebelumnya kan selalu real set, kemarin set beneran cuma beberapa, sisanya di studio semua jadi gue kaya ‘Wow this is actually pretty awesome’, you working in very controlled environment kaya lo nggak harus peduli ada tukang bakso lewat untuk break syuting, its kinda nice, but at the same time, you also miss the energyand spontanity,” jelas Tara tentang proses syutingnya yang berlangsung di studio di Batam. Dalam serial ini, Tara kembali berpasangan dengan Reza Rahadian sebagai bad ass duo. Kalau di Pendekar Tongkat Emas mereka menjadi sepasang pendekar culas, kali ini mereka menjadi sepasang Bonnie and Clyde kinda characters dengan kekuatan Demit dan adegan laga yang seru. Menyoal bagaimana seringnya ia dipasangkan dengan Reza, dengan berseloroh ia menjawab: “I love working with him, he’s such a good actor and I learn a lot from him, jadinya kaya udah sahabatan tapi lama-lama kaya yang ‘Can I be someone else’s girlfriend, please?

REX_6736

Harapannya terjawab di film Tiga Srikandi di mana Tara kembali satu film dengan Reza namun kali ini tanpa embel-embel asmara. Berlatar tahun 80-an, film karya Iman Brotoseno yang juga dibintangi oleh Chelsea Islan dan Bunga Citra Lestari tersebut mengangkat kisah nyata tiga srikandi dari tim atlet panahan Indonesia yang berlaga dan memenangkan medali perak di Olimpiade Seoul tahun 1988. Demi perannya, Tara pun belajar memanah selama tiga bulan.”Awalnya gue pikir panahan is gonna be very monotone, tapi pas dilakuin ternyata bikin emosi karena you know you could hit the target. Panahan itu soal konsistensi, kalau posisi tangan berubah sedikit aja, pasti hasilnya beda, jadi setiap manah posisi lo harus sama, tapi seru sih, I love it,” paparnya soal film yang akan ditayangkan akhir tahun ini.“Dari film ini gue juga pengen bangun awareness karena kita butuh regenerasi, nggak hanya soal atlet tapi aktor juga perlu ada regenerasi, I think semuanya sih, semua orang yang bekerja di bidangnya harus punya tanggung jawab untuk pass on ilmunya,” pungkasnya.

Berhadapan dengan Tara membuat memori saya kembali ke tahun 2011 ketika saya baru mulai berkarier di media dan bertemu Tara untuk pertama kalinya saat ia dan cast lainnya dari Catatan (Harian) Si Boy datang ke kantor NYLON. Looking at her right now, saya tidak bisa mengesampingkan perasaan kagum melihat bagaimana sosok girl next door pemalu dan pendiam yang saya temui empat tahun lalu telah menjelma sebagai aktris muda berkaliber yang dengan begitu eloquent bercerita soal passion-nya di dunia film. “That was my first film, I was a baby…Its crazy, nggak kerasa nggak sih?” tanyanya retoris. 12 film panjang dalam kurun waktu lima tahun adalah pencapaian impresif bagi seseorang yang mengaku terjun di film karena “tercemplung” tanpa basic akting sebelumnya. Just like a baptism with fire, bakat mentah dalam dirinya terus terasah secara natural di setiap judul film yang ia bintangi. “Dari akting I learn so much, especially about myself karena selama ini gue melihatnya selalu keluar tapi karena akting, I have to switch untuk lebih melihat ke dalam diri gue sendiri kaya ‘How can I be more sensitive?’, karena gue lumayan ignorant kan, tapi di akting you have to pay attention to detail, so I love my job, its the best job.”

Tak banyak yang tahu jika sebelum mencapai titik ini rejection adalah hal yang cukup akrab bagi seorang Tara Basro yang sempat tidak percaya diri dengan penampilannya. “I think I’m being a little hard to myself sometimes,” ujarnya pelan. “I had difficulties because of my skin tone, apalagi dulu rambut gue cepak, sekarang juga pendek sih tapi dulu lebih pendek lagi, dulu masih di highschool, kerjanya ya di bawah matahari terus jadi udah butek, item, rambutnya pendek, terus orang-orang kaya yang ‘Umm, we’re looking for someone with lighter skin and longer hair’ gitu, jadi untuk gue bisa masuk ke film setelah gue putus asa dengan casting segala macem, it was such a blessing,” kenangnya. “Tapi perjuangan nggak berhenti di film pertama, it was a good film untuk film pertama tapi setelah itu perjuangannya gue bisa berbulan-bulan nggak kerja, doing nothing, sementara my mom and dad mulai ngomel-ngomel di rumah kaya ‘What are you doing? You’re not doing anything!’ haha, gue kaya yang ‘Just be patience, okay…’ Haha. It was really tough, jadi walaupun sekarang gue belum ada di posisi yang gue impikan, tapi to be here right now it took a lot of hard work, banyak patah hati segala macem, I learn a lot of things dengan cara yang lumayan harsh, but here I am, surviving.”

Lucunya, di umurnya yang kini menginjak 25 tahun, kulit sawo matang yang dulu seolah menjadi ‘kutukan’ tersendiri baginya sekarang justru menjadi ciri khas dan daya tarik istimewa dalam dirinya. Sulit mencari artikel tentang Tara yang tidak menyelipkan kata “seksi” dan “eksotis” untuk mendeskripsikan dirinya. Namun, saya selalu penasaran bagaimana sebetulnya perasaan Tara soal julukan “eksotis” tersebut. “I have mixed feeling about that word,” akunya, “Apalagi kalau misalkan ada orang yang bilang ‘Mukanya Indonesia banget ya?’ Gue kaya yang ‘What exactly is muka Indonesia?’ Muka Indonesia kan beda-beda, kalau di Korea masih mending ya, karena everybody’s white, tapi kalau di kita kan beda-beda, ada yang orang Manado, ada orang Papua, ada Sulawesi, NTT, semuanya beda-beda. Kalau dibilang eksotis pun gue masih bingung, is it because of my eyes or my skin? But I take it as compliment, but it makes me cringe every time I hear,“ ungkapnya.

REX_6454

“Gue pengen generasi muda untuk more brave, more loving, and forgiving,” ujar Tara dengan mimik serius. “Sampai sekarang gue masih mencoba raise awareness untuk generasi muda to take care of themselves karena awalnya I deal with a lot of insecurities kaya misalkan, maybe I’m not pretty enough, not skinny enough, my skin is not flawless enough, udah coba berbagai macam cara, udah ke dokter muka segala macem, yang pada akhirnya all those side effects gue rasain di umur gue yang 25 tahun ini. Like oh my God I’ve been so selfish, pengennya semuanya perfect padahal dengan gue yang sekarang ini udah cukup. Those beauty stuff… Its harming, mungkin sekarang nggak ngerasain apa akibatnya tapi later on itu bakal kerasa and you will regret it, jadi gue pengen as someone yang bisa dibilang public figure, I feel like I have some responsibility untuk try to educate, mungkin not for everybody tapi ke orang yang mungkin look up to me. But in the end of the day, nobody could love you unless you love yourself first.”

Semua yang terlontar dari bibirnya jelas bukan sekadar empty words tanpa aksi. Cara Tara mencintai dirinya sendiri adalah dengan menghindari zat-zat yang berbahaya bagi tubuh. Ia termasuk konsumen yang rajin membaca nutrition fact dalam setiap produk yang ia gunakan dan cukup familiar dengan istilah-istilah yang asing bagi orang awam. Ia juga mengaku sekarang ini lebih tertarik pada hal-hal yang berbau kesehatan dan mengungkapkan keinginan untuk belajar ilmu nutrisi di samping belajar bahasa asing, khususnya French, mengingat waktu kecil ia sempat tinggal di Prancis. “I go to the gym a lot,” ucap Tara tentang caranya menjaga kesehatan di antara jadwal yang sangat padat. Sempat belajar wushu untuk syuting Pendekar Tongkat Emas, saat ini Tara masih rutin yoga, weight training, dan Muay Thai. “Pokoknya masa-masa istirahat ini yang gue maksimalin adalah olahraga karena kalau syuting apalagi di luar kota kaya udah nggak punya waktu. I’ll be in my best mood after workout, meskipun capeknya kaya apa tapi tetap sangat menyenangkan. Selebihnya mungkin baca buku and keep in touch with my family, karena makin lama makin jarang ketemu karena kerjaan,” lanjut anak perempuan satu-satunya dari tiga bersaudara ini. Buku apa yang sedang dibaca Tara belakangan ini? “Sekarang lagi baca Conversations with God, right now gue lagi banyak baca buku yang lebih spiritual karena working in this industry, its little hard to find yourself karena kadang-kadang kalau lanjut dari satu karakter one to another itu kadang-kadang I get lost sometimes, I love to read books to feel relax and better about myself.”

            Sejalan dengan hobi berolahraga, Tara yang lebih nyaman dengan gaya kasual adalah penggemar sneakers.“People think I started to have problem karena right now at my place, I’m sleeping with my sneakers karena udah kebanyakan gitu, dan kalau ada acara gue kaya yang ‘I don’t have any shoes! I don’t have any heels!’ Haha! I wish I could wear my sneakers with dresses, tapi ya gitu, gue udah mulai dimarahin kaya disuruh stop beli sneakers,” kisah penggemar Adidas dan Vans yang hobi berburu sneakers baik di eBay maupun saat keluar negeri dan saat ini sedang menunggu pesanan Adidas Ultra Boost warna putih incarannya tiba.

            Mind, body, and soul. Keseimbangan ketiganya tak akan lengkap tanpa adanya cinta dan ketika menyinggung topik itu, Tara mengaku dirinya adalah seorang hopeless romantic yang gemar menonton film rom-com sebagai guilty pleasure-nya. “Its easy for me to fall in love with someone because I wear my heart on my sleeve,” ujarnya tersenyum. “I dunno if you’re notice or not, but every girl is a psycho in different ways. I feel like kalau pacaran itu tentang mentolerir kekurangan orang lain, you need someone you can trust and accept you whoever you are, at the end of the day itu yang harus lo hadapi for the rest of your life. Karena if you wanna change somebody I don’t think its possible.” Kualitas apa yang biasanya dicari Tara for potential lover? “Sense of humor, caring, initiative, and good taste in music… Itu parah banget,” jawabnya cepat. Wait, jadi Tara termasuk yang menilai orang dari selera musiknya? “Of course I do! Apalagi kalau lagunya udah nggak nyambung itu kaya yang aah… Gue pernah pacaran sama orang, he doesn’t listen to music, can you imagine? Gue kaya yang ‘Are you serious?’ Jadi kalau di mobilnya ya kalau nggak radio ya diam, sedangkan gue yang tipikal langsung blasting the music!” ungkap penggemar Brandy, Jordan Rakei, dan Hiatus Kaiyote ini. Khusus nama terakhir, ia rela terbang ke Kuala Lumpur untuk menonton konser kuartet soul asal Melbourne tersebut dan dengan semangat menyebut Hiatus Kaiyote sebagai dream wedding band-nya, dengan catatan kalau ia tidak bisa mengundang Beyoncé untuk tampil di dream wedding-nya.

            True to her confession as hopeless romantic, di balik persona yang terlihat cuek, Tara ternyata punya dream wedding versinya sendiri. “Are you sure you wanna go there? Because we will have two hours talk, haha!” candanya saat saya bertanya soal pernikahan impiannya.“My dream wediing would be outdoor. I would love to have Latin music, all white, very intimate… Apalagi ya? Nggak tau, gue kalau dilamar aja kayanya udah senang, haha!” jawabnya. Ketika ditanya apakah itu artinya Tara sudah serius memikirkan soal getting married and settled down, dengan kerlingan mata yang kadang terlihat jahil, ia menjawab, “Ready or not, you just have to jump. Kalau ditanya ‘ready’ sih iya, tapi kalau ditanya ‘rela’jawabannya belum, karena I still want do something more.

            Dengan sederet peran dan proyek seru yang sudah ia jalani, apa lagi yang ingin dikejar Tara? “Sebenarnya gue pengen banget kerja bareng Dimas Djay, tapi sayangnya dia udah nggak mau bikin film lagi kayanya. Atau Gareth Evans. I wanna do musical, tapi musical itu harus sangat hati-hati ya, jangan sampai tiba-tiba pas nonton nanti orang malah kaya ‘What?I enjoy singing, strictly di kamar mandi or in a car, but yeah I love to explore music more if I have the chance, tapi kalau if I ever do music, its gonna be something yang bukan buat jualan sih, buat kesenangan gue aja,” tandasnya. Di samping berbagai proyek yang sudah dipaparkan di atas, Tara juga terlibat dalam Flutter Echoes and Notes Concerning Nature, film garapan Amir Pohan yang mengangkat environmental issue dan masih dalam tahap post-production, di samping beberapa film yang masih tahap in consideration untuk tahun depan. Untuk sekarang, Tara hanya ingin menghabiskan akhir tahun dengan beristirahat. “Capek banget, karena semua project gue belakangan ini udah physical. Gue capek dengan semua begadangnya .I just feel I need to respect and listen to my body more, karena selama ini badan gue kaya pengen ngomong ‘I’m tired’ But I keep ignoring it, so I think I deserve a break, lagian biar orang nggak bosan juga lihat gue terus. I’m excited karena akan ada beberapa project yang keluar and I’m curious tanggapan orang akan seperti apa,” pungkasnya dengan nada optimis.

REX_6563

Fotografer: Raja Siregar

Stylist: Patricia Rivai.

Makeup Artist: Marina Tasha

Hair Stylist: Jeffry Welly (Studio 47)

The Magic Hour, An Interview With Kimbra

Kimbra1

Dengan eksplorasi musikal tanpa batas, performance eksplosif, dan segala keunikan yang melekat dalam dirinya,Kimbra membuktikan jika ia bukan sekadar “somebody that you used to know”. She’s here to stay with guts and a whole heap more

Hanya sehari menjelang keberangkatan saya ke Bali untuk Sunny Side Up Festival di awal Agustus lalu, tersiar kabar jika Gunung Raung kembali memuntahkan abu vulkanik and there’s big chance jika jadwal penerbangan ke Denpasar akan sangat kacau. Ada ketakutan jika banyak para performer yang terpaksa membatalkan penampilan mereka dan memilih langsung terbang ke Jakarta untuk We The Fest yang juga diselenggarakan oleh Ismaya Live. Saya sendiri akhirnya memilih stay di Jakarta sekaligus dengan berat hati membatalkan exclusive interview dengan salah satu performer utama di festival itu, Kimbra Lee Johnson, singer-songwriter asal Selandia Baru atau yang lebih dikenal dengan nama depannya saja. It turns out, penyanyi berumur 25 tahun yang terkenal dengan single “Settle Down” dan duetnya bersama Gotye di lagu “Somebody That I Used to Know” ini memiliki nyali serta dedikasi yang lebih besar dari saya. Tak mau mengecewakan penggemarnya, dia tetap terbang dari Australia walaupun harus detour ke Surabaya lebih dahulu untuk mencapai Bali dan berdasarkan reaksi yang saya baca di social media, sukses tampil gemilang di festival yang berlangsung di Potato Head Beach Club tersebut. Lucky for me, Kimbra bersedia untuk menjadwalkan ulang interview dan photoshoot bersama NYLON Indonesia di Jakarta, tepatnya Minggu, tanggal 9 Agustus lalu di hari yang sama dengan digelarnya WTF di Parkir Timur Senayan.

Saat saya dan tim tiba sekitar jam 10 pagi di hotel tempatnya menginap, sang tour manager menginformasikan jika Kimbra masih butuh beberapa saat untuk bersiap dan mengingatkan jika dirinya mungkin masih agak lelah. Well, tiba di Jakarta untuk langsung rehearsal setelah terjebak di bandara selama enam jam memang terdengar seperti resep jitu untuk mood yang jelek, terutama jika kamu telah menghabiskan banyak waktu di tur dan harus menghadapi jurnalis di Minggu pagi yang terik. Satu hal yang saya notice, Kimbra termasuk public figure yang sangat peduli akan detail. Dengan segala persiapan yang lumayan mendadak karena perubahan jadwal yang juga tiba-tiba, kami harus memberi tahu dengan jelas tentang konsep dan detail pemotretan yang akan kami lakukan, dari mulai wardrobe, make up, sampai lokasi yang setelah beberapa pertimbangan akhirnya disepakati untuk dilakukan di kamar hotelnya. Dia hanya mengizinkan fotografer dan stylist untuk naik terlebih dulu ke kamarnya dan setelah nyaris satu jam menunggu di lobi, akhirnya saya diperkenankan untuk masuk ke kamar hotelnya.

Jujur saja, saya sempat berpikir jika mungkin dia adalah tipikal artis yang banyak mau dan mungkin agak diva-ish, tapi semua prasangka tersebut langsung luruh ketika dengan ramah ia mengulurkan tangan sambil tersenyum lebar untuk memperkenalkan dirinya. Berambut hitam sebahu dengan poni, lipstick merah, dan winged eyeliner, wajahnya terlihat segar meskipun ia mengaku agak mengantuk. “Sebetulnya saya termasuk orang yang lebih suka bangun pagi,” ujarnya sambil menikmati potongan buah-buahan dan secangkir kopiyang menjadi breakfast-nya. “Saya tahu adalah hal yang tipikal bagi seorang musisi untuk tidur sampai siang, tapi saya berusaha bangun sekitar 9 pagi. Kalau sedang disiplin saya akan memulai hari dengan olahraga, tapi saat tur panjang seperti sekarang hal itu lumayan sulit. Jadi biasanya saya memulai hari dengan sarapan, menyalakan laptop untuk mengirim email dan hal-hal administratif lainnya. Dan ketika siang atau menjelang petang, baru lah saya menulis musik,” imbuhnya.

Meskipun sempat terjebak di bandara selama 6 jam karena abu vulkanik, Kimbra mengaku sangat antusias untuk penampilannya di Bali dan Jakarta. Bila kamu mengikuti akun Instagram miliknya, kamu mungkin sudah tahu jika salah satu hal yang membuatnya antusias datang ke Indonesia adalah musik gamelan. “Saya mengetahui soal gamelan saat saya di Montreal dari salah satu produser yang bekerjasama dengan saya, Damian Taylor, yang pernah bekerjasama dengan Björk untuk album Volta di mana Björk sangat terpesona oleh gamelan. Damian memberikan saya beberapa album gamelan Bali yang suka saya dengarkan sebelum tidur karena bunyinya yang sangat melodic dan soothing,” ungkapnya.

Honestly, ketertarikan Kimbra pada gamelan sama sekali bukan hal yang aneh, mengingat bagaimana ia terkenal karena warna musiknya yang eklektik. Secara umum, Kimbra membuat musik yang merupakan anagram dari berbagai genre. Dari mulai modern electropop, R&B, jazz, dan soul yang dengan mudah menari di antara balada kontemplatif hingga tubthumping anthem yang membakar stage. Rasanya, bunyi gamelan yang dreamy sekaligus perkusif tidak akan terasa aneh jika dimasukkan dalam album terbarunya, The Golden Echo yang dirilis Warner Bros setahun lalu.Inspirasi utama diThe Golden Echo banyak datang dari mitologi Yunani, khususnya cerita Narcissuss yang terpesona pada bayangannya sendiri. Dan album ini memang menampilkan banyak refleksi dari Kimbra, in term of music and mood. 12 lagu di dalam album ini dikerjakan olehnya di sebuah urban farm yang dipenuhi hewan ternak di daerah Los Angeles, sehari setelah ia memenangkan Grammy Award 2013 bersama Gotye untuk kategori Record of the Year dan Best Pop Duo/Group Performance yang membuatnya menjadi orang Selandia Baru ketiga yang pernah tercatat dalam sejarah Grammy.

Kini, setelah dua setengah tahun tinggal di L.A., merilis The Golden Echo, tur keliling dunia, dan critical acclaim sebagai solo singer-songwriter, Kimbra memutuskan pindah ke New York City, namun tampaknya fragmen masa lalu bertajuk “Somebody That I Used to Know” tersebut masih membayangi langkahnya. “Saya tiba-tiba mendengar lagu itu dimainkan di sebuah cafe ketika saya sedang di New York dan rasanya semua tiba-tiba kembali terlintas di depan mata saya, gosh, karena lagu itu sebetulnya sudah tidak terlalu sering diputar di radio lagi sekarang ini kan? Saya lantas tersadar jika semuanya terjadi dengan begitu cepat. Rasanya baru kemarin saya merekam lagu itu di studio rumah saya. It is such a nice song, more like a ballad, tapi saya tidak pernah berpikir jika lagu ini akan menjadi begitu fenomenal. Bagi saya, itulah beautiful mystery of music, ketika semua variabel terasa tepat, itu bisa terjadi pada siapapun, tapi tentu saja butuh kerja keras untuk sampai di titik itu. Gotye pun bukan penyanyi baru sebetulnya, dia telah memiliki tiga album. Tapi, it’s beautiful humbling realization jika pop hit song bukan sekadar sesuatu yang kamu formulasikan dalam kepala. Kadang hal itu bisa terjadi begitu saja, dan bagi saya, itulah yang membuat saya tetap percaya pada musik pop. Saya tidak mau percaya jika musik pop hanya sekadar sekumpulan orang di meja rapat yang memutuskan lagu apa yang akan menjadi nomor satu. Terkadang something just hit the right moment dan sebuah lagu begitu mendunia karena emosi di dalamnya terasakuat, that’s what I think about that song.”

Kimbra4

Tak bisa dipungkiri jika kebanyakan orang mungkin memang baru mengenal namanya berkat lagu duet tersebut. Namun sebetulnya, bahkan sebelum merilis album debutnya, Vows, di tahun 2011, Kimbra adalah natural-born musician dengan talenta mengagumkan. Lahir di Hamilton, Selandia Baru pada tanggal 27 Maret 1990, Kimbra berasal dari keluarga medical. Ayahnya adalah dokter dan ibunya adalah seorang perawat dengan koleksi rekaman The Beach Boys dan Frank Sinatra. “It’s always in my heart,” ujarnya soal musik. “Saya selalu menganggap musik adalah bahasa dan medium bagi saya untuk mengeluarkan emosi di dada saya,” imbuhnya. Mulai menulis lagu sejak umur 10 tahun, belajar gitar di umur 12, dan membuat video musik pertama di umur 14 untuk sebuah acara TV anak-anak, saat SMA ia bergabung dalam jazz choir sekolahnya dan berkompetisi dalam kompetisi musik nasional. Sebagai remaja, ia mencintai musik pop, tapi dia juga mendengarkan Björk, Nine Inch Nails, Mars Volta, dan Cornelius. Namun, saat ditanya siapa musisi yang membuatnya ingin serius bermusik, dengan tegas ia menyebut nama mendiang Amy Winehouse. “Hmm… Waktu itu saya sangat terinspirasi Amy Winehouse, karena walaupun dia penyanyi jazz, tapi dia punya influens hip-hop yang kental with those beat and toughness dan dia tidak takut untuk mengutarakan pendapatnya. Ketika saya mendengarkan album pertamanya, saya tersadar jika saya juga bisa membuat musik seperti itu, dengan melodi jazz tapi juga terdengar tough. Dan tentu saja saya juga menyukai musik-musik yang lebih keras seperti Soundgarden, Mars Volta karena walaupun mereka rock tapi juga sangat soulful. Saya banyak mendengarkan punk dan juga Jeff Buckley karena walaupun dia penyanyi rock tapi dia memiliki vokal jazz yang sangat kuat. Mereka dan penyanyi-penyanyi bernyali besar lainnya seperti Kate Bush yang menginspirasi musik saya. I don’t wanna be safe, I want to push the boundaries,” tegasnya.

The Golden Echo adalah usahanya untuk mendobrak batasan tersebut. Dibuka oleh lagu berjudul “Teen Heat”, paruh pertama album ini dipenuhi oleh racikan glorious beat yang exuberant dan catchy seperti “Miracle” dengan influens disco yang menjadi lagu pertamanya yang bertengger di Billboard dan single utama “90s Music”, sebuah ode untuk generasi 90-an yang unapologetically pop dan turut diproduseri Mark Foster dari Foster the People. “Ketika mendengar kata pop, saya membayangkan musik yang punya melodi catchy, musik yang bisa diterima baik oleh sembarang orang di jalan maupun seorang music student. Tapi saya juga merasa jika banyak musik pop yang quite unimaginative and uninteresting. Terkadang saya merasa sedih jika orang hanya memandang saya sebagai musisi pop, karena saya percaya jika pop justru adalah wadah di mana kamu bisa menggabungkan banyak ide dan genre. Ketika saya melihat Prince atau Michael Jackson misalnya, mereka memiliki musik yang menarik dan progresif, tapi masih terasa pop karena kamu bisa menyanyikan chorus-nya sambil mandi tapi ketika kamu mendengar bagian verse-nya, kamu akan seperti… ‘Wow!’, it’s crazy. Pop tidak seharusnya membosankan dan predictable, bagi saya musik pop justru harus punya kejutan dan menantangmu untuk mendengarkannya tidak hanya lewat telinga, tapi juga lewat hati dan pikiran. That’s what I’m passionate about.”

Sementara paruh kedua album ini diisi lagu-lagu yang lebih sentimental seperti “As You Are”, sebuah lagu balada dengan dentingan piano yang diakuinya merupakan lagu paling jujur dan personal dalam album ini. Ia tersenyum tipis ketika bercerita soal lagu itu, seakan luka emosi yang melatarbelakangi lagu itu belum benar-benar pulih. “Lagu itu adalah lagu yang sangat emosional, karena berdasarkan real situation dengan seseorang yang mematahkan hati saya,” paparnya, sebelum melanjutkan, “Lagu ini tentang vulnerability ketika kamu telah mengekspos dirimu kepada seseorang dengan begitu jujur dan apa adanya, literally as you are, dan sebagai seorang seniman, merupakan hal yang sakral untuk mengizinkan orang lain untuk masuk ke hatimu dan menjadi bagian hidupmu in an intimate way. Lagu ini tentang ketika hubungan tersebut kandas, ketika kita merasa tereksploitasi dan terluka. Ini adalah lagu yang paling berat yang saya tulis. But I’m already over it, semua orang pernah berada di titik itu, haha,” tuntasnya sambil tertawa kecil.

Kimbra3

Alih-alih terdengar seperti album bipolar, The Golden Echo untungnya lebih seperti sebuah cerita yang berkesinambungan di mana seperti hidup, there’s a lot of ups and downs dan Kimbra menyikapinya dengan aksi panggung yang setara, bahkan lebih dari ekspektasi. “Yang saya suka ketika tampil di panggung adalah bagaimana setiap momen terasa berbeda dan tidak bisa kamu ulangi lagi. Dan saya selalu berpikir bagaimana caranya agar penampilan saya tidak hanya menghibur penonton tapi juga diri saya sendiri. Terkadang saya hanya ingin duduk dan menyanyi dengan memejamkan mata, dan di hari lain saya ingin rock out seliar mungkin. It’s about changing the energy every time,” ucap Kimbra yang menyebut Coachella sebagai festival moment favoritnya sejauh ini. “Saya pernah tampil di Coachella sebelumnya bersama Gotye, tapi Coachella kemarin adalah kali pertama saya tampil bersama band saya sendiri dan rasanya luar biasa. Its very iconic music festival, dengan gurun pasir dan matahari terbenam, it was very beautiful,” kenangnya.

Seperti yang mungkin kamu saksikan sendiri di WTF silam, totalitas Kimbra sebagai musisi turut diperkuat oleh elaborate costume yang ia kenakan dalam setiap penampilan live-nya. Dalam penampilan di Coachella kemarin, misalnya, ia mengenakan gaun dengan konsep cermin yang didesain oleh Cassandra Scott-Finn, seorang desainer berlatar sculpture artist dan fine art yang menjadi stylist untuknya. “Orang selalu bertanya apakah saya menjadi orang lain saat berada di atas panggung, tapi saya merasa jika hal itu sebetulnya lebih sebagai exaggeration of the personality, karena saat tampil di depan ribuan orang, kita harus menonjolkan penampilan kita karena kalau saya tampil di panggung dengan baju sehari-hari saya, akan sulit bagi saya untuk memisahkan mana diri saya sebagai seorang entertainer dan diri saya sehari-hari. I love the loudness of my performance, tapi sebetulnya saya sendiri lebih cenderung pendiam, dan lebih memilih obrolan one on one seperti ini. Di akhir hari, ketika saya membersihkan make up dan melepas kostum panggung saya, rasanya menyenangkan untuk menjadi Kimbra yang apa adanya,” ungkapnya.

Namun, baik di atas maupun di luar panggung, Kimbra tak pernah lupa menginjeksikan quirkiness yang segar dalam kesehariannya. Dalam interview ini, ia memakai printed sweater dari label Selandia Baru bernama Stolen Girlfriends Club yang kasual tapi tetap terlihat eye-catching. “I like to dress comfortably yet still able to express myself,” akunya. “Salah satu sahabat baik saya, Natasha Bedingfield, pernah bilang jika terkadang kita berpakaian bukan hanya untuk membuat diri kita sendiri feel good, tapi juga membuat orang lain tersenyum. Jadi ketika kita berjalan ke luar dan terlihat fun, it’s like something that make people smile and bring joy to other person. I like to think fashion being a conversation,” jelasnya.

Meski demikian, ia pun tak mengingkari jika sebagai seorang musisi wanita, there’s a lot of pressure dalam industri ini, terlepas dari maraknya slogan feminisme dalam dunia musik yang kini dilontarkan oleh rekan-rekan musisinya seperti Taylor Swift hingga Beyoncé. “Saya lebih percaya pada equality movement. Saya merasa ‘feminisme’ telah menjadi suatu kata dengan banyak momok dan beban tersendiri yang melekat. Women are now taking back the power, which is good thing, tapi jika itu artinya musik menjadi more and more sexualized, hal itu tak akan mengubah apapun. Pria masih akan memandangmu sebagai sexual object. Yang saya percaya adalah kesetaraan antar gender dan mutual respect di mana baik pria dan wanita bisa bangga terhadap tubuh mereka, atau pria dan wanita bisa duduk di studio dan merekam musik mereka sendiri. I don’t think it’s about war between the sexes, namun saya juga sangat bangga jika kaum perempuan bisa menunjukkan taring mereka, its great thing.”

Kimbra2

Fotografi oleh Andre Wiredja

Stylist: Anindya Devy

Through The Lens: Deby Sucha

Deby Sucha

Dalam edisi Oktober 2015 NYLON Indonesia yang mengangkat tema “The It issue”, saya menulis tentang profil empat perempuan muda yang berkarya di dunia fotografi yang masih didominasi kaum pria. Salah satunya adalah Deby Sucha, fotografer kelahiran Jakarta 29 tahun yang lalu yang saat ini sedang bermukim di Jepang. Dengan mata yang jeli menangkap atmosfer raw dari street photography, Deby telah menarik banyak klien besar seperti The Body Shop dan Makarizo serta menjuarai berbagai kompetisi fotografi dari Sony, Capcom, Garuda Indonesia, dan Korea Air. Let’s get to know her better, shall we?

Deby7

Hai Deby, boleh perkenalkan sedikit tentang dirimu?

Hi! My name is Deby Sucha, born in Jakarta, Indonesia. Some called me their personal photographer. Currently based in Tokyo, Japan and working for Airbnb.com

Apa yang pertama kali membuatmu tertarik pada fotografi dan kapan pertama kalinya kamu mulai bereksperimen dengan kamera?

Simply because I loved travelling, dan kayaknya seru banget kalau apa yang aku lihat selama perjalanan bisa terus dilihat kapan aja. I am a living-in-the-present kind of person, but when I look back to the past, I’d like to immerse myself into the snap shots photographs I took. Awalnya aku suka street snap fotografi dengan kamera pocket waktu aku umur 18 tahun, kemudian aku dapat kesempatan untuk jadi asisten fotografer fashion di Jakarta yang bikin aku mau belajar lebih dalam lagi tentang fotografi.

Deby9Deby3Deby4

Deby5

Apa kamera pertama yang kamu punya?

Analog Nikon FM2.

Siapa fotografer yang paling menginspirasimu?

My all time favs Peter Lindbergh, Gavin Watsons, Philip Lorca Dicorcia.

Kalau kamera yang paling sering digunakan saat ini?

Digital: Canon EOS 6D, Film: Pentax 67 Medium Format.

How about your dream camera?

Kamera sekarang canggih-canggih banget deh udah pasti bikin be’em semua ya… Haha! Apalagi yang mirrorless dengan fitur full frame plus dukungan ISO tinggi. Tapi yang bikin penasaran itu dikit banget, and actually I have owned my dream camera, which is my medium format Pentax 67.

Deby8

What’s your educational background? Apakah kamu otodidak atau memang mempelajari fotografi secara khusus?
Graduated of Visual Communication Design , Bachelor of Art. Untuk fotografi sih belajar sendiri , dan curi-curi ilmu dari kerja sebagai asisten di lapangan. Selain itu juga hobi liatin photobook-photobook buat cari inspirasi.

Apa obyek favoritmu untuk difoto?
Street and people.

Deby2Deby1

How would you describe your own aesthetic?
Raw.

What do you think about being female photographer di dunia yang masih didominasi fotografer laki-laki ini? Do you think gender is important in this field?
Menurut aku sekarang ini udah banyak fotografer-fotografer wanita yang super talented in their field. See that gender doesn’t matter. If the camera itself would choose their own photographer , I bet most of it would say “hand me to the ladies please!” Haha.

Di zaman, semua orang bisa memotret dengan smartphone masing-masing dan aplikasi editing, do you think  conventional” photography masih relevan saat ini?
I appreciate all the photography related technologies we have right now, as I often use that as well and it’s super easy and cool! But if you want to create something big, something powerful, you won’t go with that shortcut things, right? We put at least some effort to it, and someday we get paid for the effort we have made. Kalau untuk sharing di social media , why not?

Deby10

Dari mana biasanya mencari inspirasi?
Go outside , and walk, look around. There you go.

Sejauh ini project apa yang paling berkesan untukmu?
The project I’m running with my friends right now.

What’s your next project?
An independent webmagazine for art, culture, street and fashion.

Advice/tips to anyone who wants to become a photographer?
First thing is to go outside, go to the public library and see other people’s artworks, go to exhibitions, and bring your camera all the time, never stop shooting.  And last but the most important thing. Show off your works to your friends, listen to their opinion.

Deby6

All photos by Deby Sucha

Instagram: @debysucha

www.debysucha.com

Art Talk: The Psychic Trip of Kendra Ahimsa

kendra

Jika kamu termasuk orang yang dengan jeli memperhatikan poster di gigs Jakarta, khususnya yang digelar oleh Studiorama, besar kemungkinan kamu telah terbiasa melihat karya Kendra Ahimsa, seorang ilustrator/desainer grafis yang sentuhan ajaibnya bisa kamu nikmati dalam bentuk poster art maupun visual art bagi band-band seperti Polka Wars dan Marsh Kids untuk menyebut segelintir proyeknya. Sejak kecil, pria kelahiran Jakarta, 5 Agustus 1989ini mengaku memiliki imajinasi aktif serta ide-ide random yang menjadi trigger baginya untuk menggambar, namun baru ketika pertengahan SMA ia mulai serius menekuni dunia art, salah satunya dengan aktif di MySpace dan DeviantArt dengan nickname Ardneks yang menjadi turning point tersendiri baginya. Dengan influens penuh detail dari karya-karya Hieronymus Bosch, Mati Klarwein, dan Henry Darger, psychedelic dan retrofuturisme mungkin menjadi hal yang pertama terlintas saat kamu melihat karya visual Kendra, namun tak bisa dipungkiri jika musik turut menjadi bagian integral dalam proses kreasi gitaris Crayola Eyes tersebut.

Studiorama

Hi Kendra, apa kabar? Boleh perkenalkan diri sedikit?

 Halo, saya Kendra Ahimsa, kabar baik. Saya hanya salah satu ilustrator/desainer grafis yang mencoba peruntungan di dunia nyata. Kegiatan sehari-hari sekarang banyak menggambar, menonton film, dan memasak.

Apa yang pertama kali membuatmu tertarik pada art? Dan siapa saja yang menginfluens?

Kalau ada yang bisa saya ingat sejak kecil itu saya selalu curious dan selalu mikirin hal-hal random. Random misalnya kaya gimana menurut saya besar ukuran setiap binatang itu sudah sebagai mestinya diciptakan, kebayang nggak sih kalau gajah itu seukuran semut dan mereka baris di meja makan ngerubungin kue, atau nyamuk sebesar kucing terbang berkeliaran, bukan hanya aneh, itu bakal mengerikan. Nah itu gimana saya mulai menggambar, semacam outlet buat memvisualisasikan pikiran-pikiran random saya. Tapi baru mid-SMA saya mulai terekspos dengan kultur art, itu sekitar tahun 2006-2007-an, di mana saya mulai suka fotografi, pergi ke pameran seni, museum, digging buku-buku visual arts, ekstensif nonton film, jatuh cinta sama cover art dari album-album vinyl, perangko vintage, poster art, graphic design, tahun-tahun di mana saya mulai aktif di Myspace dan Deviantart. Di sana saya ketemu orang-orang ajaib yang nggak hanya jadi teman dunia nyata sampai sekarang, tapi juga berperan sangat penting untuk kancah saya sebagai individu kreatif. Kita berdiskusi, bertukar influens, bikin proyek bareng. Di tahun-tahun itu juga turning point saya, di tengah itu semua saya menemukan kenyamanan tersendiri. Alhasil, saya ikutin passion saya dan ambil jalur kreatif.

Wah kalau soal influens banyak sekali, belakangan ini saya sangat terinfluens dengan south beach art deco, memphis design style, retrofuturism dan cover-cover LP rilisan Jepang. Saya sangat suka komposisi yang mendetail dan bercerita seperti karya-karya Hieronymus Bosch, Mati Klarwein, dan Henry Darger.

Ada cerita khusus di balik nickname ardneks?

Waktu itu saya lagi membuat akun Deviantart, namanya juga anak bocah mau gampangnya, ya nama saya aja dibalik. Kebetulan nickname ardnek sudah ada yang pakai jadi saya tambahkan “s” aja di belakang, eh stuck sampai sekarang.

Kamla

Masih ingat artwork pertama yang kamu buat?

Lupa, soalnya banyak artwork iseng-iseng. Kalau artwork serius mungkin proyek Kamala, itu proyek ilustrasi saya dari tahun 2010-2012. Saya ingat awalnya cuma iseng pingin gambar gara-gara habis baca buku Be Here Now-nya Ram Dass, tapi belum tahu mau gambar apa. Saya turun ke ruang keluarga ternyata lagi pada nonton American Idol di TV. Saya nggak terlalu peduli sih sama American Idol, tapi saat itu kebetulan yang sedang tampil seorang kontestan perempuan dengan paras unik sedang main gitar akustik vintage sambil menyanyikan “Lullaby of Birdland” versi Ella Fitzgerald yang merupakan salah satu lagu favorit saya. Terinspirasi deh, akhirnya saya buat ilustrasi yang berjudul “Feathers”. Saya kirim ke dia lewat Facebook dan akhirnya ngobrol panjang, ternyata dia punya band indie bernama Varlet dan ilustrasi saya akhirnya jadi cover EP mereka yang bertitel I Win!.

Banyak yang bilang karyamu sangat psikedelik dan trippy, tapi bagaimana kamu mendeskripsikan estetikamu sendiri?

Mungkin referensial, semacam self-portrait yang agak kompleks. Psychedelic is all about experiencing things atau istilahnya trip, dan itu bukan berarti harus dikoneksikan ke drugs, trigger-nya bisa muncul dari mana saja, musik, film, apapun. Saya senang ilustrasi yang bercerita, jadi ilustrasi-ilustrasi saya itu antara hal-hal random yang saya pikirkan atau hal-hal yang pernah saya alami. Saya pernah lagi menyeduh secangkir kopi hitam, saat saya aduk muncul buih-buih di tengah hitamnya kopi, dan hal itu secara random mengingatkan saya akan galaksi milky way, yang akhirnya saya malah jadi memikirkan arti kehidupan. Sangat nonsensikal. Tapi beberapa tahun kemudian saya menonton film berjudul 2 ou 3 choses que je sais d’elle karya Jean-Luc Godard dan di film itu ada scene yang hampir persis sama dengan yang pernah saya alami, di mana sang laki-laki mempertanyakan arti kehidupan dalam secangkir kopi. Cerita ini menjadi inspirasi ilustrasi saya yang berjudul “Moonage Oddity”, di mana ada seorang gadis fanatik David Bowie yang menemukan arti kehidupan di semangkuk sereal.

Skala besarnya sih seperti ingin menciptakan semacam dunia saya sendiri. Dunia yang tidak terbatas perbedaan-perbedaan, malah membaurkan. Seorang bandit thuggee dari India dan seekor godzilla mendengarkan The Beach Boys di pinggir pantai sambil minum sangria, kenapa tidak? Itulah kelebihan dari ilustrasi, imajinasi yang tak terbatas.

Kalau soal estetika, itu rangkuman dari referensi-referensi visual yang saya sukai.

Kalau kamu sendiri sebetulnya memang belajar art secara akademis atau otodidak?

Partially. Kuliah ambil desain grafis saya belajar banyak tentang penggunaan software, color theory, typografi, percetakan. Di sana saya belajar disiplin yang dibutuhkan dalam melakukan seni secara profesional. Tapi kalau gambar saya belajar sendiri, dari sebelum kuliah sih juga udah suka gambar. Apalagi jaman sekarang, mau belajar apa saja tinggal cari di internet. Tutorial bikin apapun ada pasti kalau dicari, mau belajar sejarah seni juga perpustakaan internet jauh lebih lengkap. Jadi kalau dulu ‘edukasi itu sangat penting, tapi kok mahal?’, sekarang ya itu sudah bukan alasan lagi, cukup rutin ke warnet atau berlangganan internet lalu research sendiri saja.

Polka Wars

Sebagai seorang visual artist yang juga musisi, bagaimana kamu melihat korelasi antara musik dan seni?

Keduanya  berinteraktif, bisa berupa stimulan seperti kasus saya, atau kalau yang lebih konkret misalnya identitas visual dari sebuah band (cover album, video klip, etc). Sebuah band sebaiknya memiliki identitas visual yang khas, nah di situlah peran seorang seniman visual untuk menyampaikan maksud dari musik band tersebut ke pendengar, semacam mengantar setting suasana lah.  Sama juga kalau kebalikan kaya misalnya scoring film. Tapi di balik keinteraktifan itu, keduanya harus bisa dinikmati masing-masing secara tunggal. Saya pernah memberikan contoh kasus “Dark Side of Oz”, di mana kita memainkan film Wizard of Oz yang di-mute dan album Dark Side of the Moon dari Pink Floyd secara bersamaan. Itu hal yang sangat fenomenal, padahal kedua dari karya tersebut sudah sempurna dinikmati masing-masing.

Medium favorit untuk berkarya sejauh ini? Ada nggak medium lain yang sedang ingin dieksplor?

Pensil dan kertas. Sudah lama sih ingin serius ngelukis, tapi mungkin belom terpanggil.

Sejauh ini project apa yang paling memorable?

Semua proyek bagi saya memorable, karena setiap proyek men-trigger memori masing-masing yang spesifik.

Apa yang menjadi obsesimu saat ini?

Memphis design style, foto-foto dari katalog tahun 1970-an, dan penghapus merek Pentel yang berwarna pink dengan dua burung flamingo pink di packaging-nya, saya suka sekali desain produknya.

Apa proyek selanjutnya?

Fokus menyelesaikan proyek-proyek personal yang tertunda. Saya gampang sekali terdistraksi, jadi banyak gambar-gambar yang setengah jadi.

Peregrine

Kendra’s Top 5 Favorite Cover Art:

Bitches_brew

Bitches Brew – Miles Davis

Dua kata: Mati Klarwein. Salah satu cover yang membuat saya jatuh cinta dengan cover album.

Rolling_Stones_-_Their_Satanic_Majesties_Request_-_1967_Decca_Album_cover

Their Satanic Majesties Request – The Rolling Stones

Jawaban dari album The Beatles, Sgt. Pepper’s Lonely Hearts Club. Band yang menurut saya lebih bagus. Foto lentikular tiga dimensi yang kalau dilihat dari angle tertentu menghadap satu sama lain kecuali Mick Jagger yang di posisi tengah, lalu dikelilingi frame biru-putih.

Pink_Floyd-Animals-Frontal

Animals – Pink Floyd

Landscape gedung power station di mana ada detail seekor babi yang sedang terbang, dan istimewanya didesain oleh Roger Waters sendiri. Sarat akan kritik sosial, tapi sangat subtle.

The-Jacks-Vacant-World-478572

Vacant World – Jacks

Album dari band Jepang yang dirilis tahun 1968. Saya suka foto band yang berkonsep, dan di cover album ini komposisinya pas sekali.

hollow me

Hollow Me/Beautiful – Yura Yura Teikoku

Shintaro Sakamoto selalu mendesain sendiri visual untuk semua proyek musiknya, dan pada album ini dia sukses dengan desain simpel namun sangat mengena. Dari konsep, warna, komposisi. Padahal cuma ilustrasi pipa-pipa biru di atas warna pink, jenius.

studiorama-4tee1_800

www.cargocollective.com/ardneks

 instagram.com/ardneks

   soundcloud.com/ardneks

Center Nova, An Interview with JKT48’s Jessica Veranda

Ve1

Dalam dunia 48 group, istilah center merujuk pada member yang berada di blocking utama (di tengah barisan paling depan) yang mengemban tugas sebagai center of attention dalam penampilan mereka. Di dalam grup dengan puluhan member, posisi center jelas menjadi the highly coveted position, dan tak sembarang member bisa dipercaya sebagai center. You need charisma, uniqueness, nerve, talent, plus support dari para fans, dan Jessica Veranda memiliki semua faktor itu.

Tergabung dalam generasi pertama JKT48, pada awalnya gadis yang akrab disapa Ve ini adalah sesosok wallflower yang hampir tidak terlihat dibanding member lain yang berada di posisi depan. Namun, sikapnya yang kalem dan cenderung dewasa justru berhasil menarik perhatian banyak fans dan disertai oleh kepercayaan diri yang terus ditempa, ia pun secara perlahan sukses menjadi salah satu member terdepan yang sering kali tampil mewakili JKT48 dalam penampilan mereka di media. Puncaknya adalah ketika mantan aktris dan model cilik ini terpilih menjadi center di single terbaru JKT48 “Refrain Penuh Harapan” yang disadur dari single “Kibouteki Refrain” milik AKB48 dengan perolehan suara 22.404 votes dari para fans dalam ajang sousenkyo tahun ini, mengalahkan semua member lainnya, termasuk Melody yang selama ini hampir selalu menjadi center di JKT48.

“Awalnya sama sekali nggak nyangka, tapi Puji Tuhan bisa terpilih jadi nomor satu. Sebelumnya juga ada semacam rapat strategi dengan fans kan, fans aku bilang ‘Udah Ve duduk diam saja, paling bantuin kita berdoa aja, nanti kita yang kerja’ Aku kaya yang ‘Wah?’ Senang aja sih, walaupun sempat bingung karena rasanya aku jalanin kegiatan di JKT sama aja kaya member yang lain, tapi apa yang membuat aku spesial di mata mereka ya? Tapi bersyukur aja sih,” ujar Ve yang seolah masih belum percaya dengan posisinya saat ini. Mengemban tanggung jawab sebagai center dengan jadwal JKT48 yang kian padat ditambah aktivitasnya sebagai mahasiswi Desain Komunikasi Visual dengan tugas yang melimpah tentu bukan hal yang mudah, namun gadis yang juga dikenal sebagai fashion leader di JKT48 ini mengaku sangat optimis untuk terus membawa nama grupnya ke kalangan yang lebih luas.

Ve2

Hai Ve, selamat ya terpilih jadi center, senang nggak dapat single “Kibouteki Refrain” untuk dibawakan sebagai single sousenkyo tahun ini?

“Senang sih karena itu termasuk lagu AKB48 yang lagi nge-hits juga di Jepang, jadi bisa bawainnya di sini senang juga sih. Lagu ini sebetulnya bercerita dari sudut pandang cowok yang nggak bisa move on sih intinya, haha.”

Sebetulnya bagaimana sih rivalitas di dalam JKT48?

“Bingung juga ya, kalau rival antar tim kaya misal kemarin di konser “JKT48 Ada Banyak Rasa, Pilih Suka Rasa Apa” kan kayanya orang memandangnya antar tim lagi bersaing banget nih memperjuangkan tiket masing-masing show-nya supaya sold out, tapi sebetulnya bukan rival yang secara negatif kok, karena kita lebih fokus ke targetnya karena tim yang duluan sold out bisa dapat album sendiri untuk timnya, jadi kita berjuang untuk tim masing-masing kali ini. Kalau rival antar member mungkin baru terlihat ketika pemilhan-pemilihan seperti sousenkyo, kalender, atau revival show. Tapi intinya rivalitasnya bukan yang negatif, karena kita di sini sama-sama berjuang dan didukung fans juga.”

Tapi di konser kemarin belum ada tim yang berhasil sold out ya?

“Iya, sedih juga sih apalagi setelah tahu kalau Team J sedikit lagi sold out, kurang dari 100 tiket, tapi ya sudah mungkin kita memang harus usaha dan semangat lagi. Sudah dibilangin juga karena kali ini nggak ada yang sold out, nantinya bakal dibikin konser seperti ini lagi, jadi kalau bisa harus tambah fans lagi. JKT48 sekarang bisa dibilang sudah terkenal tapi fans-nya masih ‘fans dalam kandang’ nih, di luar paling masih taunya kalau JKT48 itu yang ramai-ramai, taunya yang lagu ‘Heavy Rotation’ doang, jadi kita harus terus kenalin JKT48 ke masyarakat yang lebih luas lagi.”

Kalau fans di luar Indonesia?

“Sekarang fans yang dari Jepang yang justru ke sini untuk nonton teater atau handshake. Banyak orang Jepang yang awalnya datang sendirian dan pas pulang ke Jepang mereka ajak teman-temannya untuk datang lagi ke Indonesia. Kebanggaan tersendiri juga kalau JKT48 dipercaya sama brand yang ada di Indonesia dan jadi jembatan persahabatan antara Jepang sama Indonesia. Dengan adanya JKT48, orang Jepang jadi melirik dan ingin tahu soal Indonesia juga. Waktu itu aku juga pernah ke Jepang khusus untuk memperkenalkan budaya Indonesia dan ngajarin Bahasa Indonesia ke orang Jepang, mereka jadi penasaran dan akhirnya datang ke Indonesia.”

Bagaimana caramu membagi waktu antara profesi dan akademis?

“Tanpa adanya teman-teman di kampus aku bakal susah survive di kuliah karena terkadang kan harus izin buat kegiatan JKT, nah mereka yang suka ingetin ada tugas atau apa. Kalau dari keluarga sih masih support banget, tapi mungkin karena aku anak cewek satu-satunya, mereka sering kaya kehilangan gitu, karena kalau lagi sibuk banget kan benar-benar nggak ada libur, jadi suka kangen juga. Kalau bagi waktu, dibilang susah pasti susah, apalagi untuk member yang masih sekolah atau kuliah, pas ujian atau banyak tugas terkadang sampai nggak tidur, tapi kan kalau mau sukses sesuatu memang harus ada yang dikorbanin. Kalau di JKT yang dikorbanin adalah waktu, waktu untuk keluarga dan waktu istirahat.”

Kalau personal style kamu di luar JKT48 seperti apa?

“Kalau fashion aku jujur lebih suka vintage sih. Cuma semenjak di JKT jadi jarang pakai fashion yang ‘niat’. Aku maunya kalau di JKT kan pas perform bajunya udah spesial, jadi kalau nggak perform aku mau pakai baju yang simpel aja supaya orang ngeliatnya beda ya Ve yang sehari-hari dengan Ve kalau di JKT. Kalau di kampus aku suka pakai yang boyish, yang agak gombrong sampai sempat disindir teman juga sih kaya ‘Lo kan artis, masa iya dandanannya kaya gini?’ Haha, tapi cuek aja sih.”

Bagi kamu, idol itu apa sih?

“Kalau menurut aku idol itu sosok penyemangat, bisa untuk inspirasi, motivator, karena segala sesuatu yang kita lakukan dilihat banyak orang, Dari situ gimana nih sebagai idol kita bisa kasih dampak positif untuk yang melihat kita. Minimal sih fans kalau melihat kita perform bisa ikut semangat atau dengan sekadar kita kasih kabar di Twitter jadi bikin mereka semangat.”

Lagu AKB48 apa yang ingin kamu bawakan?

“Kalau aku ‘Sakura no Ki ni Narou’, karena aku lebih suka lagu yang mellow dan menceritakan tentang kehidupan. Kan JKT rata-rata lagunya tentang cinta terus, yang tentang kehidupan mungkin baru ‘Yuuhi wo Miteiruka’, ‘River’, sama ‘Kaze wa Fuiteiru’, sisanya tentang cinta.

Apa yang biasanya dilakukan Ve kalau ada waktu luang di luar JKT?

“Tidur! Haha, semua member sering kaya ‘Kak, kita kapan libur nih?’ tapi pas dikasih libur kita kaya bingung sendiri mau ngapain, haha. Tapi kalau libur beberapa hari kalau aku yang pertama pasti dipakai tidur sepuasnya terus yang kedua baru rapihin kamar karena kamar biasanya udah nggak keurus, habis itu paling spending time sama keluarga.”

Target selanjutnya di JKT48?

“Kalau aku sih karena kapten setiap tim udah baru, mudah-mudahan dengan kapten yang baru ini bisa majuin JKT48 lagi seperti yang sudah kita bahas sebelumnya, pengennya JKT bisa lebih luas lagi kaya sister group kita, kaya kalau AKB48 kan setiap ada sousenkyo ada apa kaya seluruh Jepang ikut heboh, pengennya kita juga bisa kaya gitu.”

Ve3

As published in Nylon Indonesia August 2015

Fotografer: Willie William

Stylist: Patricia Rivai

Atasan dan bawahan oleh Pinx

The Smiling Eyes, An Interview with Viny & Shania of JKT48

Memasuki tahun keempat perjalanan kariernya, idol group sekaligus fenomena pop culture JKT48 bersiap menuju stage selanjutnya. It’s time to visit them once again.

Pada bulan Juli lalu, saya berkesempatan untuk mewawancarai enam member JKT48 dengan peringkat teratas di ajang sousenkyo JKT48 tahun ini tentang bagaimana mereka bersiap membawa JKT48 menuju fase berikutnya dalam perjalanan karier mereka. Berikut adalah hasil interview bersama duo smiling eyes JKT48, Shania Junianatha (Kanan) dan Ratu Vienny Fitrilya (Kiri), yang sudah melalui proses editing.

img_5227

Shania Junianatha

Team J

Melihat posturnya yang tinggi dengan sikap yang mature, mayoritas orang mungkin akan terkejut saat mengetahui jika gadis kelahiran Solo yang akrab dipanggil Shanju ini sebetulnya baru saja berulangtahun yang ke-17 pada bulan Juni lalu. Sudah bergabung di JKT48 generasi pertama sejak masih berumur 13 tahun, mantan pemain sinetron dan model cilik tersebut selalu menjadi salah satu frontliners dan tidak pernah absen dari jajaran senbatsu sejak single pertama dan bahkan pernah terpilih menjadi center di single ke-7 “Penanda Isi Hati (Kokoro no Placard)” yang dirilis bersamaan dengan versi asli lagu milik AKB48 tersebut di Jepang.

Terkenal dengan performance skill yang di atas rata-rata, energi yang seakan tak pernah habis, dan smiling eyes yang selalu berhasil menjerat banyak fans, ia pun menduduki peringkat 6 dalam sousenkyo tahun ini. Kejutan lain yang menyusul adalah keputusan manajemen untuk menunjuknya sebagai kapten Team J setelah Kinal ditransfer ke Team KIII dalam konser reshuffle tim baru-baru ini. Sebuah tugas yang diterimanya dengan sepenuh hati berkata dukungan dari manajemen, fans, dan orang-orang terdekatnya. “Keluarga pasti dukung banget karena menurut aku member JKT itu penting banget didukung keluarganya karena kita udah jarang banget ketemu keluarga selama di JKT, tapi selama mereka melihat aku masih serius dan senang menjalankannya di sini, mereka sih support aja,” tandasnya dengan ceria.

Bagi kamu, arti sousenkyo itu apa?

Sousenkyo itu lebih seperti hadiah dari fans karena kita udah melakukan hal yang terbaik selama setahun terakhir, soalnya jadi senbatsu di JKT itu bisa lebih banyak chance ikut tampil di TV atau majalah, jadi member juga pasti senang kalau bisa terpilih. Masuk senbatsu kan ada sisi manajemen dan sisi fans. Kalau menurut aku di JKT nggak ada usaha yang sia-sia. Misalnya usaha kita nggak terlihat sama fans, mungkin manajemen yang lihat. Atau sebaliknya, usaha kita nggak dilihat manajemen, tapi mungkin ada fans yang ngebantu kita, jadi menurut aku, kalau kita ada usaha pasti kelihatan sih.

Bagaimana rasanya terpilih jadi kapten, apa sebetulnya tugas kapten di tim?

“Gimana ya rasanya? Kaget sih soalnya aku kan di JKT dari kecil banget dan aku sama sekali nggak kepikiran suatu saat bakal jadi kapten, eh nggak taunya dapat tugas dan kepercayaan, jadi ya harus dijalanin. Peran kapten itu menurutku bukan yang ngatur-ngatur biar semua member harus nurut semua omongan aku, karena aku sendiri masih muda otomatis aku jadi lebih kaya sharing ke member. Kalau ada masalah kaya gini, enaknya tim kita ngapain ya? Lebih ke nyatuin pikiran semua member di tim.”

Arti fans untuk kamu?

“Makin ke sini, JKT48 juga makin berat, banyak generasi baru dan potensi-potensi yang menarik, tapi aku makin ke sini, ada sousenkyo, vote ini vote itu aku jadi ‘Oh ternyata fans aku tuh benar-benar sayang ya sama aku?’ Kaya aku suka mikir, ‘Aku tuh sebenarnya udah kaya gimana sih sampai bikin mereka rela nge-vote?’ Emang arti fans itu penting banget, soalnya kaya kalau kita lagi nggak semangat atau capek latihan sampai subuh, badan rasanya nggak bisa gerak, tapi kita ingat lagi tujuan awal kita di sini untuk menghibur fans juga.”

Kalau ada yang suka komentar negatif di social media?

“Sudah terbiasa kali ya? Kalau misalnya komentar pedas tapi membangun ya kita dengarkan, tapi kadang kita suka nggak mood juga kalau malam-malam habis latihan baca ya nggak usah dibaca, nggak usah bikin dosa bikin kesal, pasti memang ada aja komen negatif, tapi kita ambil positifnya aja.”

Kegiatan yang suka dilakukan di luar JKT?

“Tidur! Haha! Atau apa ya? Nonton drama… Paling main sama teman-teman sih, itu pun kadang aku nyuruh mereka yang main ke rumah aku, sambil tidur atau ngapain, yang penting sih istirahat. Kalau ada kesempatan istirahat ya istirahat.”

Apa lagu AKB48 yang paling ingin kamu bawakan?

“’Mae Shika Mukanee’, soalnya kalau lagu-lagu kaya ‘10nen Zakura’ atau yang lain kayanya udah biasa untuk JKT, kalau lihat ‘Mae Shika Mukanee’ rasanya gila keren banget kalau dibawain, tapi ‘UZA’ juga boleh sih, haha.”

img_5236

Ratu Vienny Fitrilya

Team KIII

Biasa dipanggil dengan nama Viny, gadis berusia 19 tahun ini dikenal sebagai the artsy girl dalam JKT48 karena tak hanya menguasai beberapa tarian tradisional, mahasiswi jurusan desain komunikasi ini juga andal di bidang ilustrasi dan menulis. Walaupun awalnya mengaku sangat pemalu dan canggung dalam soal public speaking, namun sejak bergabung di generasi kedua JKT48 dan menarik perhatian fans berkat karisma dan keramahannya, Viny pun berkembang menjadi salah satu top member di Team KIII yang langganan tampil di senbatsu. Tahun ini, penggemar novelis Haruki Murakami tersebut mendapat posisi the lucky seven di sousenkyo single ke-10 mereka sekaligus menjadi member original Team KIII dengan posisi tertinggi di timnya. “Senang sih, memang Team KIII tahun ini yang masuk senbatsu cuma empat orang, lebih sedikit dari tahun lalu, tapi Alhamdulilah peringkatnya juga lebih naik dari tahun lalu, jadi aku juga senang lihat pencapaian teman-teman aku juga yang tahun lalu nggak masuk, tahun ini bisa masuk senbatsu. Team KIII selama setahun kemarin juga selalu berusaha sama-sama kasih semangat satu sama lain supaya naik lagi peringkatnya,” ungkap Viny.

Apa arti ajang sousenkyo menurutmu?

“Kita di sini ada yang udah empat tahun, ada yang mau tiga tahun, jadi lebih ke arah usaha kita selama ini udah sampai mana sih, udah cukup keliatan di mata fans apa belum. Lebih ke tolak ukur diri kita masing-masing juga. Semua member pasti dalam hatinya pengen jadi center, cuma kan udah ada keputusan sendiri dari manajemennya dan di ajang-ajang kaya sousenkyo dan revival itu saatnya kita dan fans berusaha untuk itu. Dari kitanya juga kalau misalnya nggak rajin latihan atau nggak rajin promosi di social media juga pasti nggak bisa, kita juga harus semangat untuk itu.

Kalau tentang fans?

“Arti fans buat aku itu kaya keluarga, orang yang dukung aku. Aku sih maunya mereka tahu walau aku kadang suka terlihat kurang perhatian atau apa, tapi aku melakukan ini semua buat mereka juga. Kaya semua kerja keras, keringat, dan air mata yang udah aku lakuin di sini ya untuk mereka, jadi aku pengennya mereka lihat usaha aku juga. Orang-orang mungkin ngiranya member nggak baca mention, padahal sebetulnya kita rajin banget baca, nggak ada member yang nggak suka baca Twitter. Ada fans yang suka bikin review penampilan kita itu juga pasii dibaca, karena kan dari sisi mata fans jadi bisa tahu bagaimana sih kita sebenarnya, jadi itu penting banget buat dilihat juga.”

Bagaimana sih arti menjadi idol untukmu?

Fans melihat kita kaya seseorang yang dipanuti, jadi kita nggak boleh anggap itu enteng juga. Kerjaan kita ini pekerjaan yang dilihat banyak orang, jadi kita nggak boleh asal bertindak atau bersikap karena di luar sana walau kita nggak tahu jumlahnya berapa, walau cuma 1-2 orang, pasti ada yang ngeliat kita,  walau kita tampil di pojok panggung sekalipun pasti ada yang melihat kita, jadi kita nggak boleh malas-malasan pas perform di manapun. Kita harus jaga attitude kita supaya orang yang lihat kita juga ikut senang.”

Susah tidak bagi waktu selama di JKT48?

“Aku kan kuliah dari pagi sampai sore terus kegiatan JKT biasanya mulainya dari sore sampai malam. Kuliah aku memang tugasnya banyak jadi memang lebih ribet sih karena sampai rumah juga harus begadang dulu bikin tugas, tapi untungnya teman dan dosen di kampus juga bisa koperatif. Kebetulan papa-mama aku juga kerja tapi selama ini mereka pun tahu aku nggak macam-macam. Kan seumuran aku juga banyak yang coba ini coba itu, tapi di sini kegiatan kita udah jelas, ada manajer juga yang bantu sharing informasi jadwal kita ke orangtua jadi mereka nggak khawatir. Kalau pun pulang malam, mereka juga udah tau kegiatan aku dan support banget.”

Ada bedanya nggak Viny yang di JKT48 dan yang sehari-hari?

“Sebetulnya kalau di JKT, kaya komentar teman aku yang aku suruh nonton bilangnya ‘Lho kok Vin, lo kalau di JKT bawel banget ya?’ Karena sebetulnya aku lebih suka diam sih, aku kalau misal baru kenal sama orang memang nggak banyak ngomong, terus lebih suka menyendiri aja, tapi bukan berarti aku pendiam kaya kak Veranda. Sebetulnya aku bawel, tapi kalau misal ada waktu-waktu yang lain lagi ramai, aku gak suka ikut yang ramai, lebih suka sendiri.”

Kalau di luar JKT, personal style kamu seperti apa?

“Kalau aku sih sukanya warna-warna monokrom kaya hitam, putih, abu-abu atau warna tanah kaya cokelat. Baju-baju aku sih rata-rata kalau kata anak-anak kaya nenek-nenek. Lebih ke gaya simpel dan manis sih.”

Viny juga punya blog sendiri di JKT48, itu bagaimana ceritanya?

“Senang sih karena dikasih kesempatan dan wadah untuk nyalurin hobi aku menulis, walaupun sampai sekarang belum terlalu maksimal kayanya, tapi ke depannya ingin lebih digali lagi, karena memang agak bentrok dengan waktu di sini, jadi nulisnya kapan? Cuma aku memang pengen fans bisa lihat aku di sisi yang lain. Aku orangnya memang suka corat-coret di diary atau notes, dan di otak aku selalu ada pikiran tentang ini tentang itu yang bikin aku kaya ’Gimana ya nuanginnya?’ Ya caranya dengan menulis.”

Lagu AKB yang ingin kamu bawakan?

“Sama kaya Shania, ‘Mae Shika Mukanee’. Kemarin pas konser AKB kan aku lihat dari samping tirai pas mereka nampilin lagu itu dan keren aja ngeliatnya, pengen banget bisa bawain lagu itu, apalagi itu lagunya Yuko Oshima kan.”

As published in NYLON Indonesia August 2015

Fotografer: Willie William

Stylist: Patricia Rivai

Viny: Atasan dan bawahan dari Pinx.

Shania: Kemeja dari Uniqlo, dress dari UGLY.

The F Word: A Dialogue About Feminism and Riot Grrrl

Apa yang kami bicarakan ketika kami berbicara tentang feminisme, riot grrrl, dan basically, bagaimana rasanya menjadi perempuan muda di tengah masyarakat patriarkal.

Ketika mendengar kata-kata seperti “feminis” dan “feminisme”, yang biasanya langsung terbayang bagi mayoritas orang mungkin sosok para wanita pemarah yang membakar bra mereka, anti makeup, dan meneriakkan kebencian mereka terhadap kaum pria serta tatanan sosial konservatif pada umumnya. Stereotipe tersebut baru sebagian kecil dari miskonsepsi yang membayangi gerakan sosial tersebut sejak awal muncul sampai saat ini dan membuat dua kata tersebut seakan menjadi momok bagi banyak orang yang salah kaprah.

Luckily, walaupun berita televisi lokal kita masih dipenuhi oleh politik absurd yang ditujukan bagi kaum wanita (virginity test, anyone?), di sisi yang lebih terang makin banyak orang-orang yang concern terhadap feminisme dan kesetaraan gender. Situs lokal seperti Magdalene dan Bracode misalnya, menawarkan perspektif segar yang tak terbelenggu nilai gender dan budaya tipikal. Sementara munculnya ikon-ikon feminis kontemporer seperti style blogger Tavi Gevinson yang rajin mengulas feminisme di situs miliknya Rookiemag, Lena Dunham lewat serial Girls, hingga Beyoncé yang menyelipkan orasi  “We should all be feminists” dari Chimamanda Ngozi Adichie dalam lagunya “Flawless” turut mengakrabkan isu tersebut ke audiens yang lebih luas. So many young girls are now educating themselves about the issue and proudly says, “I’m a feminist!”

Dalam edisi Beauty NYLON bulan April lalu, secara khusus saya ingin mengangkat soal feminisme lewat obrolan bersama Dyana Savina Hutadjulu dan Lissete Miller, dua wanita muda yang merupakan pelaku aktif dari gerakan feminisme. Nama Dyana Savina yang juga dikenal sebagai Clanirella/Vina sendiri bukan nama yang asing di indie scene Jakarta. Gadis berkacamata tersebut telah malang-melintang sebagai frontwoman dari berbagai band keren seperti Amazing in Bed, Fever To Tell, dan yang terbaru adalah all-girl band bernama WITCHES. Selain saat ini bekerja di sebuah program pembangunan yang bertujuan untuk mengurangi kemiskinan dengan cara memperkuat organisasi perempuan dan organisasi yang berkepentingan terhadap isu gender, Vina bersama temannya, Mira Sumanti, adalah dua orang di balik Bracode (http://bracodemag.com/).

Sementara Lissette yang juga dikenal sebagai DJ Afroluna adalah seorang feminis berdarah Afro-Nicaragüense yang tinggal di Washington, D.C. Di samping full time job sebagai cultural worker yang membuatnya sering berpergian ke berbagai negara, gadis berusia 25 tahun yang aktif dalam isu sosial untuk LGBT, women’s rights, immigrant rights, dan racial justice (terutama gerakan #BlackLivesMatters) tersebut juga berpartisipasi di Madre Tierra Collective, sebuah kolektif radical woman of color di Miami yang memilih medium seni dan workshop kreatif untuk menyerukan gender dan social equality. Kedatangannya ke Jakarta kali ini memang untuk urusan pekerjaan, namun di sela waktunya ia tak lupa menelusuri jejak feminisme lokal yang memperkenalkannya kepada Vina. Keduanya pun sepakat untuk duduk di sebuah coffee shop demi menjawab pertanyaan dan sharing soal feminisme di negara masing-masing yang terangkum dalam obrolan berikut.

riot3

About Feminism

So, Vina dan Lissete, boleh cerita awal mula kalian berkenalan dan tertarik pada feminisme?

Dyana Savina: Waktu kecil, ibu saya pernah bilang kalau saya waktu SD malu banget ketika harus memakai miniset. Saya memilih memakai kaus dalam untuk menutupi fakta bahwa payudara sudah mulai tumbuh. Saya ingat dulu di kelas, teman-teman perempuan saya sering diolok-olok karena sudah tumbuh payudara. Sebuah proses bullying yang cukup traumatis, meski saya dulu hanya sebagai bystander. Tetapi, karena peristiwa yang dialami teman saya begitu membekas, maka saya bersikeras melindungi tubuh saya dari ejekan cowok-cowok nakal di kelas saya. Alhasil, memakai kaus gombrong di dalam seragam. Waktu SD tentu belum mengenal paham feminisme. Lanjut SMP, olokan tersebut menjadi sapaan menggelikan yang dianggap pujian, oleh mereka yang menyapa – umumnya pria. Lagi-lagi tubuh perempuan dijadikan objek, dulu sebagai bahan cela sekarang berkembang menjadi ke pujian yang tercela. Sampai akhirnya ketika masuk kuliah jurusan Kriminologi UI, saya mulai berkenalan dan tertarik dengan feminisme. Belajar teori dan pendekatan feminisme membuat saya memahami bahwa olokan dan pujian tentang tubuh perempuan yang saya saksikan dulu merupakan sebuah perilaku yang dinormalisasi sebagai hal yang biasa, hal yang “macho”, atau hal yang bahkan dianggap wajar. Dulu, saya menganggap perilaku ini tidak mengenakkan, mulai dari bangku kuliah perilaku tersebut saya anggap penyerangan bahkan kekerasan.

Lissette Miller: Sebagai anak perempuan di keluarga imigran Nikaragua yang punya privilege untuk pulang ke Nikaragua setahun sekali, saya banyak belajar tentang struggle, tekanan, sekaligus kekuatan yang dimiliki kaum perempuan di sana. Wanita Nikaragua sangat deacachimba atau “badass”. Wanitalah yang berdagang di pasar, menjadi healers, dan mempertahankan adat-istiadat dari generasi sebelumnya. Saya belajar tentang kekuatan seorang wanita dari ibu dan nenek saya, dan feminisme menjadi senjata untuk memperkuat diri saya sekaligus menjadi kacamata bagi saya untuk melihat social justice.

Jadi apa definisi “Feminis” dan “Feminisme” bagi kalian sendiri?

DS: Feminisme buat saya adalah keadilan. Feminis adalah manusia yang percaya akan keadilan. Siapapun bisa menjadi seorang feminis: Perempuan, laki-laki, gay, lesbian, transgender, tua, muda, kakek, nenek, om, tante, dll.

LM: Feminisme yang saya usung adalah “intersectional feminism”, sebuah istilah yang digagas oleh Dr. Kimberlé Crenshaw, yang melihat bagaimana semua sistem sosial (ras, gender, kelas, ability, dan etnik) saling bersinggungan dan tidak semua feminis adalah adalah cis-gendered kulit putih dari kelas menengah dengan fisik sempurna. Sebagai seorang Afro-Latina queer femme dari keluarga imigran menengah ke bawah, saya tidak bisa hanya peduli tentang bagaimana gender saya sebagai seorang wanita memengaruhi hidup saya tanpa memedulikan privilege saya sebagai cis-gendered US citizen, light-skinned Black grrrl dengan fisik yang sehat. Hal itu tidak cuma salah, tapi juga bertentangan dengan nilai yang saya anut sebagai feminis. Sebagai seorang intersectional feminist, saya berusaha memakai privilege yang saya punya untuk mengejar kesetaraan sambil tetap memperjuangkan hak saya sebagai queer Afro-Latina.

Sejauh ini apa project feminisme paling berkesan yang pernah kalian lakukan?

DS: Blog saya, Bracode. Cerita di balik lahirnya Bracode dimulai dari ketertarikan saya dan Mira soal feminisme, budaya, dan seni. Kita pengen banget bikin sebuah ruang ekspresi, dalam hal ini berbentuk blog, di mana blog ini bisa menjadi platform untuk membahas isu-isu perempuan yang berkaitan dengan segala aspek kehidupan dari soal sepatu hingga seksualitas sampai ke hal musik dan menstruasi. Banyak sekali konteks dan tema kehidupan manusia yang sering dianggap tabu jika dikaitkan dengan perempuan, di Bracode kita berupaya membuka ruang tabu tersebut dengan diskusi dan pendapat kritis yang dikemas dengan menarik. Kami bermimpi besar untuk membawa Bracode menjadi sebuah gerakan kritis yang mempertanyakan perilaku patriarki yang mendiskriminasi perempuan, dengan format yang fun dan mudah dicerna untuk semua orang.

LM: Bersama Madre Tierra, kami membuat direct action trainings, di mana warga bisa belajar dari anggota Earth First! tentang bagaimana cara melakukan protes sipil tanpa kekerasan, menggelar poetry party dan musical performances demi menggalang dana untuk Coalition of Immokalee Workers, dan acara komunitas bersama organisasi Haitian and Afro-American di mana kami merayakan budaya kami melalui musik, tarian, dan seni.

Bagaimana kalian melihat situasi women’s rights di lingkungan kalian masing-masing?

DS: Di lingkungan saya sehari-hari, perempuan masih belum sepenuhnya diberikan ruang adil. Contoh kecil, masih banyak peraturan daerah diskriminatif di banyak daerah di Indonesia yang menyerang tubuh perempuan dan membatasi ruang gerak perempuan. Tantangan feminisme terbesar saat ini adalah ketika mendukung feminisme dianggap membangkang dari konformitas. Dan konformitas itu lebih mengedepankan budaya patriarki. Pelecehan seksual masih terjadi sehari-hari dan tidak seharusnya dianggap “normal”, hal itu bisa datang dari mana saja, bahkan dari orang-orang terdekat di lingkungan kamu. Yang paling berbahaya adalah ketika si pelaku tidak merasa salah, karena dianggap “biasa”. Biasanya, jika saya digoda orang asing di area publik, saya hanya akan memelototi mereka sambil menjauh.

My motto is safety first, with strangers you must be very careful. Tapi dengan orang di lingkungan saya, saya terbiasa untuk menyampaikan keberatan saya dan memberitahu orang itu jika apa yang ia lakukan atau celetukan sexist yang ia lontarkan membuat saya tidak nyaman. Start small, from your closest family to circle of friends. Then hopefully it will pay forward.

LM: Di Amerika, kami sedang berjuang untuk wanita dan siapapun yang terjebak di pusat detensi imigran dan penjara. Kesejahteraan bagi kaum wanita, queer, dan transgender non-kulit putih di pusat imigran dan penjara sangat mengkhawatirkan. Reproductive justice, sebuah gerakan yang dimulai oleh seorang wanita kulit hitam berjuang demi hak untuk memutuskan punya anak atau tidak dan hak untuk merawat anak di lingkungan yang aman dan sehat sangat diperlukan, terutama bagi wanita hamil yang dipenjara dan tak mendapat perawatan yang layak, bahkan ada laporan wanita yang melahirkan di penjara masih dalam keadaan diborgol. Begitu juga klinik aborsi yang gencar ditutup dan para pekerja rumah tangga yang mayoritas adalah wanita imigran juga sering diabaikan haknya. Setiap hari ada tiga wanita yang terbunuh dalam kejahatan yang melibatkan pasangan di Amerika. Misogini dan patriarki masih bertahan kuat bahkan di lingkungan “kekirian” dan progresif. Masih banyak kaum pemerkosa dan misoginis yang masih berlindung di kelompok yang mengklaim berjuang untuk kebebasan, kita yang harus bertanya, kebebasan siapa yang sedang mereka perjuangkan?

About Riot Grrrl

Bagaimana dengan gerakan Riot Grrrl? How do you found it?

DS: Saya pertama kali mengenal gerakan Riot Grrrl di masa kuliah, ketika saya mencari referensi band-band yang digawangi wanita. Saya menemukan band-band seperti Bikini Kill, Bratmobile, Le Tigre, dan saya langsung jatuh cinta dengan Riot Grrrl. I adore their character and sense of empowerment, on stage and at society. Selain Simone De Beauvoir, Kathleen Hanna dan gerakan Riot Grrrl 90-an lah yang memberi sumbangsih penguatan paham feminis saya. Selain memberikan puisi yang kuat soal marjinalisasi dan pengalaman diskriminasi lewat lirik-liriknya, musik yang diciptakan memiliki pesan advokasi yang influential.

LM: Saya tidak ingat kapan pertama kali saya mendengarkan Bikini Kill, mungkin saat SMA, tapi energi, fierceness, dan pesan anti-patriarki yang mereka usung menarik hati saya sejak itu. Saya sudah mendengarkan musik punk dari kecil, tapi setiap saya mendengar vokal wanita berteriak di balik mic, saya sangat excited. I also love the zine and DIY culture of Riot Grrrl, terutama gagasan jika kita tidak harus menjadi bagian dari budaya kapitalis dan mainstream untuk melakukan hal-hal yang kita suka. Kita bisa mempromosikan karya dan prinsip kita sendiri untuk membagi pengetahuan. We can tell our own stories because we tell them best. Saya melihat Riot Grrrl sebagai sisi musikal dan artistik dari feminisme, sebuah gerakan di mana kita bisa menyuarakan rasa frustrasi terhadap patriarki, kapitalisme, heteronormativity dan apapun yang merampas self-determination orang-orang.

N: Tell me some of your favorite women in music.

DS: Saya mengagumi Kathleen Hanna dari Bikini Kill karena ia konsisten mengawinkan seni, budaya, dan feminisme lewat musiknya. Beth Ditto dari The Gossip for staying true to herself, and for being a great poet in her music. Kim Gordon dari Sonic Youth for being the ultimate Alpha-Female. Dan Kartika Jahja dari Tika and The Dissidents, karena ia menjadi salah satu dari sedikit wanita di skena musik Indonesia yang mengadvokasi hak-hak wanita lewat musik. It can be tough for a girl who conforms to its patriarchal cult, but it can be interesting and fun for a girl who stay true to herself.

LM: Kebanyakan musisi yang saya dengarkan adalah wanita. Ana Tijoux, Erykah Badu, M.I.A., Björk, Santigold, Valerie June, low leaf, Ibeyi, dan masih banyak lagi. Saya mencintai musisi wanita karena saya bisa relate terhadap kisah mereka and because their music speaks to my life. Saya bisa membayangkan sulitnya berjuang di dunia musik bagi wanita, namun perjuangan itu juga yang mungkin membuat musik mereka jauh lebih powerful lagi. Saya selalu marah jika mengingat dibutuhkan pengakuan dari kaum pria dan kapitalis untuk menjadi musisi yang sukses dan hidup dari karya mereka sendiri. I am so grateful to the women and grrrls who do their thing and whose music keeps me going.

About Beauty

Bagaimana persepsi kalian tentang beauty standards saat ini?

DS: Beauty standards are constructed by fundamentalists, product developers and mass media.

LM: Saya rasa setiap wanita harus punya pendirian yang kuat dan personal value untuk menghargai diri mereka sendiri. Itu adalah perlindungan kita dari berbagai iklan yang mendoktrin bagaimana seharusnya wanita terlihat dan bagaimana kita harus bersikap, dan apa yang harus kita beli untuk meraihnya.

Siapa beauty icon kalian dan kenapa?

DS: Ultimate beauty icon saya Alexa Chung karena dia effortlessly cool, dan all time fave adalah Audrey Hepburn karena dia super classy.

LM: Frida Kahlo. Terutama bagaimana kecintaannya pada beauty, warna, hidup, dan alegria atau kebahagiaan berasal dari rasa sedih dan penderitaan yang ia alami. Tapi itu juga yang membuatnya menjadi wanita yang kuat. Dia bertahan dari norma gender yang eurocentric tentang bagaimana seorang wanita harus berdandan dan bersikap dengan cara menonjolkan kecantikan alaminya, her facial hair, and her ferocity.

 Apakah kalian punya beauty routine khusus?

DS: Good facial wash, clean teeth, eyeliner and red lippy.

LM: Tidak ada yang membuatmu lebih bersinar dibanding asupan air yang cukup, deep breaths, tertawa, dan berada di lingkungan orang-orang yang bersikap positif padamu. A holistic healthy lifestyle will do wonders to your face.

Terakhir, ada pesan untuk siapa saja yang membaca artikel ini?

DS: Stand true to yourself and always wear a good BRA at all times – BRain and Attitude!

LM: You are so beautiful. I wish I had half the strength and energy that you do. You inspire me daily to keep moving forward, and to work with you to build a better Earth. Thank you.

riot2

Foto oleh: Willie William.

Love Actually, An Interview With Velove Vexia

Nylon April

Dengan attitude santai dan easy going, Velove Vexia melangkah tenang dengan temponya sendiri baik dalam karier maupun sisi kehidupan lainnya. Yang jelas, she’s not here for taking your order, she’s here to be herself.

Audrey Hepburn pernah berkata: “The beauty of a woman must be seen from in her eyes, because that is the doorway to her heart, the place where love resides.” Sayangnya, di suatu pagi awal Maret lalu, Velove Vexia masuk ke studio pemotretan dengan ditemani seorang asisten dan mata yang ditutupi sunglasses tebal. Tanpa buang waktu, ia pun langsung duduk di depan meja rias. “Uhm… Jelek,” tukasnya singkat saat ditanya kabarnya hari itu seraya melepas kacamata hitamnya dan membiarkan rambutnya tergerai bebas. Sebuah jawaban yang intimidatif dan kita jelas tahu bagaimana menyebalkannya harus bekerja di pagi hari dengan mood yang kacau. Namun, secepat kata itu terlontar dari mulutnya, senyuman jahil pun menyemburat di wajahnya. “Enggak, it’s just becanda!” serunya dengan mata berbentuk almond yang menyipit jenaka dan memancarkan keramahan sang pemiliknya. As simple as that, kami bisa merasa ini akan menjadi pemotretan yang menyenangkan.

            Nama Velove Vexia jelas bukan nama asing bagi mereka yang memiliki televisi. Mengawali karier akting di layar perak, gadis berdarah Manado-Jawa tersebut dengan cepat dikenal banyak orang berkat paras cantiknya yang terkesan innocent dan aktingnya yang terlihat natural, serta tentu saja namanya yang ear-catching. Saya selalu penasaran arti di balik namanya yang keren dan bertekad jika bisa ngobrol dengannya, pertanyaan pertama saya adalah mengenai namanya. “Aku juga nggak tau sih, there’s must be some meaning tapi aku juga nggak pernah nanya. Cuma kalau nama aku its actually ada ‘a’-nya, jadi bukan ‘Velove’ tapi ‘Vaelove’. Jadi sebetulnya namanya ‘Vaelovexia’ nyambung. Cuma karena orang susah manggilnya, jadi ‘Velove Vexia’. Kalau ‘Vaelove’ sendiri itu dari nama belakang mamaku yang digabungin sama ‘love’ jadi artinya kaya ‘love from the mother’,” jelasnya dengan senyum simpul.

            Menyoal sang mama, aktris kelahiran Jakarta, 13 Maret 1990 tersebut mengungkapkan jika ibunya mungkin orang pertama yang mendorongnya untuk berada di spotlight, bahkan sejak ia masih kecil dan sama sekali tidak berminat untuk hal itu. “Dari kecil my mom obsesinya pengen aku jadi model, artis, atau something like that, cuma aku dulunya tomboy sekali. Aku aja waktu SD itu kalau pakai rok rasanya malu. Karena aku punya kakak dan adik cowok jadi aku juga main sama teman-teman mereka dan kalau pakai rok malah malu takut diejekin. Jadi mama dulu kaya yang nyuruh aku ke sanggar, ikutan dance, ikutan pemilihan Abang None cilik dan aku menang, tapi aku nangis dan cemberut karena sebetulnya itu tuh obsesinya mama. Karena aku juga ogah-ogahan, akhirnya dia stop ngedorong aku. Eh tiba-tiba sekarang malah jadi artis sendiri tanpa dibantuin mama, jadi kayanya emang udah jalannya sih,” kenang putri dari pengacara terkenal O.C. Kaligis tersebut.

Velove1

Dress: Jaquemus @ Escalier, Shoes: Camper.

Ia menyebut karier entertainment-nya sebagai sebuah ketidaksengajaan yang berawal dari sebuah liburan di Bali dan bertemu manajer yang kemudian membukakan jalannya ke showbiz lewat peran utama di sinetron bertajuk Olivia tahun 2007 silam. Dalam sinetron tersebut ia berperan sebagai sang title character, seorang gadis enerjik yang menyamar sebagai cowok demi bergabung dengan klub sepak bola. “Awalnya aku nggak mau main sinetron karena aku juga bukan penonton sinetron, terus akhirnya ketemu satu produser yang tadinya ngomongin film eh tapi ujung-ujungnya ngomongin sinetron. Aku kaya yang ‘Ambil nggak ya?’ Terus temanku ada yang bilang ‘Udah ambil aja, coba’, so I take it for experience,” jelasnya.

Tanpa background akting sama sekali sebelumnya, Velove mengaku sempat clueless saat pertama kali syuting. “Kan kalau syuting they change the angles and everything. I was like, ‘Lho tadi kan udah adegannya? Kenapa diulang-ulang?’ Aku kaya beneran clueless gitu dan aku ingat ada adegan yang ceritanya aku akting kaget, itu menghabiskan 12 kali take karena aku nggak mau kaget yang lebay. Aku sampai argumen dengan sutradaranya karena walau main sinetron, tapi aku nggak mau akting yang lebay gitu. Akhirnya sutradara mengiyakan dan untungnya nggak apa-apa aku akting dengan gaya natural,” paparnya sambil membiarkan wajahnya dirias dengan makeup yang, well, natural. “I learn along the way but still with my style. Director dan produser yang adapt to my kind of acting. I don’t wanna do the ‘lebay’ thing. Karena saat itu rating sinetronnya bagus for almost a year, jadi produsernya okein dan penonton juga suka,” imbuhnya.

Kesuksesan sinetron tersebut pun membuahkan berbagai tawaran menarik lainnya, dari mulai sinetron, FTV, film, bintang video klip, hingga menjadi brand ambassador. Seiring kesuksesan yang ia raih, atensi publik pun mau tak mau mulai mengintainya, termasuk soal kehidupan pribadinya. “Awalnya to be honest its tough for me, karena aku memang nggak suka attention dan segala macem. I’m quite introvert sebetulnya. Dari kecil aku tomboy tapi sering ngabisin waktu di kamar, sampai sekarang pun aku hobinya ya baca buku di kamar. Diliatin orang itu nggak nyaman sebetulnya. Awalnya sih lebih kaya risih diliatin terus, lagi makan diminta foto. Sebetulnya bukan nggak suka sama mereka tapi aku memang nggak nyaman karena bawaannya introvert. Kadang lagi capek pun harus ngeladenin orang untuk interview. Dan waktu mulai akting itu aku masih kecil kan, masih sekolah. Jadi nggak terbiasalah, awalnya shock. Bukannya yang makin tampil atau apa, aku justru malah makin menutup diri, kaya ‘Pak tolong dong saya jangan difoto,’ tapi ya udahlah that’s the risk.”

Velove2

Atasan: Topshop, Rok: DKNY.

Berbeda dengan kebanyakan artis muda yang sedang naik daun lainnya, Velove tak ragu untuk menunda karier yang sedang mekar-mekarnya demi mengejar kehidupan akademis. Setelah vakum selama setengah tahun untuk fokus ujian sekolah, ia sempat bermain dalam satu produksi sinetron lagi sebelum pergi ke Paris untuk kuliah di Catholic Institute of Paris. Setahun di Paris, ia pindah ke Los Angeles untuk kuliah Bisnis Manajemen di Santa Monica College. “I know that one day I want to be a businesswoman,” ucapnya sebelum meneruskan, “Aku memang tertarik sama bisnis. Sebetulnya aku juga suka sih analisa yang berhubungan dengan hukum. Cuma mungkin karena dari kecil udah biasa ngeliat papa jadi lawyer mungkin ada aja rasa ingin coba something else. Dan kayanya aku juga nggak berani deh mesti berantem-berantem sama lawyer lain di persidangan,” tukasnya ketika ditanya kenapa tidak memilih jurusan Hukum seperti ayahnya.

“Senangnya di luar negeri itu karena nggak ada yang kenal, jadi lebih bebas mau ngapain tanpa ada yang ngeliatin, mau makan sendiri pun tenang aja. Kalau di sini kan suka ngerasa ada mata-mata tertuju malah jadi salah tingkah. Terus kaya lagi amburadul aja aku bisa cuek pergi. Kalau di sini, setiap misalnya aku lagi kucel baru bangun tidur terus ke supermarket pasti ada aja ketemu orang dan minta foto terus di-upload ke social media, aku kaya ‘Oh my God!’ ceritanya lagi sambil menyisip air mineral.

Tinggal sendirian di West L.A. membuat Velove belajar untuk hidup mandiri sekaligus menikmati privacy yang jarang ia dapat. Menghabiskan me time di pantai, menyusuri toko-toko vintage, dan road trip menjadi pengalaman yang priceless baginya. The best of it? “Road trip ke San Francisco straight from L.A. Gempor sih!” cetusnya bersemangat. “Ke Vegas juga pernah karena gara-gara ada teman yang punya pesawat sendiri so I don’t need passport, karena waktu itu aku juga belum punya California ID jadi ke mana-mana masih pakai passport. Berangkat sama dia dan keluarganya naik pesawatnya tapi aku baru ingat aku harus pulang ke L.A. karena ada ujian, nah karena nggak bawa passport ya nggak bisa naik pesawat dong, jadi aku naik mobil balik ke L.A. itu capek banget nyetir berapa jam. Itu aneh sih kaya perginya oke deh naik private jet tapi pulangnya nyetir sampai gempor, haha! Tapi seru sih!” ceritanya sambil tertawa lepas.

Tiga tahun di Amerika, bukan berarti namanya tenggelam begitu saja di ranah entertainment Tanah Air. Dalam kurun waktu tersebut Velove sering kali menyempatkan pulang ke Indonesia saat liburan untuk ikut beberapa produksi sinetron dan film, termasuk film Mika yang dirilis tahun 2013. Di film yang disutradarai oleh Lasja Fauzia Susatyo tersebut, Velove tak hanya menjadi pemeran utama yang bersanding dengan Vino G. Bastian tapi juga menjadi executive producer. Kalau pun tidak pulang ke Indonesia, ia akan mengisi harinya dengan mengikuti kelas Thaiboxing atau Bar Method sambil tak lupa mengeksplorasi sisi femininnya. “Aku mulai belajar makeup justru pas di Amerika. Kalau ada waktu luang, kadang abis kelas aku suka pergi sendiri ke Sephora, mainan makeup terus belajar sendiri dari YouTube,” ucap Velove yang menyebut Grace Kelly sebagai beauty icon-nya.

Velove3

Atasan dan rok: Balenciaga

Bicara tentang beauty, kecantikan Velove dan personality-nya yang classy yet approachable membuatnya dipercaya sebagai brand ambassador Maybelline yang berpusat di New York. “It’s a long journey,” ujarnya tentang hal tersebut, “Karena dari  L’Oréal (induk company Maybelline) sendiri kalau milih brand ambassador kan harus disetujui sama tim New York juga dan banyak banget saingannya. They always keep on looking karena kan untuk long term juga, jadinya lama prosesnya hampir setengah tahun.” Perannya sebagai brand ambassador Maybelline tak sebatas menjadi wajah di berbagai ad campaign label tersebut, tapi juga terlibat dalam berbagai aktivasi seru. “Banyak banget, kaya kemarin sempat ada Maybelline Goes To School, aku dan Ryan (Ogilvy) keliling ke beberapa sekolah and I mean it’s not something yang biasa aku lakukan. Kaya ke sekolah ketemu anak-anak sharing beauty tips dan interaksi sama mereka langsung, kapan lagi kan? Sekolahnya juga bukan di Jakarta aja, sekolah yang di daerah juga kita datengin. Beda banget kan anak Jakarta sama anak yang di daerah, mereka lebih polos dan banyak yang nggak bisa dandan tapi mereka sangat antusias dan nggak jaim. It was fun!” pungkasnya, excited.

So what’s her beauty secret, anyway? “Aku sih nggak ribet, sumpah… Aku sih yang penting rajin bersihin muka. Menurutku ritual utama itu fokus di kulit karena kalau kulit kamu bagus, ya udah it’s just stunning. Kalau kulitnya kotor mau di-makeup kaya gimana juga susah jadi aku benar-benar ngerawatnya kulit banget. Sebetulnya nggak ada perawatan khusus, cuma cuci muka itu harus rajin banget. Kalau pakai makeup langsung hapus, jangan dibiarin seharian,” ungkap Velove sebelum kemudian mendefinisikan arti beauty untuknya secara personal: “Beauty is something yang bisa diapresiasikan oleh orang. Jadi, beauty is very subjective, it depends on the people. Tergantung dari kamu melihat beauty itu seperti apa. Tapi beauty menurut aku harus inside and out. It’s a must, kamu nggak bisa cantik di dalam doang tapi luarnya nggak ditata dengan bagus. Atau luarnya cantik tapi dalamnya nggak.”

Lucky for her, she’s indeed not just a pretty face. Terlepas dari persona celebrity yang melekat padanya, ia ternyata seorang avid reader yang lebih memilih menghabiskan waktu untuk membaca buku di kamar dibanding hang out di mall. “Karena dari kecil papa biasain aku untuk baca. Waktu kecil every weekend, anak-anaknya dibawa ke toko buku untuk beli buku dan harus di-review. Akhirnya jadi kebiasaan beli buku. Waktu kecll aku sukanya baca Detektif Conan sama Shin-chan, that’s my favorite comic. Mulai bosan baca komik, aku mulai baca buku-bukunya papa, dan dulu dia suka novel Sidney Sheldon. Kalau sekarang aku lebih suka non-fiction kaya bisnis dan psikologi, cuma kalau novel gitu aku suka banget Paulo Coelho. Aku suka karena novelnya ada makna hidupnya, there’s something deeper, makanya aku suka baca,” ungkapnya. Hebatnya lagi, saat ini pun ia tak hanya sekadar menjadi pembaca buku, she’s also in the middle of writing her own book yang rencananya akan rampung pertengahan tahun ini. “It’s a non-fiction book but I won’t tell you more. Nanti aja pas keluar. It’s about women in general,” bocornya singkat.

            Menulis buku merupakan salah satu bucket list yang siap dicoretnya untuk tahun ini. Kebetulan, hari pemotretan dengan NYLON jatuh tepat satu hari sebelum ulangtahunnya yang ke-25. “Iya! Makanya sebetulnya hari ini tadinya nggak mau kerja, haha,” ujarnya saat disinggung hal itu. Well, 25 tahun biasanya identik dengan quarter life crisis dan segala kegelisahan menghadapi berbagai tuntutan, baik dari lingkungan maupun diri sendiri. It’s a turning point for most people, tak terkecuali bagi seorang Velove Vexia sekalipun. “Rasanya galau. Bukannya tentang mau kawin atau apa, tapi lebih ke what I want to do and what I want achieve. I think I need to travel more, aku harus lebih produktif, dan kaya gitu lah ada resolusi-resolusinya. Age is more than a number, aku juga pengen lebih healthy karena by the time I’m 25 which is tomorrow, metabolisme aku pasti menurun dan emang harus rajin olahraga dan lebih sehat.”

            Walaupun namanya dibesarkan oleh dunia entertainment, Velove tak pernah merasa harus aji mumpung mengambil semua tawaran yang datang. Ia memilih menjalani kariernya with her own pace, pun di usianya saat ini dengan gelar akademis yang sudah ia genggam. Untuk ukuran artis yang sepopuler dirinya, Velove pun sebetulnya baru dua kali bermain film layar lebar. Satu hal yang disebabkan oleh jadwal yang seringkali bentrok. Apakah untuk ke depannya ia masih berminat bermain film? “Masih dong, aku masih pengen main film tapi yang ceritanya lebih unik kali ya. Kalau ceritanya cuma drama doang aku malas karena menurutku nggak ada bedanya sama sinetron, mending aku syuting sinetron. Dan dari awal juga aku masuknya dari sinetron dan lebih dikenal di sinetron. Jadi kalau main film pun aku mau yang di luar karakter aku yang ceritanya lebih unik,” jawabnya tegas. Peran apa yang ia inginkan? “Pengen jadi Lara Croft. Aku suka film action dan karakter cewek yang tough. Menurut aku Angelina Jolie as Lara Croft itu keren sekali karena actually kan Angelina Jolie pernah ditawarin main film James Bond as a Bond girl cuma dia nolak dan dia bilang ‘I want to be the James Bond’ akhirnya dapetlah dia Lara Croft yang nggak kalah keren dari James Bond,” ceritanya dengan antusiasme yang terpancar dari wajahnya.

            Selain Angelina Jolie, ia juga mengidolakan sosok Ron Howard yang dikenal sebagai sutradara A Beautiful Mind dan The Da Vinci Code. Dengan bersemangat, Velove pun menceritakan sebuah kejadian unik saat ia tanpa sengaja duduk di sebelah Ron Howard di dalam pesawat on the way dari L.A. ke New York. “Aku sebetulnya pergi sama teman aku, cewek, tapi kita berdua maunya duduk di window, jadi kita nggak bisa duduk bareng. Kita duduk paling depan terus ada cowok duduk di sebelah teman aku super ganteng tipe cowok Wallstreet guy, sedangkan yang duduk di sebelah aku kaya kakek-kakek brewokan belum mandi, bawa ransel dan buka laptop, haha. Aduh, udah sok-sok tidur tapi diajak ngobrol basa-basi, ternyata aku satu sekolah sama anaknya dia di L.A. Terus dia tiba-tiba nanya aku, ‘Are you an actress?’ tapi aku bilang aja bukan soalnya dibilang aktris di Indonesia pun malas jelasinnya, karena banyak yang nggak ngerti juga Indonesia itu di mana. Terus dia bilang ‘You could be an actress,’ terus abis itu aku nanya, ‘How about you? Are you a blogger?’ Haha! Sumpah aku nanya ke Ron Howard ‘Lo blogger?’ terus dia jawab, ‘No I’m actually a writer and scriptwriter, and I’m also producer and director. Do you know Da Vinci Code?’ Terus aku yang ‘Yes! Oh my God! I love it!’ dan baru sadar kalau dia Ron Howard. Terus dia bilang aku bisa jadi aktris tapi harus ikut acting school karena di New York kan ketat persaingannya. Aku dikasih contact number-nya dan diundang ke premiere filmnya yang The Dilemma,” kenang Velove yang juga sempat ditawari menjadi penyanyi oleh produser American Idol yang ditemuinya secara tak sengaja saat sedang berbelanja. Sekali lagi membuktikan jika ia punya daya magnetis tersendiri dari dirinya yang membuat orang akan mudah berpaling ke arahnya, sebagaimanapun ia berusaha untuk tidak menarik perhatian. Kedua tawaran tersebut ditolaknya karena saat itu ia memang ingin fokus menyelesaikan kuliahnya.

I have two sides. Ada satu sisi yang aku perfeksionis idealis dan ada satu sisi lagi aku yang enjoying life. Jadi kalau lagi kerja ya kerja banget, tapi kalau santai ya bisa santai banget, nggak mau even pergi ke mall. I hate malls. Daripada ke mall mending aku di kamar baca buku, I get something for my thoughts atau traveling sendirian. Aku suka living in my own world,” ungkapnya.

Faktanya, selain membaca buku, traveling memang menjadi salah satu kegiatan favoritnya yang sering ia lakukan. Passport bahkan menjadi salah satu benda yang wajib selalu ada di tasnya. “Kadang biasanya abis dari kerjaan aku langsung ke airport jadi itu kenapa passport harus ada di tas aku dibanding aku tinggal di rumah. Karena sometimes aku suka random tiba-tiba ingin pergi. Paling sering sih Singapore, kadang pulang-pergi. My dad juga gitu sih, pernah beberapa kali aku diajak papa ke London and I have no idea jadi aku nggak bawa apa-apa, cuma paspor. Belanja bajunya di sana. Mungkin kebawa papa juga sih,” ungkapnya sambil menceritakan jika ia memang seringkali pergi bersama sang ayah, termasuk menonton World Cup di Brazil. “Yang paling berkesan di Meksiko. I think the best moment in my life itu, aku ke Cabo, Meksiko, di sana aku naik ATV ke gunung kaktus dan pas sunset kita tepat di atas gunung dan pas turun, langsung sampai di pantai yang nggak ada orangnya, kaya virgin beach gitu dan pas sunset itu kereeen banget, sumpah…” kenangnya dengan senyuman lebar dan mata yang berbinar, membuat siapapun yang mendengarnya seakan ikut menyaksikan langsung pemandangan tersebut.

Di usia yang saat ini telah menginjak 25 tahun, dengan steady career, recognition, dan support dari orang-orang terdekatnya, apalagi yang ingin dikejar olehnya? “Actually on the entertainment side, I’m quite satisfied. Sekarang yang belum malah yang di luar dunia hiburan, itu yang aku rasa pengen coba lebih banyak hal lagi. Kalau entertainment juga bukan main objective aku sebetulnya. Aku lebih sering nolak kerjaan sampai manajer aku kaya suka ngomel. Karena memang nggak pernah niat jadi artis, jadi aku lebih santai. Minat aku pengen jadi wanita karier tapi bukan di dunia hiburan, passion aku di bisnis,” tegas Velove tentang arah karier yang ingin ia jalani seterusnya.

Ketika pemotretan akhirnya rampung, jarum jam sudah menunjuk pukul tiga sore dan langit di luar yang mulai mendung. Tak ingin menahan the soon to be birthday girl lebih lama lagi, saya pun melayangkan pertanyaan terakhir untuknya, what’s next from her?Just wait and see!” ucapnya sambil membereskan barang bawaannya. “It will be surprise, dan pasti ada something different, I’ll keep you posted!” pungkasnya sebelum pamit dan mengucapkan terima kasih kepada semua orang di studio. Cantik, cerdas, dan berkarisma, well maybe she’s born with it.

Velove4

Atasan & rok: Burberry.

As published in NYLON Indonesia April 2015

Fotografer: Hilarius Jason

Stylist: Anindya Devy & Patricia Annash

Makeup Artist: Ryan Ogilvy

Hair Stylist: Jeffry Welly

Million Dollar Baby, An Interview With Chelsea Islan

Dengan talenta yang kian terasah dan komitmen penuh di dunia seni peran, Chelsea Islan telah merekah sebagai seorang aktris dan pekerja seni yang mumpuni, sekaligus bintang baru paling bersinar saat ini.

IMG_9334

Dress oleh Argyle & Oxford, coat oleh Zara

Chelsea Islan bersandar di dinding sambil sesekali tertawa renyah dan secara refleks menyipitkan matanya serta membetulkan poninya yang tertiup angin. Effortlessly quaint seperti Audrey Hepburn di film Roman Holiday, ia menggenggam setangkai bunga matahari berwarna kuning sempurna yang terlihat kontras dengan coat merah yang ia kenakan. Bunga matahari tersebut juga seolah mewakili gadis cantik yang memegangnya itu sendiri: vibrant, full of life, dan dengan mudah menginjeksikan semangat bagi setiap mata yang memandangnya. It’s a blooming time indeed, metaphorically speaking.

Ini bukan kali pertama paras manis gadis bernama lengkap Chelsea Elizabeth Islan tersebut muncul di majalah NYLON. Kami telah memotret profilnya dalam edisi It Girl di November 2013 lalu sebagai aktris muda yang baru mulai meniti karier di dunia film setelah sebelumnya telah lebih dulu menjadi seorang model remaja. Saat itu ia baru saja merampungkan film debutnya, Refrain, yang juga dibintangi oleh Maudy Ayunda dan Afgansyah Reza. Meski hanya supporting role, namun perannya sebagai Annalise di film itu berhasil membuat publik penasaran mengenal sosok gadis kelahiran New York tersebut lebih dalam lagi.
Disambung film Street Society di awal 2014, berbagai iklan komersial, menjadi brand ambassador dan aktif di berbagai isu sosial, popularitasnya terus menanjak sepanjang tahun 2014 lalu, khususnya ketika ia menjadi bintang serial sitkom Tetangga Masa Gitu? di Net TV yang membuahkan mainstream popularity baginya. Rasanya, kini hampir semua orang telah mengenal nama Chelsea Islan sebagai bintang pendatang baru yang menuai banyak pujian berkat kiprah dan image positif yang melekat pada dirinya. She’s been on high demand, baik di dunia film maupun dunia media yang berlomba menampilkan dirinya. Tak terhitung banyaknya request yang masuk ke redaksi untuk meminta Chelsea muncul sebagai cover kami, and obviously it’s just a matter of time. But of course, we save her for the best moment, which is to grace our 4th Anniversary cover.
Setelah beberapa kali bertukar pesan di Whatsapp dan email, kami berhasil mencocokkan jadwal pemotretan di suatu Rabu di awal Desember silam. Bila di pertemuan kami sebelumnya Chelsea masih datang sendirian tanpa ditemani siapapun, kali ini ia telah memiliki manajer dan asisten untuk membantunya mengatur jadwal yang terus memadat. Hari itu saja kami hanya punya waktu sekitar 4 jam untuk merampungkan pemotretan karena ia telah memiliki jadwal taping di sebuah talkshow sesudahnya. Ia datang dengan wajah bersih dari riasan apapun dan dengan senyuman hangat menyapa tim pemotretan. Setelah saling bertukar kabar, tanpa membuang waktu, kami pun segera berbincang setelah sebelumnya ia dengan penuh kesadaran meletakkan teleponnya dalam tas agar bisa lebih fokus bercerita.

The first question tentu saja menyoal kesibukannya akhir-akhir ini. Kesan yang saya ingat dari Chelsea masih sama seperti perbincangan kami setahun sebelumnya, ia sangat passionate dan begitu eloquent (if not even getting better) ketika diajak berbicara soal kariernya. Seperti yang sudah disebut, selain daily activity berupa syuting Tetangga Masa Gitu? (TMG) yang sudah mencapai season kedua dengan 120 episode lebih, Chelsea baru saja merampungkan berbagai project film yang menarik. Yang paling awal rilis adalah Merry Riana: Mimpi Sejuta Dollar, sebuah film biopik di mana Chelsea mendapat peran utama sebagai the eponymous Merry Riana, seorang motivator, penulis, dan pengusaha Indonesia yang inspiratif.
Diangkat dari buku biografinya yang berjudul A Gift From a Friend, film ini menceritakan kisah perjuangan Merry Riana, seorang gadis berdarah Tionghoa yang mengungsi ke Singapura ketika peristiwa 98 pecah. Di sana, dengan membawa uang sangat minim ia berhasil diterima sebagai mahasiswi di Nanyang Technological University walau harus berhutang sebanyak 40 ribu dolar Singapura. Usahanya dalam membayar hutang dan bertahan hidup di negeri orang dengan bekerja keras dari mulai kerja serabutan hingga bermain saham pun membuahkan hasil. Tahun 2007, kisah perjuangannya mencapai sukses diliput oleh harian The Strait Times dengan judul “She’s made her first million at just age 26”, sebuah cerita penuh motivasi dan inspiring yang sayangnya mungkin masih banyak orang yang belum tahu, termasuk Chelsea sendiri sebelum ia terlibat dalam project ini.
“Ceritanya itu dari Januari 2014 aku udah ditelepon oleh pihak Dapur Film, komunitas filmnya Mas Hanung Bramantyo untuk ditawarin main film ini, awalnya aku emang nggak tau itu film tentang apa, kisahnya siapa, based on what, jadi pertama-tama aku masih yang ‘Oh oke, coba kita atur jadwalnya.’ Akhirnya aku dateng terus langsung ketemu sama sutradaranya, Mas Hestu Saputra. Ngobrol, terus dia bilang ‘Kamu harus ambil film ini nih,’ Awalnya aku nggak punya bayangan bagusnya seperti apa. Jadi aku baca skripnya dari awal sampai akhir dan aku kaya ‘Okay, I should buy the book first, baru aku balik lagi untuk kasting.’ Aku baca bukunya sampai selesai abis itu aku search Merry Riana di YouTube dan keluar banyak banget ternyata, pas dia di Singapura, pas jadi pembicara di seminar, jadi ternyata dia itu emang sosok motivator dan sosok inspiratif bagi anak muda dan untuk orang dewasa juga, dari situ aku langsung ‘Wah ini keren banget,’ Kaya one day aku juga pengen jadi someone yang inspiring untuk anak muda dan orang di sekitar. Ini one of the dreams yang sebenarnya aku pengen, main di film yang inspiring, nah setelah ini aku langsung oke, aku akhirnya casting,” ungkap Chelsea tentang film ini.
Nama Chelsea bukan satu-satunya yang dikasting untuk peran ini, ada banyak kandidat lainnya baik sesama pendatang baru maupun yang sudah lebih senior, namun dengan banyak support, ia berhasil mendapat peran ini. “I was nervous juga karena kastingnya sendiri memang dilakukan dengan profesional. Nunggu kabar sampai akhirnya bulan Maret dipanggil ke MD Pictures, ketemu Pak Manoj Punjabi, ngobrol, terus dia bilang ‘You should take this movie,’ semuanya kaya bilang gitu terus aku juga berpikir mungkin Tuhan memang memberikan film ini untuk aku, ya kan menurut aku coincidence itu nggak ada, sebetulnya semua udah diatur sama yang Di Atas, dan kita dipertemukan sama orang-orang yang akan kita kerjasama, aku kaya ‘Okay, mungkin ini something that I have to do, okay I’m taking this movie.’”

IMG_9598

Dress oleh Monday to Sunday, sepatu oleh Dr. Martens.

Praktis, sepanjang tahun lalu Chelsea fokus di film yang juga dibintangi oleh Dion Wiyoko dan Kimberly Ryder tersebut. Berperan dalam biopik dengan pesan yang kuat, Chelsea mengaku banyak mendapat hal positif dalam pembuatannya. “This is something new yang belum pernah aku coba, karena film ini mengangkat sosok inspiring dan banyak orang berharap sama dia. Untuk menjadi dia I really had to work hard dan ini bukan hal yang gampang. Tapi sejak memainkan peran ini aku juga jadi positive thinking banget. Aku jadi merasa bersyukur karena nggak ada second chance lagi untuk main di film seperti ini. Dan dari mbak Merry aku juga belajar banyak sekali, kan kita banyak one on one discussion-nya sebelum syuting, kita lunch, dinner bahkan ke gereja bareng, dan yang main di film ini kebetulan semua seiman juga, jadi mbak Merry memberikan kita rosario merah dari Jerussalem dan masih ada di tas aku sampai sekarang,” ungkapnya sambil tersenyum. “Aku pengen dia bangga sama film ini, karena ini kan film tentang dia, kehidupan dia, struggle-nya dia sebagai seorang perempuan sendiri di negara orang lain dan dia bisa sukses. Nothing is impossible, dia aja bisa kenapa kita nggak bisa? Dan Mbak Merry selalu memotivasi aku jadi aku juga tambah giat. Seru banget,” tandasnya.
Terlibat dalam kegiatan dan gerakan dengan isu positif sama sekali bukan hal baru bagi Chelsea, bahkan sebelum ia menjadi public figure. Kampanye anti bullying, breast cancer awareness, dan Hari Aids Nasional adalah segelintir di antaranya. Baru-baru ini Chelsea juga berpartisipasi dalam gerakan Indonesia Menari yang mengajak anak muda untuk peduli dan melestarikan budaya dan seni Indonesia. Dibimbing oleh koreografer terkenal Eko Supriyanto (Madonna’s dance mentor!) Chelsea yang telah memiliki basic menari dari kegiatan ballet dan teater di masa sekolahnya menari dengan 1200 peserta lainnya.

So far 2014 itu banyak pembelajaran, banyak experience baru yang aku gali, banyak opportunity, kesempatan baru, nah aku sih berharap di 2015 akan ada banyak lagi opportunity dateng dan mudah-mudahan bisa menginspirasi lebih banyak orang lagi,” ujarnya saat merefleksikan tahun 2014. Apakah Chelsea termasuk orang yang selalu membuat resolusi tahun baru? “Kalau aku sih kadang-kadang. Mungkin untuk tahun ini aku mau kasih resolusi biar terarah tahun depan maunya gimana, karena kan kadang aku masih bingung antara pendidikan atau karier, dan lain-lain. Antara mau lanjut kuliah atau masih karier atau gimana.” Tahun lalu Chelsea sebetulnya sempat mengungkapkan keinginan untuk kuliah Sosiologi namun hal itu urung terlaksana karena 2014 memang menjadi tahun sibuk baginya. Selain Merry Riana, Chelsea pun telah merampungkan dua film bertema sejarah yang tak kalah menarik, yaitu Dibalik 98 dan Guru Bangsa: Tjokroaminoto.
Dalam film Dibalik 98 yang menjadi debut penyutradaraan oleh aktor Lukman Sardi, Chelsea berperan sebagai seorang aktivis dan demonstran di zaman Trisakti sementara dalam film Guru Bangsa: Tjokroaminoto yang disutradarai oleh Garin Nugroho, Chelsea berperan sebagai Yildiz, seorang anak umur 15 tahun berdarah campuran Belanda-Indonesia dengan rambut kepang a la Dorothy Gale dan putri seorang nyai di mana pada masa itu warga blasteran belum memiliki posisi yang melindungi mereka secara jelas di mata hukum. Dari sini kita bisa melihat adanya benang merah dari film-film yang dibintangi oleh Chelsea. Semuanya menceritakan tentang perjuangan dalam berbagai bentuk. “Aku sebetulnya nggak pernah ada spesifikasi sih, tapi aku bener-bener melihat dari moral story dari cerita film itu sendiri,” tukas Chelsea tentang pertimbangannya dalam memilih peran, sebelum menambahkan, “Aku juga ingin main di film action kaya The Raid atau jadi psikopat. Selama ini kan perannya yang baik-baik aja, pengen coba jadi antagonis, sebagai aktor ingn coba semua sih, pengen eksplor lagi,” akunya.

IMG_9474

Kemeja dan oversized biker jacket oleh Argyle & Oxford.

Ada cerita menarik di balik keterlibatan Chelsea dalam film kolosal musikal terbaru Garin Nugroho yang juga dibintangi oleh Reza Rahardian dan Christine Hakim tersebut. Chelsea yang sempat sekolah film di SAE Institute awalnya berniat magang menjadi asisten sutradara untuk film ini, sebelum akhirnya diminta ikut kasting untuk peran Yildiz. “Awalnya kastingnya bukan akting, tapi nyanyi. Yildiz ini ceritanya suka nyanyi lagu Burung Kakak Tua versi anak-anak Belanda. Jadi aku disuruh dateng untuk nyanyi, direkam, terus Mas Garin bilang ‘Oke bagus nih, kita jadi shoot ya, kamu jadi Yildiz,’ terus aku yang ‘Aduh gimana nih? Terus magangnya gimana?’ Jadi itu lucu banget, aku nggak tau deh, nggak nyangka juga, terus aku bilang ‘Oke, ya udah kali ini saya main tapi next time saya magang beneran ya,’ haha,” ungkap Chelsea sambil menyunggingkan senyum.
Dengan persiapan yang sangat minim, Chelsea dituntut untuk bisa akting, menari, dan menyanyi dalam film sejarah yang dikemas dengan unsur musikal seperti Les Misérables ini. “Aku cuma dua minggu udah harus banyak latihan workshop. Diajarin Bahasa Belanda gitu dan Mas Garin tipe yang workshop on the spot, jadi sebetulnya workshop yang kita lakukan sebelum syuting itu hanya pemanasan, tapi real-nya di shooting location di Jogja & Semarang dan itu beda banget. Yang kita latih sama sekali nggak sama dan kita harus langsung siap. Aku yang ‘Oh my God’, ada beberapa gerakan tari yang nggak dikasih tau, harus nari langsung, terus disuruh nyanyi Burung Kakak Tua yang untungnya udah dilatih juga. Aku bukan penyanyi, tapi di sini bukan suara bagus yang dicari, tapi sikap dari karakternya Yildiz sendiri, gimana sih si anak 15 tahun ini nyanyi Burung Kakak Tua dengan lonely sambil ngitung duit,” kenangnya. Di sini, pengalaman teater yang dimiliki Chelsea menjadi penyelamatnya karena ternyata hampir semua pemain di film ini memang mereka yang memiliki pengalaman teater. “Pressure pasti but I feel happy karena bisa melewati tantangan itu, seneng sih bisa berpartisipasi dalam film itu karena aku harus bisa disuruh apa aja. Seperti teater sih sebetulnya, ada improvisasi dan commedia dell’arte, di situ jadi belajar banyak banget sama Mas Garin,” imbuhnya.
Tertunda dari rencana semula untuk di belakang layar, tampaknya Chelsea tak harus menunggu lama untuk bisa mencoba berkiprah sebagai sutradara. Sempat terdengar kabar jika Chelsea akan terlibat dalam proyek film omnibus bergenre horror. “Iya, ada yang nawarin aku bikin film omnibus sama 3 sutradara lainnya, tapi aku masih nggak tau ini jadi apa enggak. Dan aku masih mempertimbangkan karena kalau horror kan harus mateng banget dari efeknya, kalau mau ada hantunya juga jangan sampai bad quality. Aku udah bikin cerita sih, dari 4 sutradara itu genre horrornya beda-beda, ada yang thriller, slasher, psychological thriller, satu lagi kalau nggak salah yang beneran tentang roh. Kalau yang aku psychological thriller, aku bener-bener main di psikologis karakternya, aku pengennya sih ceritanya tentang psikiater. Yang mau aku gali sih moral story-nya, jadi jangan cuma horror aja. Aku mau bikin twist-nya juga, the different side of psychiatrist. Tapi belum tentu bikin sih, masih fifty-fifty tapi kalau jadi aku mau banget.”

Terlibat dalam banyak produksi film dan berbagai kegiatan lainnya yang menguras waktu dan tenaga, Chelsea mengaku lumayan kesulitan mencari quality time untuk diri sendiri. She usually unwind herself with diving, baca buku, dan melakukan treatment (“Aku nggak girly tapi sekali-sekali harus memanjakan rambut,” cetusnya) dan uniknya, serial sitkom Tetangga Masa Gitu? bisa dibilang menjadi kesibukan sekaligus safety net tersendiri baginya. “Tetangga Masa Gitu kalau buat aku lebih ke fun, karena kalau di film biasanya aku milih cerita yang serius, di TMG aku bisa lebih banyak ketawa dan mengeluarkan sisi sehari-hari aku. Actually di situ you don’t have to act tapi udah jadi si karakternya senatural mungkin. Aku udah merasa nyaman dan semua pemain juga udah into character banget.” Dalam sitkom ini, Chelsea berperan sebagai pasangan muda bersama Deva Mahenra yang bertetangga dengan pasangan suami-istri yang sudah jauh lebih berpengalaman yang diperankan oleh Dwi Sasono dan Sophia Latjuba. Chelsea sendiri mengaku tak mengalami kesulitan berperan di wedding life. “Soal wedding life, kita bangun chemistry dan field research dari focus group discussion tentang pernikahan. Untungnya karena karakternya nggak serius banget, mereka sebetulnya kaya masih anak-anak kecil, biar kontras sama yang udah lama nikah. Jadi walaupun udah nikah, bukan berarti mereka udah nggak kekanak-kanakan, tapi justru seru sih kaya stay young gitu,” ujarnya. Apakah bermain di sitkom ini memengaruhi pandangannya soal pernikahan? “Belum sih, jadi benar-benar acting as character and not influences me in real life,” jawabnya lugas.
Baik itu teater, film, maupun serial TV, tampaknya Chelsea sudah mencicipi berbagai medium akting dan belum berniat untuk menghentikan momentumnya. Ia mengungkapkan jika ia sempat berbincang dengan Garin Nugroho untuk membuat pementasan monolog dan ada satu project film berbasis karya sastra Indonesia yang masih tentative untuk tahun depan. Melihat sosoknya yang nyaris tanpa cela tersebut, saya pun penasaran, apa sih mimpi sejuta dolar bagi seorang Chelsea Islan? Ia menjawabnya sambil tersenyum, “Kalau aku hampir sama seperti Mbak Merry sih, aku ingin menginspirasi banyak orang, aku ingin mereka lebih aware sama social dan environment issue. Peduli budaya dan seni Indonesia. Mimpi aku masih banyak, mimpi-mimpi kecil seperti men-direct film, ingin bikin buku, bikin drama musikal. Aku lebih ingin banyak di belakang layar walaupun di depan juga masih ingin, cuma lebih selektif aja,” ungkap Chelsea dengan optimis. “Aku juga belajar untuk tidak cepat puas, itu nomor satu sih buat aku. Jadi belajar terus,” tuturnya menutup interview kami.

IMG_9413Sweater oleh Topshop, celana oleh Monday to Sunday, sepatu oleh Stacatto.

Foto oleh: Michael Cools. Styling oleh: Anindya Devy. Makeup Artist: Ryan Ogilvy. Asisten stylist: Priscilla. Lokasi: Vodka & Latte, Kemang.

This Charming Mac, An Interview With Mac DeMarco

macdemarco1

Di balik segala mitos yang menyelimuti dirinya, Mac DeMarco is indeed a cool guy.

Saat pertama kali mendengar kabar Mac DeMarco akan konser di Jakarta, saya langsung membayangkan sebuah konser kecil yang liar, penuh asap rokok, bau bir, dan anak-anak mabuk yang entah terlalu “tinggi” untuk sekadar menggoyangkan kepala, atau justru terlalu excited sampai tak berhenti moshing. Maksud saya, kita sedang berbicara tentang Mac-fucking-DeMarco, seorang singer-songwriter berumur 24 tahun asal Kanada yang dikenal karena aksi liarnya di atas stage. Saya telah membaca banyak hal tentang dirinya yang rata-rata menggambarkan dirinya sebagai musisi slengean yang senantiasa teler di atas panggung, meneriakkan kata-kata cabul, dan weird shits lainnya. Sebuah video live show yang menampilkan dirinya telanjang dan mabuk di atas panggung menyanyikan “Beautiful Day” milik U2 bahkan masih ada di YouTube sampai sekarang. That’s why saya merasa agak cemas saat akan mewawancarai dirinya, satu hari sebelum penampilan perdananya di Jakarta, tanggal 22 Januari lalu. Saya was-was dia akan interview dalam keadaan teler, ditambah jet lag dan kurang tidur dalam tur Asianya dan mungkin melempar botol ke kepala saya, or worse, calling me names.
Saat saya tiba di Kosenda Hotel tempatnya menginap, Mac terlihat asik mengobrol sambil meminum Bir Bintang dingin. Ia memakai kaos Polo berwarna hijau polos yang dimasukkan dalam jeans bapak-bapak dan memakai beanie abu-abu. Wajahnya seperti anak remaja yang tiba-tiba tumbuh besar dalam waktu semalam, dan dia memiliki kecenderungan untuk menyeringai dibanding tersenyum. Sama sekali tak mencerminkan seorang bintang indie rock yang dipuja-puja Pitchfork dan semua publikasi musik influential lainnya.

macdemarco6
There’s nothing hip about him, visually. Kecuali kalau kamu mau menyebutnya dengan istilah normcore, walaupun saya yakin Mac tak akan peduli akan istilah apapun yang dilekatkan padanya. Sama seperti ia tak ambil pusing dengan genre musik yang ia buat. Slacker rock, blue wave, jangle pop, off-kilter pop dipakai untuk mendeskripsikan musik indie rock beratmosfer lo-fi yang ia buat, walau ia lebih suka menyebut musiknya sendiri sebagai “jizz jazz”, hasil dari mendengarkan musik jazz (terutama Steely Dan) sambil menonton situs porno Youjizz.com. Di zaman yang mementingkan style over substance, pria bernama lengkap Macbriare Samuel Lanyon DeMarco ini terlihat menyolok dengan carefree attitude and basically, not giving a single fuck untuk terlihat seperti orang udik.
Strangely enough, di balik segala kecuekannya, ada kehangatan dan sensibilitas emosi tak terbantahkan dalam musik yang ia buat dan lirik genial tentang hal-hal banal dalam hidup yang terangkum dalam 3 album yang telah ia rilis dan mengantarnya tur sampai ke Asia. “Dibandingkan dengan tempat asal saya, yeah banyak hal tidak biasa yang saya lihat. Kami ada di Vietnam kemarin, jadi kami sudah agak terbiasa dengan hal-hal aneh, contohnya sepeda motor. Everybody is on the fucking motorbikes. It’s crazy, but it’s cool tho, I like it,” cetus Mac sambil nyengir dan memamerkan gap tooth miliknya.
Dua minggu lebih sudah ia mengadakan tur Asia, bertemu dengan para local kids dan mencoba makanan eksotis, termasuk gurita hidup di Korea (“It’s fucked up, man,” ujarnya sambil terkekeh.) Jakarta beruntung menjadi tempat persinggahan sebelum ia bertolak ke Singapura untuk Laneway Festival dua hari kemudian. “Biasanya kami tidak punya banyak waktu. Kami datang, tampil, dan pergi lagi. Tapi kami beruntung karena berada di level bekerja dengan promotor kecil yang membawa kami ke suatu tempat yang keren. Saya lebih suka diajak ke tempat hangout local kids dibanding seperti ‘Oh look at that temple’, temple is cool but I prefer to keep it real, but I’m usually just up for whatever.”
Sampai detik ini saya bisa bernapas lega karena Mac dalam kehidupan nyata ternyata sangat ramah (dan completely sober). Namun bagaimana dengan segala rumor atas live show yang liar? “Kami hanya mencoba menjaganya tetap fun. If the kids getting crazy, then we start getting crazy. Terkadang ada saja orang yang mendorong saya berbuat gila seperti ‘Yeah, go ahead Mac, put that drum stick in your ass,’ hanya karena saya pernah melakukannya sekali,” ungkapnya sambil meneguk birnya. Apakah ia masih merasa nervous saat akan tampil di panggung? “Tergantung banyak hal. Jika kami tidak tampil untuk sementara waktu, kami akan agak nervous, jika kami tampil di panggung yang besar, atau melihat teman-teman kami di antara penonton juga bisa bikin nervous, tapi most of time I’m just ready to go,” jawabnya.
Bicara soal big stage, Mac sebetulnya telah punya cukup banyak pengalaman tampil di arena gigs sebagai aksi pembuka dalam tur Phoenix. “Secara keseluruhan saya lebih suka gigs kecil tapi festival juga bisa fun, I mean gig kecil bisa jadi aneh karena orang-orang akan berdiri sangat dekat dan mengatakan hal-hal konyol dan saya seperti ‘shut the fuck up’, tapi kalau dapat crowd yang asik, maka show-nya akan sangat menyenangkan. Di festival tidak bisa seperti itu, karena penonton berjarak 30 kaki dari panggung dan saya tampil sambil melihat belakang kepala para bouncer, haha.”

macdemarco4
Tur Asianya kali ini termasuk dalam rangka mempromosikan Salad Days, album ketiganya yang dirilis tahun lalu dan kelanjutan dari album Rock and Roll Night Club (2012) dan 2 (2012) yang mendapat respons positif dan bisa dibilang albumnya yang paling dewasa, dalam arti tertentu. Kedewasaan itu terdengar dalam single utama “Chamber of Reflection” yang mengambil melodi dari lagu synth track obscure milik komposer Jepang bernama Shigeo Sekito yang berjudul “The Word II” dan dipadukan dengan lirik tentang ritual inisiasi Freemason, di mana calon anggota harus berdiam di sebuah ruangan, memikirkan hidup yang telah mereka jalani sebelumnya dan keluar sebagai orang yang terlahir baru tanpa beban apapun. “Saya membaca tentang hal itu dan menyadari jika itu yang saya lakukan saat membuat Salad Days. Saya mengunci diri dalam kamar selama hampir sebulan untuk album ini dan I’m totally happy for it, saya tidak punya ekspektasi terlalu tinggi untuk album ini. Saya hanya lega bisa mengeluarkan album lagi, saya puas dengan hasilnya dan orang-orang menyukainya, dan saya siap untuk membuat album lagi,” ungkapnya sambil mengimbuhkan jika ia telah merekam beberapa lagu namun belum punya rencana kapan akan merilis album lagi.
So what’s his next plan? “Yang pasti saya ingin membuat album lagi, keep recording maybe… I dunno, that’s a good question. Saya belum benar-benar memikirkan apa yang ingin saya lakukan tahun ini. Mungkin saya harus melakukan sesuatu yang baru dan berbeda, I still need to figure it out,” tuntasnya sambil tersenyum lebar seperti seorang kawan lama, or basically a nice guy to hang out with, dengan atau tanpa bir.

InstagramCapture_ed637540-a9af-409d-af0f-0017aec6082aFoto panggung oleh Andandika Surasetja.

Thanks to Studiorama & Prasvana for this interview.

Amazing A, An Interview With Andien

    NYLON Indonesia

Melalui empat belas tahun dengan lima buah album, puluhan penghargaan, dan ratusan cerita, Andien tak pernah pergi dan tetap menjadi seorang biduanita muda teristimewa. But make no mistake; she keeps getting stronger than ever.

Jika harus memilih edisi NYLON apa yang selalu saya tunggu setiap tahunnya, tanpa harus berpikir pun saya akan langsung menjawab music issue as my personal favorite. Dan menginjak kali keempat NYLON Indonesia merilis music issue, our excitement bertambah karena untuk pertama kalinya kami memutuskan memakai cover lokal di edisi spesial musik ini. Well, Indonesia mungkin memiliki banyak sekali penyanyi perempuan yang cover worthy, namun menentukan yang bisa selaras dengan DNA majalah ini tentu bukan perkara mudah. Dari beberapa pilihan yang semakin mengerucut, akhirnya kami sepakat jika Andienie Aisyah Haryadi adalah sosok paling tepat untuk menjadi cover music issue tahun ini. Lewat album debut bertajuk Bisikan Hati di tahun 2000, Andien yang waktu itu masih berusia 15 tahun seketika melesat menjadi penyanyi pendatang baru terbaik dan yang lebih menakjubkan lagi adalah fakta jika ia muncul dengan image yang mature dan membawakan musik jazz, genre yang masih jarang ditempuh oleh penyanyi sebayanya ketika itu.

Always stay true to her music, empat belas tahun berikut dalam kariernya diwarnai oleh so many ups and downs. Nama Andien pun terbilang cukup adem ayem saja di ranah musik Indonesia, dalam arti ia tidak pernah benar-benar meledak gila-gilaan secara popularitas atau albumnya laris jutaan kopi, namun ketika banyak penyanyi perempuan yang bisa tiba-tiba melejit namun kemudian hilang begitu saja, Andien dengan stabil terus menghasilkan album-album berkualitas dan tetap bertahan di industri entertainment yang keras. Dalam setiap album yang ia rilis, gadis kelahiran Jakarta 25 Agustus 1985 silam ini menjelma sebagai pribadi yang senantiasa berkembang. Tak hanya soal menyanyi, Andien kini juga dikenal karena gaya hidup sehat serta statusnya sebagai salah satu style icon.
Setelah mencocokkan jadwal dengan Andien, di suatu pagi pertengahan April lalu, kami pun bertemu di studio foto daerah Kemang untuk interview dan photo shoot. Ini adalah interview kedua saya bersama Andien setelah di NYLON edisi Desember 2011 saya juga sempat mewawancarainya. Sama seperti perjumpaan pertama kami, setelah ice breaking sejenak dan bertukar kabar, saya mewawancarainya di depan meja rias ketika ia bersiap dirias dan ditata rambutnya. Bila di interview kami dua tahun lalu, Andien dengan cekatan mendandani wajahnya sendiri sebelum perform di sebuah jazz club, kali ini ia memilih duduk manis untuk dirias oleh penata rias dari tim Jed Root Filipina dan penata rambut andalannya. Sebelum menjawab pertanyaan pertama saya mengenai kesibukannya saat ini, ia meminta pendapat apakah rambut bob pendeknya akan terlihat bagus jika ditata wet look dengan gaya ikal ke belakang. We all agree, it will look good on her. Salah satu fakta yang menurut saya unik dari Andien adalah ia terbiasa bertanggung jawab penuh pada image dirinya sendiri sebagai public figure. Ia tak pernah punya personal stylist dan terbiasa memakai makeup sendiri sebelum perform. “Gue nggak pernah belajar yang serius, kaya makeup school gitu, karena mungkin dari dulu gue terbiasa ngeliat caranya karena sering di-makeup orang-orang, menurut gue naluriah ya perempuan pasti ada sisi seninya untuk mendandani diri sendiri, jadi gue tinggal kaya berkreasi aja,” ujarnya sambil tersenyum.

Andien3
Sembari membiarkan wajahnya mulai dirias, Andien lantas bercerita tentang kesibukannya saat ini yang masih dipenuhi undangan nyanyi dan menyiapkan album baru, kabar yang cukup mengejutkan, mengingat baru tahun lalu ia merilis album kelima dengan judul #Andien. “Iya nih gue ngejar target soalnya sebentar lagi udah umur 30, kayanya pengen bikin album ini album itu. Sebenarnya bukan momok juga sih umur 30 tahun, cuma kayanya, once udah di usia itu, kemudian planning-nya kan banyak tuh, kaya harus nikah, harus segala macem, pastinya ada sesuatu yang akan berubah dari gue, pastinya akan lebih dewasa, punya image yang lebih mature,” jelasnya. Ia menargetkan album keenam itu untuk selesai akhir tahun ini dan dengan senang hati membocorkan beberapa hal tentang album ini. “Ada 10 lagu, tadi rencananya lagu cover semua dari lagu-lagu Indonesia era 90’s karena konsepnya tadinya Andien Sings Indonesian 90’s. Kita udah nyusun list tapi belakangan kaya Mbak Melly (Goeslaw) bikinin lagu baru bagus banget dan gue pikir sayang aja kalau nggak dimasukkin. Jadi, mungkin bakal ada dua atau tiga lagu baru, sisanya lagu cover.”

Menyanyikan ulang sebuah lagu dengan sentuhan sendiri tentu bukan hal baru bagi Andien. Di akun Soundcloud miliknya pun, kamu bisa mendengar rekaman live saat dia membawakan lagu-lagu dari Janet Jackson, Foster the People, hingga Daft Punk. Tapi yang terasa spesial di album baru ini adalah ia akan menyanyikan lagu-lagu dalam negeri favoritnya. Apa saja? “Gue suka banget lagunya Iwa K, ‘Selama mentari bersinar, hari-hari sepi tanpa dirimu,’” nyanyinya spontan dengan agak nge-rap sebelum melanjutkan, “Haha itu satu. Terus semua lagunya Slank, khususnya lagu ‘Terbunuh Sepi’ yang gue cinta banget lagu itu, lagunya Naif yang ‘Mobil Balap’, terus lagunya Dewa. Sebenarnya gue suka banget lagunya Ahmad Band yang ‘Sudah’ tapi ternyata nggak boleh di-cover karena Mas Dhani udah cover lagu itu untuk dibawain lagi. Itu keren banget, terus lagunya Oppie Andaresta ‘Ingat-Ingat Pesan Mama’, Rida Sita Dewi, ‘Kiranya’ Protonema, Sheila on 7, aduh banyak banget deh!” ungkapnya antusias.
Sama seperti dua album terakhir, album terbaru ini juga akan diproduseri oleh bandnya sendiri yang dipimpin oleh Nikita Dompas. “Dua album terakhir sangat berkesan buat gue karena jarang banget ada penyanyi yang albumnya diproduseri oleh anak-anak bandnya sendiri. Waktu pertama kali gue bawa band sendiri, itu belum ada penyanyi perempuan di sini yang punya band sendiri, yang bawa band sendiri biasanya penyanyi cowok kaya Glenn atau Rio Febrian. Jadi gue berusaha banget ngedepankan band gue dan musik gue karena kalau tanpa band gue, musik gue nggak bakal tergambarkan di panggung dan orang nggak bakal liat message gue,” imbuhnya.

Sehari sebelumnya ia baru pulang dari Kuching, Malaysia untuk undangan menyanyi. Bukan kabar baru sebetulnya bila kamu termasuk dari 156 ribu follower di Instagramnya di mana ia sempat posting beberapa foto dirinya yang sedang berjalan-jalan di kota itu. “Iya, gue selalu menyempatkan diri untuk sightseeing gitu, nggak usah di luar negeri, di luar kota juga sama sih sebenarnya kecuali kalau yang udah sering didatengin, gue selalu ngeliat kayanya itu kesempatan untuk eksplor. Kalau kaya Kuching kemarin gue seneng banget, karena gue pikir tadinya daerahnya kaya terbelakang gitu, terus gue ngobrol sama orang di pesawat yang bilang kalau Kuching itu developing city banget, mungkin kalau di Indonesia kaya Bandung. Terus pas landing, emang bagus banget dan lucu gitu kotanya, nggak ada gedung tinggi, semua vintage buliding yang dijaga sama pemerintahnya, jadi semua restoran atau hotel dari vintage building gitu, ada gaya Cina, Melayu, Timur Tengah. Dan ternyata orang-orang di sana juga nggak Melayu konservatif, orang-orangnya pake bajunya Supreme atau apa gitu, terus gue nanya, mereka kalau belanja di mana? Mereka jawab online shop, hmm… okay… haha,” ceritanya sambil tertawa.
Setelah menyesap air mineral, Andien pun melanjutkan ceritanya dengan nada excited khasnya. “Nggak semua orang punya pekerjaan yang bisa menggabungkan sisi pekerjaannya dengan pleasure, leisure, dan hobinya. Gue punya kesempatan itu, jadi gue pasti selalu gue manfaatin untuk eksplor tempat yang wajib dilihat,” ceritanya sambil tersenyum. Ucapannya tersebut mengingatkan saya saat tahun lalu ia diundang menghadiri New York Fashion Week setelah sebelumnya meraih gelar sebagai The Most Stylish Celebrity of the Year dari Fashion Nation. Tak hanya menghadiri beberapa fashion show, Andien juga membuat video untuk single “Teristimewa” yang memperlihatkan dirinya strolling around the Big Apple dalam balutan batik rancangan Edward Hutabarat yang sangat chic.

Andien4
Gelar the most stylish celebrity sendiri jatuh padanya bukan tanpa alasan. Di social media, Andien kerap mengunggah foto gaya pakaiannya yang memang keren. Di atas panggung, Andien terlihat glamor dengan headpiece dan gaya Roaring Twenties, sementara sehari-hari ia terlihat stylish dengan memadukan label luar negeri dan label lokal yang kebanyakan adalah rancangan teman-teman Andien sendiri. “Dari SMP kali ya?” jawabnya ketika ditanya kapan ia mulai tertarik fashion. “Dulu gue punya butik namanya Debut Pret a Porter, waktu itu gue udah agak melek sama fashion, tapi dulu gue lebih sering dibilang aneh sih daripada keren, soalnya gue sangat look up ke majalah-majalah Jepang kaya Nonno gitu. Jadi misal gue bisa pake eyeliner putih atau ijo, tapi makin ke sini makin terekspos mungkin karena social media aja. Dulu-dulu gue nggak berkesempatan foto baju-bajunya. Justru sekarang gue jauh lebih mainstream dibanding dulu, karena dulu apalagi waktu kuliah gue sangat menikmati pake baju ini baju itu, bisa ngarang sebebas-bebasnya,” ungkapnya.
Meskipun sering dibilang stylish, Andien mengaku soal personal style sebenarnya ia sangat cuek dan memakai yang menurutnya nyaman saja. Hari itu ia datang dengan memakai tank top hitam, jeans, dan sneakers yang terlihat effortlessly cool di badannya yang tergolong mungil namun terlihat kencang dan sehat. Selain musik dan fashion, topik lain yang akan memancing Andien untuk bercerita panjang lebar dengan antusias adalah soal menjaga kebugaran tubuh. Morning routine seorang Andien dimulai dengan olahraga, minum manukah honey dan makan buah untuk menjaga kekebalan tubuh. Ia mengaku tak pernah diet dan tubuh ramping sehatnya murni hasil banyak olahraga yang ia geluti.

Sebelum melanjutkan cerita, ia minta izin sejenak untuk membalas teks yang masuk di iPhone-nya. Dengan sigap dan penuh konsentrasi ia menekan-nekan touchscreen selama beberapa menit sambil menjelaskan jika ia sedang meminta bantuan untuk mencari kado. Setelah kurang lebih 3 menit berkutat dengan iPhone, ia meletakkan iPhone dan dengan tersenyum menatap saya lagi dan mulai menyebutkan list olahraga yang sedang ia jalani. “Gym, pilates, Muay Thai terus ada freeletics juga, banyak banget olahraga gue. Karena badan kita nggak bisa ngelakuin satu olahraga constantly, misalnya lo suka pilates terus lo pilates dengan gerakan yang sama selama berapa tahun itu nggak mungkin karena badan kita adaptasi sama gerakan. Bisa jadi badan lo keren dalam tiga bulan pertama, tapi di bulan keempat gerakan itu nggak ada pengaruhnya ke badan lo terus lo mikir ‘Kok sama aja ya?’ Justru itu badan lo udah adaptasi, jadi harus coba yang lain lagi,” jelasnya.
Recently gue bikin gym, namanya 20 Fit di Cipete dan gym ini bentuknya micro gym, cuma ada dua alat namanya miha. Miha itu electro muscular stimulation. Gue recently lagi pake itu terus karena keren banget alatnya, mau liat nggak?” tawarnya sebelum memperlihatkan video di iPhone-nya yang memperlihatkan dirinya sedang melakukan gerakan work out dalam balutan body suit hitam dengan beberapa kabel yang tersambung dengan sebuah mesin. It looks hi-tech dan belum pernah saya lihat sebelumnya.

Andien2
Dengan semangat Andien lantas menjelaskan pada saya apa itu miha yang merupakan sebuah teknologi muscle stimulator asal Jerman yang memberi rangsangan elektrik di tubuh kita. “Awalnya gue nyobain miha punya temen gue yang beli di Jerman dan pas gue cobain, gue kaya ‘wow, magic!’ soalnya alat ini cuma boleh dipakai latihan 20 menit, katanya twenty minutes itu equals with two hours, jadi nggak boleh lebih dari 20 menit. Waktu itu gue pikir, ‘ah nggak mungkin,’ gue udah sering olahraga, bisa kali sampai 40 menit, tapi baru lima menit pertama aja itu rasanya kaya Muay Thai 2 jam! Wah oke banget nih. Di Jakarta belum ada yang punya gym-nya. Mengingat ini olahraganya keren banget menurut gue, banyak yang bilang ini shortcut, tapi menurut gue bukan shortcut karena waktunya aja sebentar, tapi pas olahraganya capek banget kaya lo abis nge-gym campur Muay Thai. The good thing is semuanya rata, kalau lo nge-gym misalnya angkat berat pasti entah bagian kiri sama kanan lo ada yang lebih kuat, akhirnya hasil ototnya juga nggak simetris. Tapi kalau di miha ini kan dipakainya rata di badan kita, jadi hasilnya juga bagus banget,” ujarnya tanpa bermaksud promosi.
“Gue pikir gue harus punya usaha lain di luar nyanyi, banyak orang mengharapkan gue bikin fashion line atau apa, cuma menurut gue yang lebih berguna buat orang ya yang ada hubungannya sama olahraga, dulu gue pengen bikin tempat pilates tapi waktu itu masih keribetan mikir space-nya segala macem, tapi karena miha ini cuma butuh space yang lebih kecil dan udah lebih jelas jadi gue buka ini dulu. Alatnya emang bakal cuma dua, karena alat ini nggak bisa dipake sendiri, harus ada trainer-nya dan sesi one on one gitu dan cuma 20 menit. Gue sih udah ngajak banyak orang kaya Raisa atau Luna (Maya) udah cobain. Raisa malah udah jadi member, hehe,” tandasnya.

Melihat Andien dengan gayanya yang segar dan aura yang youthful, rasanya lumayan sulit percaya jika tahun ini Andien akan menginjak usia 29 tahun. Masih jelas dalam ingatan ketika Andien pertama kali muncul di layar kaca lewat video klip “My Funny Valentine” di mana ia mengenakan lipstick dan tube dress yang terlihat sangat matang untuk anak umur 15 tahun. Berbeda dari sindrom artis cilik yang kesulitan mengubah image saat mereka beranjak dewasa, Andien justru makin ke sini makin terlihat muda. “Karena makin ke sini makin tua, jadi gue harus terlihat makin muda, haha!” cetusnya santai. Bukan hal mudah untuk bertahan selama lebih dari satu dekade dalam industri hiburan yang terobsesi pada sesuatu yang baru. Dari sekian banyak promising talents yang muncul di dekade lalu, Andien menjadi salah satu dari segelintir yang masih bertahan. Ia jelas merasa sangat bersyukur akan hal tersebut, walaupun dengan rendah hati ia mengaku hanya menjalani semampunya saja.
“Nggak tau, sumpah gue nggak punya rumusnya, gue nggak punya formulanya, gue udah ngalamin titik paling nol di karier gue, sampai yang kayanya gue udah di tengah jalan tapi gue jatuh sejatuh-jatuhnya, dimusuhin semua orang, dimusuhin semua band player sampai akhirnya gue bangkit lagi. Itu hari-hari yang berat, tapi sampai bisa bangkit lagi kalau bukan karena Tuhan, itu nonsense menurut gue. Aduh gue nggak ngerti sih, tapi sampai detik ini beberapa tahun terakhir, apa ya gue ngeliat kerja tim gue bener-bener maksimal, dari manajer, tim manajemen, dan akhirnya gue pun masih bisa bertahan sampai sekarang. Bayangin aja, gila lo, dulu gue dipasangin nyanyinya sama Syaharani terus sampai sekarang sama yang seangkatan Raisa, buat gue sendiri gue udah kaya Highlander banget nggak sih? Haha,” ujarnya.

Titik terendah dalam kariernya merujuk pada sebuah kasus yang cukup heboh di infotainment sekitar tahun 2008 lalu. “Gue dulu pernah pacaran sama, seorang cowok yang akhirnya jadi manajer gue, kalau lo pernah denger kasusnya yang semua uang gue diambil dan gue dimusuhi sama semua event organizer, gue dimusuhin semua player dan tim manajemen gue keluar semua nggak ada satu pun, itu gue untuk bangkitnya lagi dengan duit yang nol dari yang gue kumpulin dari awal gue nyanyi sampai detik itu, gue nggak minta bantuan nyokap bokap sama sekali. Gue nelponin EO satu-satu minta maaf ngejelasin kalau itu kerjaannya mantan gue. Itu worst banget rasanya tau nggak? Gue udah pernah nyanyi di acara-acara bergengsi tapi tiba-tiba gue harus mau ikutan acara-acara kaya reality show, kaya… gue inget banget waktu itu sebenernya gue nangis banget dalam hati cuma kalau gue nggak ngambil hati orang TV gue bakal susah lagi untuk ngebangun link sama mereka,” ungkapnya serius. Kejadian itu mungkin sudah berapa tahun berlalu, namun masih ada kegetiran yang terasa saat ia melanjutkan ceritanya dengan pelan. “Jadi kaya ada reality show di mana gue harus pura-pura jadi pengamen di metro mini, syutingnya di Pulo Gadung jam setengah 6 sore yang lagi rame-ramenya. Karena itu reality show, kameranya candid disembunyiin di tas jadi gue kaya bener-bener sendirian jadi pengamen pake celana pendek di metro mini. Itu gue nangisnya gila-gilaan sebenernya, karena gue inget di titik itu setahun sebelumnya gue masih nyanyi di acara Tiga Diva, nggak nyangka aja setahun kemudian bisa kaya gitu keadaannya,” imbuhnya.

Jelas tidak semudah membalik telapak tangan untuk mengembalikan reputasi yang sudah tercoreng, namun dengan kegigihan dan passion yang ia punya, Andien bisa struggling dan bangkit membangun kariernya kembali. “Itu berjalan sangat natural buat gue, gue akuin sih gue nggak pernah ‘jeder!’ kaya Agnes Monica segala macem, tapi emang penggemar gue mungkin setia ada di situ. Nggak ada banyak juga yang tau cerita gue, kaya cerita yang tadi nih, itu gue baru cerita ke elo aja, gue belom pernah cerita ke media mana pun sebenernya. Gue bersyukur karena orang-orang ngeliat usaha gue, gue minta maaf ke band player yang udah nge-blacklist gue, kan dikira gue semua yang bawa kabur uang, gue menjalin hubungan baik sama orang, manajer gue balik lagi, terus semua orang bisa berbaik hati lagi… They put their trust on me, itu yang harus gue keep sampai sekarang.”
Toxic relationship di masa lalu untungnya tak membuatnya patah semangat dalam menjalin hubungan khusus dengan pria. Senyum sumringah terpancar di wajahnya ketika berbicara soal relationship yang sudah dijalaninya selama satu setengah tahun terakhir dengan low profile.“Iya karena dulu gue kebiasaan ekspos di media nggak taunya putus, karena nggak ada enak-enaknya sebenernya terekspos di media, too much pressure. Sekarang gue juga udah di titik yang nggak menggebu-gebu, gue pengen nikah udah dari umur 24 tahun, tapi dulu kaya suka nanti kita nikah kaya gini ya, kaya gitu… Terus putus. Cuma sekarang gue udah dalam relationship di mana gue sayang sama dia, dia sayang sama gue, dia juga umurnya udah 38 tahun sekarang. Jadi kayanya gue nggak harus mikirin, dia yang harus mikirin karena udah mau 40 tahun, haha! Jadi gue udah lebih santai aja.”

Menikah mungkin bukan menjadi top priority Andien tahun ini, karena selain album keenam dan gym, Andien masih memiliki banyak project yang akan ia lakukan. Salah satunya adalah launching toko baru dari curated lifestyle shop bernama Cave and Cove di Bali yang ia gagas bersama temannya. Yang jelas, Andien sedang menikmati hari-hari yang ia jalani sekarang. “Filosofi hidup… Just enjoy your life, kalau gue sebenernya sekarang berusaha mempersembahkan apa yang terbaik yang bisa gue lakukan buat gue, buat orang-orang sekitar gue, buat hidup gue pokoknya. Jadi lo nggak perlu mikir panjang mikirin result-nya bakal seperti apa hari ini, besok, dua minggu lagi, empat minggu lagi, pokoknya lo lakukan yang terbaik untuk segala hal yang lo lakuin karena dulu gue kebiasaan banget, ‘Ndien gini’, terus gue kaya ‘nanti gue dapet apa? Gimana? Atau bisa ini gak gue?’ gue selalu ngeliat kedepannya. Tapi sekarang untuk urusan apapun gue kaya berusaha maksimal dulu aja. Dan itu bukan hal yang gampang, tapi kalau bukan karena pengalaman, agak susah ngelakuin hal itu, itu berlaku buat apapun ya buat karier, pacaran, keluarga, atau gym, diet, jadi kaya gitu-gitu, jadi banyak banget orang yang kaya ‘ya udah deh gue mau diet tapi dua minggu lagi gue bisa gini nggak ya?’ jadi lo nggak perlu nimbang badan setiap hari, kalau lo melakukan yang terbaik yang bisa lo lakuin dulu aja,” simpulnya dengan senyuman hangat.

Andien1Fotografi oleh: Mark Nicdao of At East Jed Root.

Stylist: Patricia Annash.

Makeup Artist: Xeng Zulueta of At East Jed Root.

Hairstylist: Cats Del Rosario of At East Jed Root

As published in NYLON Indonesia May 2014

And All That Jess, An Interview With Jessie Setiono

Jessie Setiono

Jessie Setiono meredefinisi arti brain, beauty, behavior dengan cara yang effortless dan tanpa pretensi apapun.

Due to increasing tendency of insomnia, saya sejujurnya lupa kapan terakhir kali bangun sebelum jarum jam menyentuh angka delapan pagi, except when I have important appointment of course. Hari Rabu di akhir bulan Juni lalu menjadi salah satu pengecualian tersebut. It’s not even eight o’clock yet, namun saya sudah di jalan menuju daerah Pondok Indah untuk sesi pemotretan dan interview cover edisi ini. I must admit though, it was nice to feel the morning sun again, dan cahaya matahari memang menjadi alasan utama pemotretan harus dilakukan sepagi ini. Begitu tiba di sebuah rumah yang dituju, saya dan fashion editor Anindya Devy langsung disambut hangat oleh sang pemilik rumah, the lady of this chic house, Jessie Setiono herself. Dengan senyuman manis, ia mengajak kami masuk dan langsung ke lantai atas, tepatnya ke sebuah ruang kerja yang dipenuhi berbagai buku dengan topik hukum dan balkon yang menghadap kolam renang.

As one of the Indonesian top models, wajah Jessie memang sama sekali tidak asing bagi siapapun yang tertarik atau berkecimpung di dunia mode. Wajahnya muncul dalam berbagai cover dan fashion spread di semua majalah fashion ternama sama seringnya dengan sosoknya berjalan di atas runway desainer papan atas Indonesia. Kami telah saling follow di Instagram, but it’s actually our first time to meet each other. Pagi itu wajahnya terlihat segar walau tanpa riasan apapun, ia mengikat rambutnya menjadi ponytail dan memakai jersey hitam-putih serta matching pants, she looks as fresh as morning dew. Kasual dan bersemangat, the real life Jessie ternyata lumayan berbeda dari image yang saya tangkap dalam foto-foto spread yang umumnya menegaskan sisi elegan dan refined dari dirinya. With high cheekbones, feline eyes, dan preferensinya berbicara dalam Bahasa Inggris, saya selalu menyangka model berumur 26 tahun ini memiliki darah Kaukasia dalam dirinya. Satu hal yang ditepisnya halus. “Saya Chinese-Indonesian, that’s an Asian me, I look very Asian in that picture, right?” ujarnya sambil menunjuk sebuah foto berpigura di atas meja kerjanya yang menampilkan Jessie kecil dan kedua orangtuanya. “But as I grew up, I have no idea why I just turn into crazy mixture of Asian and Caucasian,” sambungnya seraya tersenyum.

Ketika semua tim sudah tiba, kami pun segera bersiap. Pemotretan kali ini berkonsep natural lighting, jadi kami harus agak bergegas sebelum matahari terlalu terik atau malah mendung. Jessie memekik gemas melihat baju-baju dengan desain fun dari This Is A Love Song dan Alex[a]lexa. Sambil memasang lagu-lagu dari Banks yang merupakan penyanyi favoritnya saat ini, ia membiarkan wajahnya dirias dengan makeup ringan. We want to keep everything as natural and relaxed as possible. Melakukan photo shoot di rumahnya sendiri, Jessie terlihat sangat nyaman. Frame demi frame ditangkap oleh fotografer Dylan Sada tanpa kesulitan berarti. Matahari yang terus beranjak naik membuat udara semakin panas, namun Jessie tanpa mengeluh terus bermain hide and seek dengan bayangan dan cahaya, walau ketika akhirnya pemotretan dirampungkan, wajahnya terlihat agak memerah dan dengan senang hati menyetujui permintaan saya untuk interview sambil makan siang di ruang kerjanya yang nyaman.

jess1
Tepat seminggu sebelumnya ia baru saja mengikuti graduation ceremony dan mendapat gelar Master in International Trade, Investment and Competition Law dari Universitas Pelita Harapan. Terjawab sudah jika koleksi buku hukum di ruangan ini memang miliknya. It’s not her first academical achievement, obviously. Sebelumnya ia juga telah menyandang gelar Bachelor of Business Law dari universitas yang sama dan Bachelor of Commerce dari Curtin University di Perth, kota tempatnya beranjak dewasa sejak berumur 10 tahun, where she still consider as her home town. Semasa di Perth ia menjalani kehidupan senormal anak lainnya yang naik bus ke universitas, bekerja part-time dan hang out bersama teman saat weekend. Karier modelingnya sendiri bermula dari gagasan sang ayah yang menginginkan Jessie yang cuek dan agak tomboy agar lebih feminin dengan mendaftarkannya masuk ke sebuah sekolah model. The modeling school saw potentials in her dan mulai memberikan beberapa pekerjaan modeling, dan karier Jessie pun beranjak dengan mulus. Tak hanya di dalam negeri, tapi juga di regional Asia seperti Bangkok, Hong Kong, Singapura, dan lainnya.
Ia masih mengingat jelas saat-saat awal terjun di dunia modeling tersebut. “Waktu mulai modeling, yang ditekankan adalah ‘a girl has to be very glamorous, you must stand up straight, you can’t slouch, you have to wear nice heels, nice dresses,’ it was so hard for me. Sampai sekarang saya masih merasa jauh dari image glamorous looking girl, I’m very casual and relax… to me it does add character,” ungkapnya. Jessie pun mengaku senang dengan konsep pemotretan kali ini yang lebih laid back dari yang biasa ia lakukan. “I think Nylon is one of my favorite magazines, because its very me, I’m very casual person. People say I slouch, and I do slouch, not because I’m not confident person but it’s just the way I am. Saat berbicara dengan orang lain, when I’m talking with someone like you, I want them to feel relaxed too, I don’t have to be uptight,” ujarnya sambil berpura-pura menegakkan duduknya dan menyilangkan tangannya di atas meja yang membuat kami berdua tertawa.

I like modeling. I really like modeling very much because it has giving me opportunities to travel and meet talented people, tapi modeling juga punya tantangannya sendiri. People think it’s easy, all you have to do is just have pretty face, tapi mereka nggak tau hal yang harus kita hadapi sebagai model. We all have to go through a lot of rejections. They never thought how those rejections could impact our self-confidence or ego. Menjadi model juga dihadapkan dengan standar tertentu orang selalu mengharapkan model untuk skinny, tall, and they scrutinize you up close and personal like ‘your eyes are wide apart’, ‘your hair is too short’, ‘you’re slouching’, things like that… but I personally find beauty in imperfection, so yeah, that’s just my two cents,” ujar Jessie. “So what’s your imperfection?” Tembak saya langsung. “I have many imperfections, there’s a lot that I can’t mention, but I think my imperfections define who I am. For example I think I’m very anxious person, I have to keep on moving, but I think it’s just definition of me and i embrace that. I embrace all my imperfections,” jawabnya santai.

Modeling mungkin lebih seperti satu hal dalam dirinya yang muncul secara natural dalam dirinya, namun Jessie menyimpan passion lain yang lebih besar untuk hidupnya. The law itself. “Saya selalu menyukai tantangan yang dihadapi lawyer. But I think law’s changes one’s perspective about life, mengajarkan orang untuk berpikir lebih filosofis dan dalam. Why does the law exist, what’s the impact for the society, I think law is also the way that you can help the society. And I always want to help people. Maybe through law, one day I could make a change. I would eventually use my degree as a lawyer,” terang Jessie tentang pilihan akademisnya.

jess2
Untuk siapapun yang besar di akhir tahun 90-an pasti pernah mengenal serial Ally McBeal yang menceritakan sosok pengacara cantik yang diperankan oleh Calista Flockhart. Saat disinggung tentang itu, ia meresponsnya dengan tawa. “I don’t know why people associates me with Ally McBeal, but she’s pretty hot! Haha. But no, she didn’t inspire me. There’s such a cliché about being a model and do lawyer, like people ask ‘what are you trying to do? Are you trying to prove yourself?’ I was like, ‘No, I’m not trying to prove myself, it’s a self-accomplishment, it’s just something that I always passionate about, even before I start modeling. I want this career path,” ungkapnya. “My parents are very westernized, mereka selalu mengajari saya untuk punya ambisi dan goal dalam hidup. They do think that as women we shouldn’t just being comfortable in our comfort zone, we have to keep improving ourselves, bagaimana membuat kita menjadi pribadi yang lebih baik dan berguna untuk orang lain instead of just living comfortably, married and having kids, you know? It’s a standard of what women should do, but women could do more than just stay at home,” ucap Jessie menyoal upbringing yang ia dapat dari keluarganya.

Talk about the marriage itself, Jessie sendiri telah menikah sejak berumur 22 tahun dengan Christian Rijanto, the entrepreneur mogul di balik Ismaya Group yang merupakan figur penting dalam perkembangan gaya hidup urban Indonesia selama satu dekade terakhir ini. Dalam pernikahan yang telah berjalan selama 4 tahun ini, Jessie mengaku tak ada perubahan drastis dalam dirinya. “I’m still do the things that I do before I got married, I go travel, I go out, pursuing my own career and things. The good thing is that Christian… He’s not at all obstructive. Dia tidak menghalangi saya melakukan apa yang saya inginkan, that’s what I like about Christian,” simpulnya.

Membagi waktu antara karier modeling, marriage life, dan mengejar gelar akademis, Jessie memilih traveling sebagai resep anti stress. Saya pun bertanya, tipe traveler seperti apa dirinya. “I’m a light traveler, I do my research before I travel, I need to know where to shop, to eat or go for party, bars. Tapi tergantung dengan siapa perginya, kalau bersama teman-teman, I like to go to the cities, but if I’m traveling on my own or with my significant others, with my husband, I like to go to more relaxed places like mountain or island. Ia bercerita tentang kunjungannya ke Bhutan yang masih meninggalkan kesan manis baginya. “Bhutan is like amazing, its full of culture, everything there is so simple and down to earth,” kenangnya. Dengan alasan yang sama, ia memilih Jogjakarta sebagai destinasi domestik favoritnya. “I like Jogjakarta, its beautiful and very cultural. Bali is also nice, but these days Bali is a little too crowded, but its still very nice quick weekend escape,” imbuhnya. Saat ditanya tentang destinasi selanjutnya, tanpa berpikir lama Jessie menyebut kawasan Australia. “Last time we went to New Zealand for bungee jumping, I’m a thrill-seeker and adrenaline junkie. Next I want to do skydiving, or rock climbing… Uhm not rock climbing, but mountain biking,” ujarnya sambil tertawa.
In term of next goal and future plan, dengan gelar dalam bidang bisnis dan hukum serta suami yang memiliki kerajaan bisnisnya sendiri, orang mungkin menyangka cepat atau lambat Jessie akan bergabung dalam Ismaya. Namun dengan tegas ia mengungkapkan keinginannya untuk membangun kariernya sendiri, walau untuk saat ini ia ingin memanfaatkan waktunya to simply step back and enjoy life. “You know what? I’ve been in school for such a long time that I feel like after I finish my degree, I’m planning to just take a break and maximize my modeling career before I become corporate slave, haha,“ serunya antusias sebelum menambahkan, “But of course I eventually want to have my own business or law firm, but for now I like what I’m doing now. Modeling, traveling… It’s definitely a luxury that I don’t get to have for a very long time.”

jess3

Photography by Dylan Sada

Styling by Anindya Devy

Make-up & Hairdo by Ryan Ogilvy

As published in NYLON Indonesia June-July 2014

On The Records: Francis Lung

FrancisLung
In an era when bands have moments rather than life-long careers, it’s seems easier to dub some new band as your “favorite band of the day” or “the next big thing” tags on your social media apps and just go with the flow like the rest of blogosphere and enjoy the hype surrounding the new band. And prepare your heart for the eventual break up after one, two LPs or even a handful of singles and EP. WU LYF (World Unite Lucifer Youth Foundation), the four-piece from Manchester England is one of those bands that decides to break up after releasing one awesome album that better than most music out there. It takes only one year after the critically acclaimed  debut album Tell Fire to the Mountain been released on 2011 for the band to called it quits. Its not a full stop for the former members, though. Ellery James Roberts the vocalist has been releasing some singles with his guttural and raw voices that’s not that far from WU LYF original materials while drummer Joe Manning and guitarist Evans Kati reunited with bassist Tom McClung last year to create the pop-centric trio Los Porcos. Not long after that, McClung emerging as solo artist under Francis Lung moniker and releasing indie rock singles like “Age Limits”, “A Selfish Man”, and “Tsunami Blues” that’s quite different with his former works. The songs are dancey and infectious with pop sensibilities amidst the darker lyrics like natural disasters and loneliness. Now, the singer-songwriter ready for his own path.
Hello Tom, how are you? Where are you right now and what were you doing before answering this email?
I’m really good thanks, I’m in my flat in Manchester and I was just restringing my acoustic with D’addario 13 gauge phosphor bronze series strings. do I get an endorsement now?
I just wonder if people usually call you Tom or Francis nowadays? What’s the story behind the moniker?
People usually call me Tom, or Lung, maybe even Francis for a joke. Francis is my confirmation name (Catholic). I needed a name for the new project I was starting, so I thought I’d work with what I already had.
When I’m listening to your songs, I can’t help but think they’re sounds very different than WU LYF’s songs. Do you think you kinda held back you own musicality before?  And what’s going solo means for you personally and creatively?
I don’t think I held back my own musicality in the band, I only learnt more about it. I learnt a lot about playing less, about so called ‘economy of notes’, and how to rock. just because somebody finds themselves behind a bass one day doesn’t mean their musicality is compromised, just altered. I guess now I’m ‘solo’ I am free to play more instruments and pursue my own musical ambitions, but the ethos is the same. using your notes and words to best effect.
Looking back, WU LYF gains some big recognition, but how you do really feel about that?
I’m really grateful and honoured that people feel like we made something worthwhile.
What were you doing after you guys decide to break up? How’s the relationship towards your former band mates?
What was I doing? Apart from drugs? Only joking. I guess after we split I had to reassess things in my life. A huge part of that was deciding to pursue my solo project full time and to finish recording a batch of songs I had never got around to finishing. my relationship with my friends is different, but its not bad. Its certainly better than it was.
Well, enough talking about yesterday. Please share some stories about your upcoming records, what’s the main theme of it?
I’m gonna be releasing the first volume of a collection of music entitled “Faeher’s Son” this spring, hopefully. The story is; I recorded these songs by myself in my bedroom and tried to get signed. the plot is ongoing and I don’t know how it will end. Themes include – frustration, desperation, fear, dissatisfaction and stale smoke.
Who are some singer songwriters that really influence your works?
Paul Westerberg, Alex Chilton, Stephin Merritt, Neil Young, Cass McCombs and Neil McClung.
You said you want to continue as one-man band, and recently you’re supporting Kishi Bashi who pretty much doing anything himself, how was it?
He’s certainly a unique performer.
“A Selfish Man” and “Tsunami Blues” were telling about tsunami disaster, what inspires you to write songs about it?
I wanted to tell a story within a song that wasn’t based on anything I’d experienced before. It originally was about some god-like force destroying the earth in a ’10 plagues’ sort of way. Then I thought if it could be relatable to something recent that happened, like the tsunami, it could become relatable.
What’s next from you?
A shiny black Fender Stratocaster.

Triple Threats, An interview With Tim Matindas

Cerita seorang vokalis yang kemudian mencoba berakting di film mungkin terdengar sama klisenya dengan cerita ditawari main film setelah mengantar teman ikutan casting. Well, kedua cerita tersebut memang dialami oleh Timothy Jorma Matindas yang dikenal sebagai vokalis band indie rock Jakarta via Vancouver bernama Roman Foot Soldiers (RFS). Untungnya, tak ada yang klise pada karier barunya sebagai seorang aktor.

            Tim, demikian pria kelahiran Jakarta 27 tahun lalu ini akrab disapa, pertama kali berakting dalam short movie berjudul The Kiosk yang tergabung dalam omnibus Sinema Purnama tahun lalu. Tak disangka, peran pertama tersebut membuahkannya gelar Best Actor dalam kategori omnibus di Piala Maya 2012. Sebuah awal yang manis bagi pria yang mengaku belum pernah akting sama sekali. Di akhir tahun ini, Tim kembali mendapat peran utama dalam film Toilet Blues garapan Dirmawan Hatta. Dalam road movie bergenre arthouse ini, ia berperan sebagai Anggalih, seorang calon pastor muda yang bersama sahabat masa kecil dan cinta platoniknya Anjani (Shirley Anggraini) mengadakan perjalanan dengan kereta dari Jakarta menuju Jawa Tengah. Di jalan, mereka dihadapkan pada banyak perdebatan dan godaan yang akan menentukan arah hidup keduanya. Turut dibintangi oleh Tio Pakusadewo, film ini dipenuhi simbol dan alegori Katolik yang terinspirasi oleh puisi Nyanyian Angsa karya W.S Rendra dan film The Last Temptation of Chris karya Martin Scorsese. Uniknya, baik sutradara maupun Tim sendiri sebetulnya bukan beragama Katolik. “Itu yang susah, Anggalih ini pengen jadi pastor tapi gue sendiri Muslim kan. Jadi pada awalnya gue nggak terlalu ngerti, gue harus research dulu, baca, ngobrol sama beberapa pastor di Jakarta. Gue nggak pernah serelijius itu sih, tapi menarik aja karena adegan simbolisnya memang bagus untuk film ini secara visual supaya message tertentu disampaikannya nggak harus lewat dialog. Seperti adegan membasuh kaki, terus adegan yang ditampar pipi kiri dikasih pipi kanan,” ungkap Tim tentang peran ini.

            Toilet Blues pertama kali diputar di Indonesia pada ajang JiFFest bulan lalu, namun sebelumnya film ini telah lebih dulu berjaya di sirkuit festival film di luar negeri. Menjadi satu-satunya film Indonesia dari 12 film dalam kategori New Currents pada Busan International Film Festival 2013, film ini lantas menarik perhatian festival film di negara-negara lain, mulai dari Mumbai, Goa, Kamboja, hingga Göteborg International Film Festival di Swedia bulan Januari nanti. Tampil di film kelas festival seperti ini, apakah sekarang Tim telah nyaman menyandang titel aktor? “Belum kali ya, gue masih ingin lebih dikenal sebagai vokalis RFS sih dibanding aktor. Sekarang juga lagi belajar banget, aktingnya juga masih otodidak, ke sananya gue pengen lebih dalemin lagi kalau bisa,” tukas Tim yang akan ikut berperan dalam sebuah drama romantis berjudul The Right One garapan Stephen Odang yang akan dirilis pada hari Valentine nanti.

            Bisa jadi, omongan tadi adalah upayanya untuk merendah, karena jelas saat berbicara tentang film matanya membinarkan passion yang kuat pada bidang ini. “Sekarang ini waktu yang bagus untuk kinda revolution sedikit. Karena The Raid kemarin meledaknya kaya gitu, its open a lot of door. Bikin investor lebih berani dan kasih liat ke orang kalau Indonesia capable juga kok bikin film kaya gini. Sekarang mungkin karena ngeliat kaya gitu, filmmaker Indonesia udah mulai mikir ke arah situ kali ya?” ujarnya.

            Tak hanya tampil di depan kamera, saat ini Tim justru lebih serius mengasah bakatnya yang lain sebagai penulis naskah dan produser film. “Gue sekarang lagi partneran sama produser Toilet Blues kemarin, dia abis nge-produce Toilet Blues yang arthouse sekali filmnya, tahun depan kita mau masuk yang lebih komersil. Tapi komersil yang bagus. Kayanya kalau liat film Indonesia masih setengah-setengah sekarang. Kalau nggak yang artsy banget, atau yang jadinya agak norak. Dia punya dua script, gue punya satu script, tahun depan kita mau go around shopping for investors. Sekarang kita lagi bikin proposal film-film ini. Gue pengen ke depannya kerjaan utama gue lebih ke behind the scene. Producing, writing, sambil jalanin RFS at the same time, seru kayanya,” ungkap Tim sebelum mengeluarkan Macbook dan menunjukkan satu trailer dari film karyanya sendiri yang bergenre thriller suspense, which all I could say for now, its looks promising.

            Bagaimana dengan RFS sendiri? Tenang saja, band keren ini memang jarang terdengar belakangan ini, namun itu karena mereka sengaja stop terima tawaran manggung untuk fokus menyelesaikan full album mereka yang diproduseri oleh Dipha Barus. Berisi delapan lagu, saya sempat mendengarkan satu lagu tanpa judul yang akan menjadi single pertama. Terdengar elemen elektronik yang lebih kental dibanding lagu-lagu sebelumnya, membuat album baru ini akan pas diletakkan di tengah-tengah album Random Access Memories milik Daft Punk dan album terbaru Phoenix. Dalam waktu dekat, mereka juga akan membuat video klip pertama untuk album ini dengan disutradarai oleh Shadtoto Prasetio dan akan berupa short film. Baru-baru ini, Roman Foot Soldiers merilis single baru tersebut dengan tajuk “Controversy” dan akan tampil di hari kedua acara LocalFest 2014, hari Sabtu pekan ini.

            “Kalau akting di depan kamera, kalau salah bisa cut! Tapi kalau dia panggung, wah mati aja,” ujar Tim sambil tertawa saat ditanya lebih menakutkan main film atau tampil di stage. “Tapi thrill-nya sendiri lebih kalau perform with the band,” tukasnya. “Perform di depan live audience itu nggak ada yang ngalahin deh, make you feel alive. Akting sendiri gue suka prosesnya, yah kalau bisa jalanin dua-duanya kenapa nggak?” tutupnya dengan retoris.

Foto oleh Sanko Yannarotama

She’s All That! An Interview With Chelsea Elizabeth Islan

IMG_2406

Cantik, cerdas, dan classy, NYLON menemukan sosok seorang “It Girl” Indonesia selanjutnya dalam diri Chelsea Elizabeth Islan. Get ready for some serious girl crush! 

NYLON bulan November 2013 lalu mengangkat tema “It Girl”, satu istilah yang sering terdengar namun tak pernah benar-benar bisa didefinisikan. “The ‘It Girl’ is the girl that EVERYONE wants to be. She has everything that you want so you tend to envy her. She does all the things that you can’t do so you grow to hate her.” Demikian salah satu pengertian “It Girl” yang terdapat di Urban Dictionary. Ketika saya coba mengaplikasikan definisi tersebut pada aktris pendatang baru Chelsea Elizabeth Islan, tampaknya saya kurang setuju pada poin terakhir. Well, melihat sosoknya yang effortlessly pretty, it’s easy for anyone to envy her for sure. Namun saat berbincang langsung dengannya, you can’t help but notice kalau dia ternyata tak hanya menarik secara fisik saja. Di balik wajah cantiknya, terdapat personality yang santai namun berprinsip kuat. It’s almost impossible to hate her, and you’ll know why.

            Chelsea, demikian gadis kelahiran New York 18 tahun yang lalu ini biasa dipanggil, datang ke studio pemotretan sendirian tanpa ditemani manajer. Ia mengaku belum punya manajer dan masih mengatur semua jadwalnya sendiri. Tanpa canggung, ia menyapa semua orang dengan manis dan segera bersiap untuk di-makeup. Dengan makeup minimalis dan wardrobe yang didominasi oleh lace pieces membuatnya terlihat angelic, Tanpa bersusah payah, ia mengikuti arahan fotografer dan setiap gestur kecil dari dirinya yang terkadang candid justru menjadi momen-momen yang menarik untuk difoto. It all seems natural. Tak heran jika ia mengawali karier dengan terpilih sebagai juara utama sebuah pemilihan cover girl majalah remaja, sebelum pada bulan Juni lalu membintangi debut layar lebarnya di film Refrain garapan Fajar Nugros yang juga dbintangi oleh Maudy Ayunda dan Afgansyah Reza.

            Akting sendiri bukan hal yang asing baginya. Dimulai dari peran sebagai salah satu bunga di drama Wizard of Oz di sekolahnya saat masih SD, teater menjadi salah satu passion-nya sampai saat ini di samping fotografi, fashion, dan art. Tak puas hanya di depan kamera, Chelsea pun gemar menulis cerita dan mewujudkannya dalam bentuk film pendek yang ia buat sendiri. “Film itu adalah media di mana aku bisa mengekspresikan pikiran aku dan mengembangkan kaya pikiran orang lain biar terinspirasi juga. Di film pendek pertama aku, judulnya The Junk Society tentang anak muda yang mencintai seni. Aku bilang seni di Indonesia belum banyak yang menghargai dan belum banyak yang memikirkan kalau seni itu useful. Banyak yang bilang ‘ih kok suka seni sih? Mau jadi apa?’ Pertanyaan-pertanyaan itu yang mau aku coba jawab di film aku itu,” ungkapnya.

            Bila di Refrain, ia berperan sebagai Annalise, seorang sweetheart yang tak jauh beda dari dirinya sehari-hari, maka bersiaplah melihat sisi lain Chelsea dalam peran terbarunya sebagai Karina di film action karya Awi Suryadi berjudul Street Society yang akan dirilis awal tahun depan. “Karina ini orangnya tricky banget, dominan, powerful, aduh… pokoknya dia temperamen banget dan agak psychotic. Jadi beda banget sama Annalise. Aku suka dari dua peran ini aku bisa jadi yang biasa dan yang tidak biasa. Karena menurut aku akting kan harus bisa semuanya. Lewat akting aku juga belajar facial expression sama tubuh juga harus gimana. Jadi akting bukan sekadar be someone else, tapi harus menghayati and be the character,” tandasnya.

Chelsea3

            Untuk pemotretan look terakhir, ia meminta berpose bersama salah satu kucing peliharaan di studio. Dengan sigap ia menggendong kucing Persia tersebut dengan gemas. Saya mengira jika ia adalah seorang cat person, namun saat dikonfirmasi, dengan tegas ia mengaku lebih menyukai anjing daripada kucing. “Aku lebih suka anjing karena bisa jagain kita dan setia. Kalau kucing keliatan lemes, males,” ujarnya. Sekali lagi, ia mematahkan persepsi awal saya. Penampilannya memang girly, tapi ternyata Chelsea besar sebagai anak yang cukup tomboy. Dari kecil ia ikut taekwondo, bermain go-kart dan motor ATV, bahkan pernah menjadi best soccer player di sekolahnya. Sekarang, ia memilih berenang dan diving sebagai olahraganya. “Kalau diving belum terlalu sering sih. Aku terakhir diving ke Tulamben di Bali, ke Liberty shipwreck, jadi di sana sekitar 12 meter di bawah laut itu ada shipwreck. Agak angker tapi it’s a good experience,” ceritanya dengan semangat. Ia lantas mengungkapkan keinginannya pergi ke Pulau Komodo dan menyebut Riri Riza dan Mira Lesmana sebagai sutradara yang dikagumi. “Mau banget kerja sama mereka. karena mereka bener-bener down to earth dan kalau kita lihat kerjaan mereka, there is always something to do with Indonesia. Mereka keliatan cinta banget sama Indonesia dan caring about society,” jelasnya.

            Terlepas dari peran debutnya di film drama romantis, Chelsea mengaku dirinya bukan penggemar cerita cinta. “It’s not my cup of tea. Bukannya aku tidak menghargai cinta, tapi terkadang semua terlalu sentimental,” cetusnya. Tak heran bila kamu tak akan menemui film cheesy romance dalam film favoritnya. Ia lebih tertarik pada film berbau sejarah seperti Gie misalnya yang diperankan Nicholas Saputra yang menjadi aktor favoritnya. “Dari semua filmnya, dia punya prinsip. Yang bikin aku suka sama orang itu dia punya prinsip atau tidak. Dia mau memerankan karakter yang benar-benar mendidik dan ada moralnya. Like Twilight, what are you gonna get from that? Bukannya mau sok pinter atau apa, tapi lebih baik kita nonton film yang memberikan ilmu kan?”

            Chelsea sering sekali disebut mirip Mariana Renata, dan itu juga yang saya pikirkan. Namun saat interview, saya menangkap dari angle tertentu ia justru terlihat seperti Dian Sastro, dan kesan itu bertambah kuat saat ia mengungkapkan pemikiran yang sama kritis dan idealisnya dengan Dian. Entah coincidence atau bukan, Chelsea sendiri berencana melanjutkan kuliah di almamater Dian, yaitu Universitas Indonesia, tepatnya jurusan Sosiologi. Penggemar buku-buku Paulo Coelho ini punya alasan kuat untuk pilihan tersebut. “Menurut aku sosiologi itu akar dari segalanya, karena kita mempelajari manusia, mempelajari masyarakat, tata kota, semuanya. Salah satu cita-cita aku selain jadi film director dan fashion editor, aku juga pingin jadi menteri pemberdayaan wanita gitu,” ujarnya dengan serius, sebelum melanjutkan, “aku memang agak feminis. Bukannya sexist atau apa tapi memang aku ingin wanita bisa maju. Di sini wanita menurut aku belum ada freedom of expression, aku nggak mau ngomongin agama atau apa. Tapi wanita itu belum equal. Dari situ aku pingin memajukan wanita Indonesia. Deep inside, I want to change Indonesia, nggak tau gimana makanya menurut aku kalau belajar sosiologi itu udah bisa relate ke semua aspek kehidupan,” imbuhnya.

            Social awareness tersebut menurutnya sudah dipupuk sejak ia masih kecil. Dan jangan kira ia hanya berwacana tanpa berbuat hal yang nyata. Sekarang pun, di samping semua aktivitasnya di dunia showbiz, ia berperan aktif menjadi ambassador generasi muda di gerakan LovePink untuk isu breast cancer di Indonesia. ”You have to be the change that you want to see in this world. And you have to make the difference and believe nothing it’s impossible,” tutupnya sambil tersenyum. Biasanya ungkapan a la buku Chicken Soup tersebut hanya terdengar seperti jargon kosong. Namun entah kenapa, saya percaya gadis cantik ini bisa mewujudkannya.

IMG_2837

Styling by Patricia Annash

Photos by Andre Wiredja

Makeup by Marina Tasha

Art Talk: The Moody Sketches of Natisa Jones

PROFILE 2- Photographed by Olivier Turpin

Ketika anak-anak lainnya tengah belajar menulis dan membaca, Natisa Jones telah lebih dulu menggambar. Datang dari keluarga kreatif, di mana ketertarikan akan seni muncul dengan sendirinya, gadis kelahiran tahun 89 ini selalu tahu jika seni visual adalah sesuatu yang ingin ia lakukan. Passion itu yang membuatnya berani keluar dari rumahnya di Bali saat masih berumur 15 tahun untuk ikut boarding school di Prem Tinsulanonda International di Chiang Mai, Thailand dan meraih gelar diploma pertamanya di bidang Visual Art.

            Sebelumnya, di akhir tahun 2005 Natisa telah menggelar pameran perdananya yang bertajuk “Through My Eyes” di Bali dan Jakarta. Ia pun melanjutkan kuliah seni di Royal Melbourne Institute of Technology Australia, di mana ia mendapat gelar Bachelor of Fine Arts Painting. Lulus dari RMIT, Natisa tidak langsung kembali ke Bali, dan memilih stay di Jakarta selama beberapa waktu dan terlibat dalam berbagai kegiatan kreatif, di antaranya menjalani internship di NYLON Indonesia dan membuat desain print untuk label mode KLE, sembari mulai menyelesaikan beberapa karya terbaru.

            Tak lama setelah kembali menetap di Sanur, Bali, ia lantas membesut pameran tunggal terbaru dengan judul “Are We There Yet”. Dalam pameran yang diadakan di Three Monkeys Sanur akhir Juni tahun lalu, Natisa menampilkan 25 karya sketsa mixed media terbarunya yang memaparkan berbagai imaji yang lekat di kehidupannya. Lewat email, saya pun mengajak Natisa bercerita tentang visinya dalam berkarya.

7. OH ITS SO AMAZING HERE

Hi, Nat, apa kabar? Boleh cerita berapa lama kamu menyiapkan pameran “Are We There Yet”?

Hi Lex, I’m good, can’t complain. Saya sudah merencanakan tentang ekshibisi ini di kepala saya cukup lama namun baru mulai benar-benar menyiapkan semuanya sekitar dua bulan, sedangkan saya sendiri membutuhkan 3-4 bulan sampai semua karya selesai.

How was the opening night?

It was a lot of fun. Beberapa pelukis yang saya kagumi datang untuk melihat karya saya. Orang-orang memberi respons positif dan yang paling saya ingat ada sekitar 8 cewek yang menghampiri saya dan bilang salah satu sketsa yang berjudul “Gak Pernah Sisiran” seperti menggambarkan mereka. Hal itu membuat saya gembira, karena mereka bisa merasa relate dengan karya saya secara personal. That was exciting.

Apa inspirasi utamamu dalam pameran ini?

Inspirasinya hal-hal di sekitar saya. Saya sangat responsif terhadap lingkungan sekitar saya, so I drew a line for all the pieces I have made to be about anything I was going through and an ever moving timeline. Jadi semua karya di pameran ini adalah dokumentasi dari sebuah perjalanan, yang paralel dengan perjalanan untuk menjadi manusia dan perjalanan dalam berkarya. “Are We There Yet?” melempar pertanyaan: to being aware of the present moment but not concerned with a destination or a conclusion. Dengan begitu, tanpa mendikte jawabannya, orang bisa mengingat pengalaman mereka sendiri dan merasa terhubung dengan karya tersebut. So Are We There Yet? You tell me.

8. SABLENG

Bagaimana momen atau mood yang sempurna bagimu untuk berkarya?

Momen atau mood yang tepat untuk berkarya adalah… ketika saya menemukan sebuah momentum dan saya harus menyalurkan ide tersebut ke atas kertas tak peduli di manapun dan kapanpun. sometimes of course, you can’t, Tergantung kondisi tapi biasanya saya akan mulai sketching dulu dan menyelesaikannya nanti ketika saya berada di studio, but there’s no such thing as perfect time, ide bisa datang tak terduga dan umumnya justru ketika saya hendak tidur sambil memandang langit-langit kamar atau ketika berada di mobil… semacam itulah.

Kamu dengan sengaja tidak menghapus atau memperbaiki setiap “kesalahan”, seperti salah coret dan sebagainya dalam karyamu, apa yang kamu pikirkan?

Haha I am lazy, but no, that’s not why. Saya tidak suka menghapus kesalahan. Saya ingin bisa melihat bagaimana karya saya berkembang sejak saya mulai mengerjakannya sampai akhirnya selesai. Saya senang bisa mengingat setiap decision yang saya ambil sampai akhirnya karya tersebut jadi.

Setiap “kesalahan” itu menjadi bagian dari cerita karya itu sendiri. I think it’s not good to try and be too polished and clean. I like errors, I like mistakes, I enjoy chaos. It’s all part of the fun part of why the story is so exciting. Life isn’t perfect, nobody is perfect. Why pretend like it is?

Apa kamu punya personal favorite dari ekshibisi ini?

Hmm… well I don’t know if I have a favorite, but here’s one I get asked a lot: suatu saat, salah satu teman saya melihat beberapa lukisan saya dan berkata jika semua sosok pria dalam karya saya mirip pacar saya. Saya tertawa, karena saya tak selalu sengaja menggambar pacar saya, but because his face and body is the one I have sketched out the most, I become most familiar to his anatomy. Jadi salah satu lukisan berjudul “Always The Same Goddamned Boy” bercerita tentang itu. It’s funny that it may come off as romantic, or cheesy, but it’s not. It’s just part of my process. I just draw and take from whatever is around me. 

5. Its Okay

http://www.natisajones.com/